Indonesia perlu segera membenahi rantai hulu-hilir perikanan yang diekspor. Persyaratan keamanan pangan yang semakin ketat oleh negara tujuan ekspor perlu ditopang penguatan diplomasi guna mendorong kinerja ekspor.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya diplomasi Indonesia ke China terkait isu keamanan pangan perlu diperkuat menyusul lonjakan kasus kontaminasi virus korona tipe baru atau SARS-CoV-2 pada produk dan kemasan ikan asal Indonesia. Penerapan persyaratan tambahan ekspor perikanan ke China dinilai mahal. Perbaikan hulu-hilir perikanan mendesak.
Kasus kontaminasi virus SARS-CoV-2 pada produk dan kemasan ikan asal Indonesia terdeteksi oleh Otoritas Bea dan Cukai China (GACC) sejak September 2020. Temuan jejak virus penyebab Covid-19 itu melonjak seiring kasus Covid-19 di Indonesia yang belum terkendali. Selama September-Desember 2020, GACC menemukan 6 kasus kontaminasi virus SARS-CoV-2. Per 9 Agustus 2021, tercatat 37 kasus temuan kontaminasi virus pada produk dan kemasan ikan Indonesia yang diekspor ke China.
Sejak Desember 2020, China memperketat syarat pembelian produk perikanan RI, antara lain kewajiban mencantumkan nama kapal penangkap ikan dan lokasi tangkapan, serta nama lokasi budidaya oleh unit pengolahan ikan. Anak buah kapal, pekerja budidaya dan pekerja pabrik olahan, beserta produk perikanan yang dikirim ke China wajib diuji Covid-19, di mana uji Covid-19 saat ini disyaratkan berupa tes reaksi berantai polimerase (PCR).
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Kelautan dan Perikanan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Artati Widiarti mengemukakan, China merupakan pasar potensial bagi ekspor produk perikanan Indonesia. Pihaknya terus berusaha membina eksportir dan pelaku usaha untuk penanganan hulu-hilir rantai produksi perikanan guna mencegah kontaminasi dan jejak Covid-19 pada produk dan kemasan ikan yang diekspor.
Sejak Desember 2020, China memperketat syarat pembelian produk perikanan RI, antara lain kewajiban mencantumkan nama kapal penangkap ikan dan lokasi tangkapan, serta nama lokasi budidaya oleh unit pengolahan ikan.
Artati menambahkan, Pemerintah Indonesia juga perlu memperkuat tim perundingan dengan China dalam menyikapi kebijakan China yang dinilai terlampau berhati-hati dalam menekan risiko penularan Covid-19. Sejumlah ahli menyatakan bahwa kecil sekali kemungkinannya terjadi transmisi Covid-19 melalui rantai makanan.
”Tantangannya adalah memenuhi persyaratan keamanan pangan yang lumayan mahal akibat kebijakan kehati-hatian yang berlebihan terhadap Covid-19,” kata Artati, akhir pekan lalu.
Di sisi lain, peningkatan kasus jejak kontaminasi Covid-19 pada produk dan kemasan ikan yang diekspor ke China perlu disikapi unit pengolahan ikan (UPI) untuk menerapkan dengan ketat pedoman sanitasi dan higienis. Di antaranya, penambahan proses disinfektan ke sarana prasarana yang kontak dengan produk perikanan, serta meminimalkan interaksi antarkaryawan. Pihaknya juga mendorong vaksinasi kepada karyawan di sektor industri pengolahan agar dilakukan sepenuhnya.
Pencegahan kontaminasi Covid-19 pada produk ekspor perikanan dinilai membutuhkan pengendalian antarkaryawan di unit pengolahan ikan. Langkah yang ditempuh pemerintah, antara lain, surat edaran tentang protokol kesehatan, sosialisasi panduan sanitasi dan higienis, serta pembinaan ke unit pengolahan ikan yang terkena kasus Covid-19. Selain itu, persyaratan sertifikasi kelayakan pengolahan dengan menambahkan kriteria dari Organisasi Pangan Dunia (WHO) untuk pencegahan Covid-19 turut diperlukan.
”Unit pengolahan ikan perlu menerapkan langkah-langkah ekstraketat untuk melindungi karyawan dan melindungi produk perikanan dari kemungkinan kontaminasi,” ujar Artati.
Di sisi lain, peningkatan kasus jejak kontaminasi Covid-19 pada produk dan kemasan ikan yang diekspor ke China perlu disikapi unit pengolahan ikan (UPI) untuk menerapkan dengan ketat pedoman sanitasi dan higienis.
Sebelumnya, Duta Besar Indonesia untuk China Djauhari Oratmangun mengemukakan, Indonesia telah menorehkan sejumlah prestasi dalam ekspor perikanan ke China. Meski demikian, China tengah memperketat peraturan impor produk perikanan dari negara-negara guna memastikan bahwa kualitas dan mutu produk impor yang dikonsumsi masyarakat terbebas dari jejak kontaminasi virus penyebab Covid-19.
China memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pendapatan masyarakat kelas menengah bertumbuh pesat. Permintaan China akan terus meningkat sesuai tingkat pendapatan penduduk. Sejalan dengan itu, persyaratan teknis semakin banyak. Pelaku usaha perlu menggali peluang dan potensi penetrasi pasar ke China dengan produk yang berkualitas, serta menerapkan protokol kesehatan secara optimal dalam rantai proses hulu-hilir perikanan sesuai protokol kesehatan dan pedoman keamanan pangan yang dipublikasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 7 April 2020. (Kompas 13/8/2021)
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam lima tahun terakhir, volume ekspor perikanan Indonesia ke China tumbuh rata-rata 12,4 persen. Pada semester I-2021, volume ekspor ke China 581.857 ton atau menempati peringkat satu tujuan ekspor dengan kontribusi 33 persen dari total volume ekspor perikanan Indonesia. Adapun dari segi nilai ekspor, pasar ke China menempati peringkat kedua setelah Amerika Serikat.
Tenaga Ahli Global and Quality Standards Programme (GQSP) Indonesia SMART-Fish 2, Achmad Purnomo, dalam buku Panduan Pengendalian Risiko Covid-19 di Unit Penanganan dan Pengolahan Ikan, menyebutkan, tidak ada bukti bahwa makanan bisa menjadi sumber atau jalur penularan penting Covid-19. Jumlah partikel virus hidup pada makanan sangat rendah dan virus tidak dapat berkembang biak dalam makanan. Perlakuan penanganan dan pengolahan yang dialami makanan menyebabkan mikroorganisme, termasuk virus, akan mati atau tidak aktif.
Meski demikian, China telah beberapa kali menolak produk ikan beku dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, dengan alasan ditemukan jejak-jejak virus korona di kemasan dan pada produknya. ”Klaim tersebut telah dipertanyakan oleh banyak negara, mengingat pihak otoritas China juga belum membuka kepada publik mengenai metoda analisisnya,” ucap Purnomo.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam lima tahun terakhir, volume ekspor perikanan Indonesia ke China tumbuh rata-rata 12,4 persen.
Menurut Purnomo, rantai pasok perikanan hulu-hilir yang sangat panjang melibatkan kontak personal, baik langsung maupun tidak langsung. Kontak personal lebih berpotensi memicu penularan daripada makanan yang terkontaminasi. Oleh karena itu, upaya perlu difokuskan pada perlindungan karyawan yang terlibat di dalam penanganan dan pengolahan ikan.
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko penularan virus Covid-19 adalah jarak antarkaryawan dalam penanganan ikan di kapal penangkap hingga alur pengolahan ikan, seperti dalam pemotongan, penyortiran, penimbangan, pengemasan, penggunaan alat kerja, laboratorium dan ruang kerja, serta transportasi. Tempat tinggal (mes) pekerja musiman, serta ruang di atas kapal juga dapat meningkatkan risiko terinfeksi.
”Semua pengusaha pengolahan ikan perlu merencanakan penilaian dan pengendalian Covid-19 di tempat kerja mereka selama pandemi, untuk melindungi kesehatan pekerja dan memastikan mereka dapat terus beroperasi dengan aman,” katanya.