Jangan Buru-buru Terapkan Normal Baru Era Vaksinasi
Jika normal baru era vaksinasi diterapkan terlalu dini, pemulihan pandemi akan lebih lama sehingga penanganannya akan semakin melelahkan dan akan membutuhkan lebih banyak biaya.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan tidak terburu-buru menerapkan normal baru di era vaksinasi karena angka positivity rate Indonesia masih tinggi dan jumlah penduduk yang sudah divaksin masih rendah. Pemerintah diharapkan belajar dari pengalaman tahun lalu ketika terlalu dini menerapkan normal baru berbasis protokol kesehatan.
Harapan itu mengemuka lantaran ada kekhawatiran terjadi lonjakan kasus Covid-19 jika pemerintah menerapkan normal baru di era vaksinasi terlalu dini. Pemerintah sedang menguji coba pembukaan 138 pusat perbelanjaan di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang dengan salah satu syarat para pekerja dan pengunjung harus sudah divaksin pada 10-16 Agustus 2021.
Pemerintah juga akan mengizinkan industri berbasis ekspor di wilayah tertentu beroperasi 100 persen dengan penerapan protokol kesehatan ketat mulai 16 Agustus 2021. Kedua kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2021.
Pengamat kebijakan publik Universitas Universitas Pembangunan Negara Veteran, Jakarta, Achmad Nur Hidayat, Kamis (12/8/2021), berpendapat, masih terlalu dini untuk menguji coba pembukaan mal dan mengizinkan industri berbasis ekspor beroperasi 100 persen. Hal ini mengingat kasus Covid-19 Indonesia masih tergolong tinggi dan jumlah penduduk yang sudah divaksin masih rendah.
Namun, lantaran ada pertimbangan ekonomi, terutama terkait semakin tergerusnya pendapatan masyarakat kelas menengah dan bawah, pemerintah terpaksa berkompromi dengan penanganan pandemi Covid-19 atau sektor kesehatan.
”Padahal, hal itu bisa diatasi sementara dengan meningkatkan dan memperluas program bantuan sosial. Jika dana menjadi masalah, realokasi anggaran bisa dilakukan, misalnya dengan mengurangi anggaran penyertaan modal negara untuk perusahaan milik negara, pertahanan, dan pemindahan ibu kota negara,” kata Achmad ketika dihubungi di Jakarta.
Kementerian Kesehatan menargetkan sebanyak 208.265.720 warga akan divaksinasi secara bertahap. Per 12 Agustus 2021, warga yang telah divaksin dosis pertama sebanyak 51.894.566 orang atau baru 24,92 persen dari total sasaran dan dosis kedua sebanyak 25.744.850 orang (12,36 persen). Hingga akhir Juli 2021, Indonesia telah menerima sebanyak 130 juta dosis vaksin. Jumlah itu masih di bawah 50 persen dari target nasional sebanyak 426 juta dosis vaksin.
Di waktu yang sama, ada penambahan 24.709 kasus harian Covid-19 sehingga 3.774.155. Sementara itu, ada penambahan 1.466 kasus kematian akibat Covid-19 sehingga jumlah total yang meninggal menjadi 113.664 kasus. Jumlah tes yang dilakukan hari ini juga kembali turun menjadi 136.252 orang dan positivity rate (perbandingan antara jumlah kasus positif Covid-19 dengan jumlah tes yang dilakukan) harian 18,13 persen.
Achmad juga khawatir jika kebijakan tersebut akan berlanjut ke kebijakan normal baru era vaksinasi yang diterapkan terlalu dini tanpa mempertimbangkan data epidemologis. Jika hal ini menjadi, pilihan pemerintah, pemulihan ekonomi dan kasus Covid-19 bisa terus berfluktuasi. Pola pemulihan ekonominya nanti akan berbentuk huruf W.
”Pemerintah harus belajar dari pengalaman tahun lalu. Percepatan penerapan normal baru berbasis protokol kesehatan tetap membuat Indonesia jatuh ke dalam resesi. Seiring dengan itu, kasus Covid-19 juga terus berfluktuasi sehingga lama ditangani,” ujar Achmad.
Ada kekhawatiran jika kebijakan tersebut akan berlanjut ke kebijakan normal baru era vaksinasi yang diterapkan terlalu dini tanpa mempertimbangkan data epidemologis.
Baca juga: Keluar dari Resesi
Ahli epidemiologi Indonesia dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, mengatakan, idealnya, pembukaan aktivitas ekonomi itu seiring dengan terkendalinya kasus Covid-19. Saat ini, gelombang kedua lonjakan kasus Covid-19 akibat persebaran sejumlah varian virus korona baru, terutama Delta, di Indonesia masih tinggi dan belum terkendali dengan baik.
Hal itu, terutama terindikasi dari positivity rate Indonesia yang masih tinggi atau di atas 10 persen. Angka tersebut masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan ambang batas minimal angka positivity rate kurang dari 5 persen.
”Apabila positivity rate suatu daerah semakin tinggi, kondisi pandemi di daerah tersebut memburuk. Risiko orang terpapar dan laju penyebaran juga masih tinggi. Seharusnya pelonggaran aktivitas ekonomi harus ditahan dahulu,” kata dia.
Namun, lanjut Dicky, sejak awal, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memilih pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19 berjalan beriringan. Maka tidak mengherankan jika kasus masih belum reda, pemerintah tetap melonggarkan aktivitas ekonomi lantaran kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terimbas pandemi sejak 1,5 tahun semakin parah.
Di sisi lain, pemerintah ingin mempertahankan juga tren membaiknya pertumbuhan ekonomi. Jika ini pilihan pemerintah, risiko penularan Covid-19 masih akan tinggi dan sulit terkendali. Kurva kasusnya akan bergelombang atau kerap disebut sebagai kurva peaks and valleys.
”Konsekuensinya adalah pemulihan pandemi akan lebih lama sehingga penanganannya akan semakin melelahkan dan membutuhkan lebih banyak biaya. Hal ini tetap perlu dimbangi dengan terus dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat, pembatasan mobilitas, percepatan vaksinasi, dan 3T (tes Covid-19, penelusuran kontak erat, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang terpapar Covid-19),” ujarnya.
Jika ini pilihan pemerintah, risiko penularan Covid-19 masih akan tinggi dan sulit terkendali. Kurva kasusnya akan bergelombang atau kerap disebut sebagai kurva peaks and valleys.
Dicky juga berharap agar pemerintah tidak terburu-buru atau terlalu dini menerapkan normal baru di era vaksinasi. Sejumlah negara yang lain yang telah dan sedang menyiapkannya tetap menjadi data epidemoligis sebagai acuan utama, sembari terus melakukan 3T dan percepatan vaksinasi.
Baca Juga:
- Satu Kematian dalam Pandemi, Cermin Berlapis Persoalan
- Dua Pekan Data Dibenahi, Kematian Sementara Tak Dipakai sebagai Indikator Pengendalian Covid-19
- Indonesia Bisa Lebih Parah dari India
Janji pemerintah
Sementara itu, pemerintah menggelar uji coba pembukaan 138 pusat perbelanjaan sebagai penjajakan penerapan normal baru era vaksinasi. Pemerintah berjanji akan berhati-hati dalam uji coba tersebut dan tidak akan terburu-buru membuka aktivitas ekonomi secara besar-besaran berbasis normal baru.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, pembukaan 138 pusat perbelanjaan di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung bersifat uji coba. Dalam pelaksanaanya, pemerintah akan berhati-hati dan terukur serta mempertimbangkan sejumlah potensi risiko yang muncul.
Memang potensi penularan Covid-19 saat pusat perbelanjaan dibuka itu ada, apalagi sebagian besar pusat perbelanjaan bergedung tertutup dan berpendingin ruangan. ”Oleh karena itu, pemerintah juga menerapkan langkah-langkah terukur dalam penanganan pandemi, antara lain seperti syarat vaksinasi, protokol kesehatan yang ketat, dan pembatasan pengunjung sebanyak 25 persen dari total kapasitas,” kata Lutfi ketika dihubungi di Jakarta, Kamis.
Kita tidak tahu kapan pandemi akan mereda dan berakhir. Mau tidak mau, ekonomi dan penanganan kesehatan tetap harus berjalan. Dengan catatan, pelonggaran aktivitas tetap akan berdasarkan calculated risk atau pengambilan risiko dengan penuh perhitungan.
Menurut Lutfi, pertimbangan pembukaan itu tidak hanya berdasarkan data kesehatan, tetapi juga ekonomi. Salah satunya adalah mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang tergerus daya belinya lantaran tidak bekerja.
Sepanjang sekitar lima minggu pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mulai dari darurat hingga level 4, pendapatan sebagian besar masyarakat berkurang drastis. Simpanan atau tabungan masyarakat kelas bawah yang dirumahkan atau tidak bekerja secara optimal rata-rata hanya bisa bertahan 3-4 minggu.
”Sementara itu, kita tidak tahu kapan pandemi akan mereda dan berakhir. Mau tidak mau, ekonomi dan penanganan kesehatan tetap harus berjalan. Dengan catatan, pelonggaran aktivitas tetap akan berdasarkan calculated risk atau pengambilan risiko dengan penuh perhitungan,” tuturnya.
Baca juga: Mendag: Pemerintah Akan Berhati-hati dalam Uji Coba Pembukaan Mal
Kompas mencatat, omzet pedagang kaki lima, pasar tradisional, dan ritel, misalnya, sudah tergerus 30-60 persen. Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata upah buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021 sebesar Rp 2,86 juta per bulan atau turun dari Februari 2020 yang sebesar Rp 2,911 juta per bulan. Dalam periode yang sama, rata-rata upah pekerja bebas di sektor pertanian juga turun dari Rp 1,070 juta menjadi Rp 1,031 juta.
Sekali lagi, lanjut Lutfi, pembukaan pusat perbelanjaan itu merupakan uji coba. Pemerintah akan memonitor dan mengevaluasi persoalan-persoalan yang muncul dan tingkat keberhasilannya. Jika hasilnya bagus, nanti mungkin akan diperluas ke kota-kota lain atau syarat jumlah pengunjungnya akan ditambah menjadi 50 persen dari total kapasitas.
”Ke depan, dengan tetap mempertimbangkan data epidemiologinya, normal baru di era vaksinasi akan diterapkan. Sejumlah negara lain sudah dan ada yang telah menyiapkannya. Namun, pemerintah tidak akan terburu-buru menerapkan,” ujarnya.
Baca Juga: