Pelonggaran Industri Tanpa Vaksinasi Merata Bisa Berisiko
Dari total 416.462 pekerja yang akan mengikuti uji coba pelonggaran aktivitas industri, baru 13 persen yang sudah mendapat vaksin dosis pertama dan kedua. Vaksinasi seharusnya dijadikan syarat penting.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vaksinasi seharusnya menjadi syarat penting untuk mengizinkan industri beroperasi penuh di tengah kasus Covid-19 yang masih fluktuatif. Pelonggaran industri tanpa diiringi vaksinasi yang merata bagi pekerja dan keluarganya dapat membawa risiko yang mengganggu upaya pengendalian Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Pemerintah berencana menguji coba pelonggaran aktivitas sejumlah industri esensial berorientasi ekspor dan domestik di daerah Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali. Perusahaan di sektor tertentu boleh beroperasi 100 persen dengan minimal dua sif kerja. Sebagai perbandingan, sebelumnya, sektor esensial hanya diperbolehkan beroperasi 50 persen.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers, Senin (16/8/2021), mengatakan, setiap orang yang masuk ke area industri harus melalui penapisan (screening) menggunakan aplikasi Peduli Lindungi agar terpantau. Jika terjadi kasus penularan Covid-19, pemerintah akan menutup industri bersangkutan selama lima hari.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, untuk uji coba pertama pekan ini, direncanakan ada 268 perusahaan sektor esensial yang dapat beroperasi penuh dengan minimal dua sif kerja. Total pekerja yang akan ikut dalam uji coba ini adalah 416.462 orang. Adapun 268 perusahaan itu tersebar di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Laju vaksinasi pekerja di tiap sektor yang diizinkan beroperasi 100 persen itu berbeda-beda. Ada sektor yang pekerjanya sudah divaksinasi di atas 50 persen, ada pula yang pekerjanya belum mendapat vaksin sama sekali.
Sebagai contoh, secara akumulatif, 10 perusahaan di sektor semen, keramik, dan pengolahan bahan galian nonlogam dengan total 3.474 tenaga kerja telah memvaksin 59 persen (2.037 orang) pekerjanya sampai dosis kedua dan 6 persen pekerjanya (218 orang) pada dosis pertama.
Sementara di sektor elektronika dan telematika, pekerja yang mendapat vaksin dosis pertama baru 7 persen (2.226 orang) dari total 30.437 pekerja yang bekerja di 16 perusahaan. Adapun pekerja yang mendapat vaksin dosis kedua baru 0,1 persen (40 orang).
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho berpendapat, vaksinasi seharusnya menjadi patokan dalam melonggarkan aktivitas industri. Sebab, vaksinasi dapat mengurangi penularan serta menekan risiko dampak buruk akibat terpapar Covid-19.
Hal itu penting diperhatikan karena pelonggaran kegiatan industri harus dilakukan dengan hati-hati. Jika dilakukan terburu-buru dengan vaksinasi yang masih rendah, pelonggaran bisa berpotensi memunculkan penyebaran kasus dengan gejala berat di kawasan industri sampai ke keluarga dan lingkungan tempat tinggal pekerja.
Terlebih, cakupan vaksinasi bagi pekerja oleh perusahaan lewat skema Vaksinasi Gotong Royong (VGR) melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga belum merata. ”Ada perusahaan yang memang mampu membeli vaksin, tetapi banyak sekali perusahaan yang kurang mampu dan menunggu vaksinasi gratis,” katanya.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri mengatakan, Kementerian Perindustrian pada prinsipnya telah mengatur beberapa kriteria bagi perusahaan yang diikutsertakan dalam uji coba. Faktor pertama adalah kepatuhan perusahaan dalam menjalankan protokol kesehatan di lingkungan kerja sesuai ketentuan. Kedua, kepatuhan dan kerajinan perusahaan melaporkan izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI) setiap dua kali seminggu.
Faktor ketiga adalah cakupan vaksinasi bagi pekerja di tiap perusahaan. ”Ini secara bersamaan terus kami coba tingkatkan lewat vaksinasi dari pemerintah ataupun Vaksinasi Gotong Royong dari Kadin,” kata Febri.
Dari total 416.462 pekerja yang ikut dalam uji coba, sebanyak 247.158 orang (59,3 persen) sudah mendapat vaksinasi pertama dan 54.738 orang (13 persen) sudah mendapat vaksinasi kedua. ”Kalau ada yang vaksinasinya masih rendah, bisa saja di waktu dekat ini perusahaan-perusahaan itu akan mengejar vaksinasi untuk pekerjanya,” katanya.
Senada, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko SA Cahyanto mengatakan, terkait vaksinasi, pemerintah terus melakukan proses kurasi. ”Ini terus on going karena angkanya naik terus. Vaksinasi di hari ini berbeda dengan dua hari lalu. Yang pasti, kami harap perusahaan memvaksinasi sebanyak-banyaknya pekerja,” kata Eko.
Vaksinasi Gotong Royong
Andry mengatakan, sebelum melonggarkan aktivitas industri di masa PPKM, vaksinasi bagi pekerja industri dan masyarakat umum harus terlebih dahulu dipercepat, baik melalui program pemerintah maupun VGR. ”Apabila perlu, stok vaksin dari VGR dimasukkan ke program vaksinasi oleh pemerintah, lalu swasta bergotong royong dalam distribusinya agar lebih merata,” ujarnya.
Seperti diketahui, harga vaksin Sinopharm dalam skema VGR adalah Rp 879.140 per orang untuk dua kali penyuntikan. Namun, masih banyak perusahaan, khususnya yang padat karya dan industri kecil menengah (IKM), yang merasa harga itu terlalu mahal. Mereka memilih menunggu akses mendapat vaksinasi gratis untuk pekerja.
Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, itu memang menjadi salah satu hal yang membuat serapan VGR oleh Kadin sempat berjalan lambat.
”Animonya 50-50 dari perusahaan. Ada yang menganggap, kalau bisa menunggu yang gratis, untuk apa bayar. Itu manusiawi, tetapi kami terus meminta kepada teman-teman (pengusaha) agar membeli dan membantu program vaksinasi pemerintah. Kalau kita masih bisa bayar, mari bayar,” kata Arsjad.
Adapun faktor utama yang menurut dia membuat serapan rendah adalah persoalan stok yang kurang di awal penyelenggaraan VGR. Selain itu, ada juga masalah administrasi dan penyelenggaraan yang membutuhkan tahapan lebih panjang daripada program vaksinasi gratis oleh pemerintah.
”Ini, kan, berbayar sehingga perusahaan harus ada perjanjian dulu, lalu pembayaran, baru pengiriman (vaksin) dan penyelenggaraan vaksinasi. Tahapannya berbeda dan lebih panjang. Namun, ini terus kami perbaiki. Pelan-pelan saya lihat mulai ada perbaikan meski belum secepat yang diharapkan,” kata Arsjad.