Dukungan pembiayaan perumahan bersubsidi perlu ditopang jaminan lahan guna memastikan pasokan hunian layak dan terjangkau. Kendala lahan dapat menjadi penghambat ketimpangan penyediaan rumah bersubsidi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Pekerja merampungkan pembangunan kompleks perumahan bersubsidi di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah meningkatkan bantuan pembiayaan perumahan pada tahun 2022 perlu ditopang dengan distribusi pasokan hunian yang lebih luas. Penyediaan rumah bersubsidi yang layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah memerlukan keberpihakan dalam pengadaan lahan yang terjangkau.
Pada tahun 2022, pemerintah berencana melanjutkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dengan alokasi Rp 28,2 triliun untuk target 200.000 unit rumah. Alokasi FLPP itu lebih tinggi dibandingkan alokasi tahun ini yang ditargetkan 157.500 unit. Berdasarkan data per 18 Agustus 2021, realisasi penyaluran FLPP mencapai 115.355 unit rumah atau 73,24 persen dari target.
CEO dan Pendiri Indonesia Property Watch Ali Tranghanda berpendapat, dukungan pembiayaan rumah bersubsidi dari pemerintah selama ini belum diimbangi pasokan hunian yang layak. Pasokan rumah bersubsidi selama ini mengandalkan pengembang swasta, sementara harga lahan semakin mahal.
Harga lahan yang mahal mengakibatkan kesenjangan pasokan, yakni lokasi hunian bersubsidi semakin terdesak jauh dari pusat kota. Sementara itu, permintaan rumah yang tinggi di sejumlah wilayah perkotaan tidak mampu terpenuhi karena harga lahan semakin tak terjangkau.
Di sisi lain, pasokan rumah bersubsidi saat ini cenderung tidak terarah. Hampir tidak ada peta jalan perumahan rakyat di tingkat daerah. Keberpihakan pemerintah daerah dinilai masih sangat minim dalam mendukung pengadaan rumah murah dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Padahal, pemerintah daerah seharusnya paling mengetahui data populasi dan kebutuhan rumah penduduk serta berperan dalam mengalokasikan lahan untuk perumahan rakyat.
”Tanpa ada peta jalan (perumahan) yang jelas, di titik tertentu pengembang akan kesulitan membangun rumah layak huni dan terjangkau karena harga lahan semakin tinggi. Lokasi hunian semakin tak terkontrol, jauh dari pusat kota. Ini menghambat produktivitas masyarakat,” kata Ali saat dihubungi, Sabtu (21/8/2021).
Dari data Sensus Penduduk Nasional Badan Pusat Statistik, per Maret 2021, sebanyak 12,75 juta rumah tangga belum memiliki rumah dan 29,45 juta rumah tangga menempati rumah tidak layak huni.
Subsidi FLPP meliputi kepemilikan rumah tapak atau rumah susun dengan harga patokan pemerintah, suku bunga 5 persen per tahun, dan masa subsidi 20 tahun. Subsidi bantuan uang muka (SBUM) Rp 4 juta, uang muka 1 persen, dan bebas Pajak Pertambahan Nilai. Selain FLPP dan SBUM, skema bantuan perumahan juga terdiri dari bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengemukakan, persoalan harga lahan menjadi salah satu penghambat penyediaan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di sisi lain, upaya mendorong pasokan rumah bersubsidi membutuhkan kemudahan dan percepatan bagi pengembang untuk memperoleh pembiayaan modal kerja, baik kredit kepemilikan lahan maupun kredit konstruksi grya (KYG) dari perbankan.
Kompas/Priyombodo
Pengunjung mencari informasi mengenai rumah subsidi yang ditawarkan pada pembukaan Indonesia Properti Expo di Jakarta Convention Center, Jakarta, Sabtu (16/11/2019).
Ia menambahkan, skema bantuan pembiayaan perumahan perlu menyasar konsumen berpenghasilan tidak tetap serta usaha mikro, kecil, dan menengah. Permintaan dari masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan tidak tetap cukup besar. Namun, mereka belum tersentuh FLPP.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Herry Trisaputra Zuna mengemukakan, pemerintah berkomitmen melanjutkan FLPP hingga tahun 2024, sambil menunggu beroperasinya Badan Pengelola Tapera. Saat ini, kepesertaan masyarakat dalam program Tapera masih rendah.
Program Tapera digulirkan pemerintah sejak Mei 2020 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Aturan itu mewajibkan pekerja yang berpenghasilan sedikitnya sebesar upah minimum untuk menjadi peserta Tapera dengan kewajiban iuran. Pekerja yang pertama kali diwajibkan menjadi peserta Tapera adalah aparatur sipil negara (ASN).
”Sambil menunggu beroperasinya BP Tapera, pemerintah berkomitmen terus melanjutkan FLPP sampai 2024. Ini mengingat sampai tahun tersebut diperkirakan masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah di luar ASN dan TNI/Polri yang belum jadi anggota BP Tapera,” ujar Herry dalam webinar ”Geliat Pemenuhan Rumah MBR dalam Pemulihan Ekonomi”, Jumat (20/8/2021).
Kompas/Hendra A Setyawan
Pekerja merampungkan pembangunan kompleks perumahan bersubsidi di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021). Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sesuai rencana strategis 2020-2024, menargetkan penyediaan 5 juta unit rumah.
Herry menambahkan, masih terdapat tantangan cukup berat dalam penyediaan perumahan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Tantangan itu di antaranya meningkatkan rasio kredit pemilikan rumah (KPR) dari 2,9 persen menjadi 4 persen pada tahun 2024. Di sejumlah negara tetangga, rasio KPR sudah menembus 10 persen.
Direktur Perumahan dan Permukiman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tri Dewi Virgiyanti mengutarakan, rumah merupakan kebutuhan jangka panjang sehingga keterjangkauan dan kualitas hunian perlu diperhatikan. Di sisi lain, sektor perumahan yang menyerap banyak tenaga kerja perlu terus diperkuat sehingga dapat berperan dalam pemulihan ekonomi nasional.