Tren bertransformasi digital di segala bidang harus disikapi dengan hati-hati. Investasi besar tanpa disertai pemahaman tentang dunia digital bisa berujung pada kegagalan.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Teknologi digital telah memberi kemudahan dan membantu membuat analisis mendalam tentang suatu masalah. Akan tetapi, kini juga sudah muncul peringatan agar tidak semuanya latah digital. Latah yang memunculkan obsesi digital malah membuat investasi salah arah dan juga sia-sia. Tenaga besar sudah dicurahkan, namun hasil belum tentu memuaskan.
Sejumlah kalangan mulai mengingatkan tentang kecenderungan obsesi digital di berbagai kalangan. Semua seolah harus terhubung dan menggunakan teknologi digital dalam waktu singkat dan sempurna. Semula, masalah ini hanya muncul di bidang kesehatan mental. Semacam kecanduan dan keharusan sehingga merasa setiap orang harus menggunakan teknologi digital. Keadaan ini menyebabkan gangguan mental para penggunanya.
Sebelum pandemi melanda, sebagian besar dari kita ketika berada di transportasi publik atau di tempat umum dengan mudah melihat semua kepala tertunduk dan tatapan terpaku pada layar ponsel. Saat terjadi pandemi, ternyata tidak mengubah perilaku itu. Pandemi tidak mengurangi waktu menatap layar telepon seluler. Kecanduan menggunakan telepon pintar tetap saja terjadi meski berada di rumah.
Salah satu survei menemukan bahwa rata-rata warga dewasa Amerika Serikat, seperti yang dikutip oleh Andrea Gawrylewski di laman Scientific American, waktu dalam menggunakan ponsel cerdas melampaui tiga jam sehari untuk pertama kalinya pada 2020 atau di awal pandemi. Sepanjang mereka menggunakan gawai itu, ternyata mereka tanpa berpikir tentang satu unggahan ke unggahan lainnya. Keadaan ini adalah contoh pikiran dan mental yang terganggu. Mereka malah masuk ke dalam kisah perselisihan dalam kehidupan seseorang.
Di dunia bisnis, obsesi digital mulai dibahas meski belum banyak kalangan yang menjadikannya sebagai isu utama. Sejumlah ahli mengingatkan, banyak perusahaan yang membabi buta masuk ke dunia digital dan berinvestasi besar, namun malah hanya membuat sampah. Pimpinan perusahaan ini bisa digolongkan sudah terkena obsesi digital. Para ahli juga menyebutkan sekitar 70 persen dari inisiatif digital ternyata gagal. Sebuah angka yang tidak kecil.
Semacam kecanduan dan keharusan sehingga merasa setiap orang harus menggunakan teknologi digital. Keadaan ini menyebabkan gangguan mental para penggunanya.
Matthew Doan dalam sebuah tulisan berjudul Don't Let Digital Obsession Destroy Your Organisation di majalah MIT Sloan Management Review menyebutkan, organisasi terlalu sering mengandalkan selera digital yang besar, namun memiliki fokus yang sangat sempit sehingga mengabaikan masalah kronis dan sistemik di dalam perusahaan. Mereka berinvestasi terlalu ambisius, namun tanpa pemahaman tentang teknologi digital. Mereka inilah yang digolongkan memiliki obsesi digital.
Ia juga mengingatkan bahwa transformasi digital bukan sekadar tentang perusahaan yang melakukan perbaikan teknologi dengan investasi yang sangat besar. Mereka bukan pula yang memiliki kemampuan analitik data kelas dunia. Transformasi digital adalah tentang menciptakan nilai baru tanpa henti, untuk pelanggan, diri kita sendiri, dan perusahaan melalui penerapan peningkatan digital yang cermat. Pengabaian budaya organisasi dapat menjadi titik utama kegagalan dalam transformasi. Perusahaan perlu memahami peran manusia di sepanjang perjalanan mereka untuk menuju tujuan tertentu.
Oleh karena itu, di dalam hal ini, penting bagi perusahaan untuk merancang proses, alat, dan peningkatan organisasi dengan memiliki empati yang mendalam tentang orang yang dilayani atau konsumen mereka. Dampak transformasi harus efektif terhadap produk atau layanan sehingga mereka bisa bertahan lama. Transformasi yang benar hanya datang dari desain yang berpusat pada manusia. Mereka perlu membenamkan diri dalam kehidupan individu yang terkena dampak dan menyusun pendekatan digital agar bisa menghasilkan produk atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Transformasi bukan dengan cara menerapkan praktik terbaik atau solusi yang tersedia tanpa pandang bulu.
Selama pandemi, obsesi digital di Indonesia perlu disoroti karena kecepatan pengembangan dan penggunaan teknologi digital meningkat pesat. Pembatasan dan keharusan bekerja di rumah membuat fasilitas digital dibutuhkan. Orang tidak lagi perlu menunggu bertahun-tahun untuk mengembangkan aplikasi atau produk digital lainnya karena mereka terdorong oleh permintaan pasar yang makin menjauhi kontak langsung. Mereka melihat kebutuhan besar untuk melakukan digitalisasi ataupun membuat produk digital.
Transformasi digital adalah tentang menciptakan nilai baru tanpa henti, untuk pelanggan, diri kita sendiri, dan perusahaan melalui penerapan peningkatan digital yang cermat.
Investor malah berlomba untuk mencari usaha rintisan di tengah pandemi karena melihat kecenderungan itu. Oleh karena itu, daya tarik untuk masuk ke industri digital sangat besar. Mereka mungkin tergiur masuk ke sana. Usaha rintisan baru bermunculan.
Perusahaan lama juga mungkin tergiur untuk segera bertransformasi serta mempunyai fasilitas baru menjangkau konsumen. Mereka bisa saja ikut-ikutan mengembangkan teknologi digital sekalipun belum menguasai bisnis di industri ini. Obsesi digital tanpa pengetahuan yang memadai, dan tentu tanpa orang yang siap masuk ke dunia ini, bakal menjadi masalah di kemudian hari.
Secara global, investasi di industri digital sangat besar. Sampai 2023 diperkirakan mencapai 6,8 triliun dollar AS hanya untuk transformasi bisnis digital. Sebagian besar pebisnis sekarang memiliki keinginan agar bisa menurunkan biaya, mempercepat masuk ke pasar, dan membuka peluang baru dengan bertransformasi digital. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila angka investasi mereka sangat besar. Pada saat yang sama, obsesi digital perlu diwaspadai agar tidak menjadi investasi sia-sia.