Digitalisasi Usaha Mikro di Desa Tak Semudah Membalik Tangan
Problem permodalan, pemasaran, produksi, dan logistik masih dihadapi pelaku usaha mikro kecil di perdesaan. Digitalisasi saja dinilai tidak cukup tanpa pendampingan dan peningkatan infrastruktur pendukung di perdesaan.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Target pemerintah untuk mendorong daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah dengan digitalisasi, khususnya bagi pelaku usaha di perdesaan, dinilai tidak semudah membalik telapak tangan. Empat problem pokok masih mereka hadapi, yakni permodalan, pemasaran, produksi, dan logistik.
Sejumlah kendala itu dinilai mudah bagi pelaku usaha di perkotaan, tetapi tidak demikian dengan mereka yang tinggal di desa. Sebab, ketersediaan infrastruktur, kecakapan memanfaatkan telepon pintar, keterbatasan pengetahuan meningkatkan produksi, dan memperluas jaringan pemasaran masih menjadi kendala.
Hasil temuan itu tersebut terungkap dalam Diseminasi Peningkatan Daya Saing Ekonomi Desa dengan Pengembangan Ekonomi Digital yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang didukung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Lembaga Pengelola Dana Bergulir Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Jakarta, Jumat (13/8/2021).
Direktur Program Indef Esther Sri Astuti selaku ketua peneliti mengungkapkan, empat problem pokok tersebut sesungguhnya dapat diatasi dengan pendekatan digitalisasi perdesaan. Problem permodalan, misalnya, bisa tempuh dengan teknologi finansial (tekfin) melalui pinjaman usaha mikro secara digital. Namun, pelaku usaha perlu didampingi dalam pengelolaan keuangannya.
Problem pemasaran pun dapat dibantu dengan memperkenalkan pengetahuan pemasaran dan pembayaran digital. Sementara problem produksi diatasi antara lain melalui internet of thing. Adapun problem logistik sebetulnya telah difasilitasi oleh banyak jasa logistik daring yang berkembang di Indonesia.
Menurut Esther, beberapa rekomendasi yang bisa dijadikan acuan untuk membantu pelaku usaha mikro kecil di perdesaan, antara lain, mendorong program standardisasi dan sertifikasi produk dari desa serta penguatan skema pelatihan daring.
Selain itu, peningkatan kualitas infrastruktur pendorong digitalisasi, seperti pengembangan listrik desa, peningkatan akses konektivitas internet, peningkatan konektivitas infrastruktur dari dan menuju desa, serta pengembangan pusat data yang dapat memantau kinerja pelaku usaha mikro kecil.
Sementara untuk logistik, lanjut Esther, rekomendasinya adalah meningkatkan sistem alamat untuk memudahkan distribusi barang. Perlu pula merevitalisasi PT Pos Indonesia (Persero) yang mampu menjangkau pengantaran barang sampai ke pelosok desa. Sementara sistem pembayaran dilakukan melalui penguatan pembayaran digital dan peningkatan literasi keuangan masyarakat desa.
Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan SDA Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Raden Edi Prio Pambudi mengatakan, digitalisasi tidak bisa berdiri sendiri karena sangat terkait ketersediaan infrastruktur. Kapasitas layanan, termasuk logistik, pun perlu diatasi agar tidak mengganggu permintaan konsumen.
”Sulit dipercaya bahwa digitalisasi tidak sekadar memudahkan, tetapi juga dianggap mengurangi tenaga kerja. Misalnya saja, permintaan 5 kilogram bawang merah dari Brebes bisa begitu mudah dilayani. Namun, begitu permintaannya mencapai 5 kuintal dan perlu dikirim ke Ternate, tentu sistem e-dagangmembutuhkan banyak tenaga kerja, mulai dari tenaga kerja di sektor produksi hingga sektor logistik,” papar Edi.
Dukungan infrastruktur harus memadai agar paralel dengan digital ekonomi. Bukan hanya barangnya yang dibutuhkan konsumen, melainkan juga penanganan logistiknya sehingga barang sampai ke tangan konsumen sesuai kebutuhan. Konsumen bisa dapat barang dari desa sesuai kebutuhannya.
Dia mencontohkan Sayurbox, aplikasi pemesanan sayur yang kelihatannya sederhana. Sebelum pandemi, pemesanan sayur ini bisa saja dengan mudah dilakukan dan cepat pengantarannya. Namun, begitu pandemi dan permintaan melonjak, tantangannya adalah mencegah penundaan (delayed) pengiriman dengan cara meningkatkan kapasitas produksi.
Fixy, Asisten Deputi Permodalan Kementerian Koperasi dan UKM, lebih menekankan pentingnya produksi yang memerlukan standardisasi. Hal ini perlu pendampingan agar mereka bisa naik kelas dan mampu berdaya saing. Bukan hanya berdaya saing di dalam negeri, melainkan juga diharapkan mampu menerobos pasar ekspor. ”Tidak akan naik kelas kalau produk dari desa terus-menerus dibeli karena rasa kasihan,” kata Fixy.
Fixy memperlihatkan perubahan perilaku konsumen Indonesia berdasarkan data E-conomy SEA 2020, mulai dari aktivitas di rumah, belanja daring, serta konsumsi produk kesehatan atau daya tahan tubuh. Penjualan e-dagang mencapai Rp 36 triliun, naik 26 persen dari rata-rata bulanan pada triwulan II-2019, sementara transaksi harian mencapai 4,8 juta atau naik dari rata-rata triwulan II-2019 yang mencapai 3,1 juta transaksi.
Selain itu, konsumen baru mencapai 51 persen. Mereka pertama kali belanja online saat pembatasan sosial berskala besar. Namun, data-data perilaku konsumen tersebut tidak secara jelas menggambarkan pola permintaan produk yang berasal dari perdesaan.
Menurut Fixy, permodalan kini bukan kendala utama karena banyak peluang permodalan yang bisa didapatkan pelaku usaha di perdesaan. Pembinaan dan pendampingan sumber daya manusia perlu dilakukan agar mereka dapat mengelola modalnya dengan baik.
Prof FX Sugiyanto, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Diponegoro, menegaskan, hasil temuan itu tidak secara spesifik menggambarkan secara jelas kegiatan usaha mikro kecil perdesaan. Tak ubahnya ”memotret” masyarakat desa yang dilakukan oleh orang perkotaan.
”Ibu-ibu di perdesaan sudah menggunakan handphone, tetapi apakah pemanfaatannya untuk hal-hal produktif? Di sinilah, pola pendampingan dan pelatihan literasi digital perlu juga dilakukan dengan monitoring kinerja usaha mikro kecil di perdesaan. Inilah yang biasanya tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah secara konsisten,” tutur Sugiyanto.