Proyeksi Defisit Anggaran 2021 Melebar Menjadi 5,82 Persen
Kementerian Keuangan memproyeksikan defisit APBN 2021 mencapai 5,82 persen PDB, lebih tinggi dibandingkan outlook sebelumnya yakni 5,7 persen PDB.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Peningkatan kasus Covid-19 setelah merebaknya varian Delta mengakibatkan pemburukan terhadap daya tahan fiskal. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 yang sebelumnya dipatok 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto atau PDB melebar menjadi 5,82 persen PDB.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan peningkatan persentase defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini sejalan dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 setelah meningkatnya eskalasi kasus Covid-19 di Indonesia.
Pemerintah telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2021 berada di rentang 3,7 persen - 4,5 persen. Proyeksi tersebut menurun dari perkiraan di awal tahun ini di mana pertumbuhan ekonomi diyakini akan berada di kisaran 4,5 persen-5,3 persen secara tahunan.
“Karena PDB sebagai pembandingnya lebih rendah, maka proyeksi defisit APBN 2021 bergerak sedikit ke atas. Dengan adanya varian Delta, maka akan sulit untuk pertumbuhan ekonomi 2021 mencapai 5 persen,” kata Febrio dalam diskusi bertema ‘Strategi dan Outlook Perekonomian dan Kesejahteraan’, Rabu (18/8/2021).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi adanya penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) guna menekan lonjakan penularan Covid-19.
“Jadi seberapa dalam mobilitas harus ditekan dan seberapa lama pengetatan itu terjadi, kedua hal inilah yang akan sangat menentukan seberapa tinggi pertumbuhan ekonomi kita,” ujar Sri Mulyani.
Febrio menambahkan pengendalian pandemi dari ancaman mutasi virus akan teratasi sejalan dengan percepatan pelaksanaan vaksinasi dan PPKM. Pertumbuhan ekonomi baru akan mencapai level optimal di saat aktivitas ekonomi sudah berjalan normal seiring terbentuknya kekebalan komunal di tengah masyarakat.
“Kita melihat varian Delta menjadi hambatan ekonomi di paruh pertama 2021. Sekarang muncul berita mengenai varian Lambda. Bagaimanapun, virus ini akan terus bermutasi sehingga ke depannya kita harus siap untuk hidup bersama endemi,” kata Febrio.
Dengan dinamika perekonomian yang berlangsung di tahun ini serta harapan terciptanya kekebalan komunal dan pemulihan aktivitas ekonomi secara normal di tahun depan, pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5 persen - 5,5 persen.
Belanja pemerintah
Febrio optimistis di sepanjang tahun 2021, konsumsi pemerintah yang terefleksi pada APBN tidak akan menjadi satu-satunya tulang punggung utama pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di sepanjang 2020.
Di sepanjang 2020, Febrio mencatat, seluruh komponen pembentuk PDB selain konsumsi pemerintah kompak tumbuh negatif, salah satunya adalah komponen konsumsi rumah tangga yang tumbuh negatif sepanjang 2020, kecuali pada triwulan I-2020 sebesar 2,8 persen. Adapun komponen investasi mayoritas tumbuh negatif di setiap triwulan sepanjang 2020.
Mulai tahun ini, lanjut Febrio, konsumsi rumah tangga sudah mulai tumbuh positif pada triwulan II-2021 mencapai 5,9 persen. Di samping itu, komponen investasi juga ikut melonjak terutama pada triwulan II-2021 mencapai 7,5 persen.
“Hingga semester I-2021 realisasi konsumsi pemerintah mencapai 1,7 triliun atau tumbuh 9,4 persen. Di dalamnya ada belanja pemerintah pusat dengan realisasi mencapai Rp 796 triliun atau tumbuh 19,1 persen,” ujarnya,
Terdapat lima komponen di dalam belanja pemerintah pusat, di mana porsi terbesar untuk belanja barang Rp 178 triliun atau melonjak 79,1 persen. Lalu, belanja modal Rp 71,6 triliun atau tumbuh 90,2 persen dan subsidi Rp 79,9 triliun atau tumbuh 12,8 persen. Sementara, belanja bantuan sosial alias bansos Rp 76 triliun yang turun 23,6 persen dari tahun 2020.
Penurunan anggaran bansos juga terlihat dalam Rancangan Undang-Undang APBN 2022 yakni sebesar Rp 153,7 triliun, menurun dibandingkan proyeksi 2021 yang mencapai Rp 184,5 triliun.
“Penurunan ini jangan disalahartikan sebagai pengurangan kekuatan dalam hal bansos. Belanja untuk program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) mulai didorong untuk dilakukan kementerian dan lembaga, sehingga, angkanya justru akan terlihat di komponen barang dan modal,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Tim Kebijakan Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Elan Satriawan mengatakan masih terdapat pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk optimalisasi penyaluran bansos, salah satunya adalah pemutakhiran data penerima.
Elan menambahkan, selain bansos, penyaluran Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang semakin tepat sasaran dalam membantu sektor UMKM akan mampu menjaga keberlangsungan usaha para pengusaha mikro dan kecil.
Ia mengusulkan agar pemerintah dapat memperluas jangkauan BPUM atau membuat program baru dengan skema yang serupa. Saat ini, BPUM baru mampu menjangkau sekitar 12 juta UMKM. Jumlah tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan UMKM Indonesia.
“Kalau kita bisa menjaga keberlangsungan mereka (UMKM), efeknya bisa ke pertumbuhan ekonomi karena sektor UMKM menjadi bagian vital dari perekonomian Indonesia karena menyumbang 61,07 persen atau senilai 8.573,89 triliun rupiah dari PDB nasional,” ujar Elan.