Konsumsi Masyarakat di Sektor Kesehatan dan Pendidikan Tumbuh Rendah, Ada Apa?
Pada triwulan II-2021, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,93 persen. Namun, komponen konsumsi rumah tangga bidang kesehatan dan pendidikan hanya tumbuh 1,2 persen atau tumbuh paling rendah di antara komponen-komponen lain.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengeluaran masyarakat atau konsumsi rumah tangga di sektor kesehatan dan pendidikan masih tumbuh rendah pada triwulan II-2021. Hal ini dinilai mengindikasikan kemampuan masyarakat untuk mengakses barang dan jasa di kedua sektor itu masih rendah, baik akibat penurunan daya beli maupun mahalnya biaya obat-obatan di tengah pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi nasional pada triwulan II-2021 tumbuh 7,07 persen secara tahunan dengan produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 4.175,8 triliun. Dari sisi PDB berdasarkan pengeluaran, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,93 persen secara tahunan.
Namun, komponen konsumsi rumah tangga bidang kesehatan dan pendidikan hanya tumbuh 1,2 persen secara tahunan atau tumbuh paling rendah di antara komponen-komponen konsumsi rumah tangga lainnya. Pada triwulan II-2020 pertumbuhannya 2,02 persen dan pada triwulan II-2019 atau sebelum pandemi Covid-19 sebesar 6,63 persen.
Komponen konsumsi rumah tangga bidang kesehatan dan pendidikan hanya tumbuh 1,2 persen secara tahunan atau tumbuh paling rendah di antara komponen-komponen konsumsi rumah tangga lainnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, Selasa (10/8/2021), mengatakan, secara umum, daya beli masyarakat saat ini semakin tergerus di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun. Hal ini tidak terlepas dari berkurangnya pendapatan masyarakat, terutama kelas bawah, antara lain karena pemutusan hubungan kerja, pengurangan jam kerja, dan sepinya usaha.
Berdasarkan data BPS, rata-rata upah buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021 sebesar Rp 2,86 juta per bulan atau turun dari Februari 2020 yang sebesar Rp 2,911 juta per bulan. Dalam periode yang sama, rata-rata upah pekerja bebas di sektor pertanian juga turun dari Rp 1,070 juta menjadi Rp 1,031 juta.
Hal ini, lanjut Abra, turut berpengaruh pula terhadap pengeluaran masyarakat untuk konsumsi barang atau jasa bidang kesehatan dan pendidikan. Lantaran terbatasnya pendapatan, masyarakat lebih memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan pokok, seperti pangan, ketimbang kesehatan dan pendidikan.
Di sisi lain, jumlah tabungan masyarakat berpenghasilan tertentu juga semakin tergerus. Lembaga Penjamin Simpanan menunjukkan, jumlah simpanan nasabah di bawah Rp 100 juta pada periode Januari-Juni 2021 telah turun 1,2 persen.
”Tak hanya akibat penurunan daya beli, kenaikan harga obat-obatan dan alat-alat kesehatan yang terjadi saat pandemi turut membebani dan membuat konsumen kelas bawah kesulitan mengaksesnya. Wajar kiranya jika pengeluaran masyarakat untuk produk-produk itu tidak tumbuh optimal,” kata Abra ketika dihubungi di Jakarta.
Sementara untuk pengeluaran di bidang pendidikan, sambung Abra, dengan menurunnya pendapatan sepanjang pandemi Covid-19, masyarakat berpenghasilan rendah semakin tidak mampu menjangkau beragam kebutuhan di bidang itu. Beragam kebutuhan itu antara lain pembiayaan untuk tahun ajaran baru, biaya sekolah bulanan dan uang gedung untuk yang bersekolah di sekolah swasta, serta biaya pulsa atau paket data untuk kegiatan belajar-mengajar secara daring.
Itu baru pengeluaran kebutuhan di jenjang pendidikan anak usia dini hingga menengah atas. Bagi keluarga yang anaknya berkuliah atau yang baru masuk perguruan tinggi, pengeluarannya pasti akan semakin besar.
”Saya yakin sudah ada anak-anak yang putus sekolah lantaran orangtuanya tidak mampu membiayainya,” ujarnya.
Pada akhir tahun lalu, hasil survei Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) menunjukkan, sebanyak 938 atau sekitar 1 persen anak usia 7-18 tahun putus sekolah karena terdampak pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, 74 persen anak putus sekolah karena tidak ada biaya.
Survei tersebut dilakukan pada keluarga miskin penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa yang mempunyai anak usia 4-18 tahun di 1.104 desa di 347 kabupaten/kota. Survei itu melibatkan sekitar 109.000 keluarga dan 145.000 anak usia 4-18 tahun (Kompas, 24 Desember 2021).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti menuturkan, pada Maret 2020 hingga Mei 2021, KPAI menerima 34 kasus pengaduan masyarakat terkait tunggakan pembayaran biaya sekolah bulanan atau sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Dari jumlah itu, sebanyak 16 kasus pengaduan terjadi pada Maret-Desember 2020 dan 18 kasus pada Januari-Mei 2021.
Pengaduan itu berasal dari orangtua siswa yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga menunggak pembayaran SPP. Ada yang selama 3-6 bulan, bahkan selama setahun. ”Lantaran menunggak, ada yang tidak diperkenakan mengikuti ujian akhir tahun dan bahkan ada yang dikeluarkan dari sekolah,” ujarnya.
Lantaran menunggak, ada yang tidak diperkenakan mengikuti ujian akhir tahun dan bahkan ada yang dikeluarkan dari sekolah.
Selain berdasarkan pengaduan, imbuh Retno, KPAI juga secara rutin mengawasi sekolah-sekolah. Dari sekitar 49 sekolah di sembilan provinsi, ada 119 kasus anak putus sekolah pada Maret 2020 hingga Mei 2021. Sebagian besar anak putus sekolah memang lantaran menikah dini, beberapa yang lainya lantaran tidak mampu membayar sekolah, bekerja, kecanduan bermain gim, dan tidak mempunyai gawai untuk kegiatan belajar-mengajar daring.
Sebenarnya kalau mau dilihat dari akar persoalannya, mayoritas anak putus sekolah lantaran menikah dini, tidak mampu bayar sekolah, bekerja, dan tidak mempunyai gawai karena kondisi ekonomi keluarga. Meski belum merepresentasikan seluruh Indonesia, kasus-kasus dari hasil pengaduan dan pengawasan itu menunjukkan fakta bahwa ada kesulitan ekonomi yang berimbas pada sektor pendidikan.
”Kami sebenarnya sudah berulang kali merekomendasikan agar pemerintah mencermati kondisi tersebut. Petakan para siswa yang orangtuanya mengalami kesulitan ekonomi atau meninggal lantaran Covid-19 melalui sekolah-sekolah. Kemudian bantu mereka agar tidak putus sekolah dan optimalkan program Kartu Indonesia Pintar,” ujar Retno.
Jika tidak segera ditangani dan diantisipasi, lanjut Retno, persoalan ekonomi ini akan semakin berimbas ke sektor pendidikan. Kondisi tersebut akan menambah jumlah anak tidak sekolah yang berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 mencapai 4.337.503 anak usia 7-18 tahun.