Dampak Perpanjangan Insentif Properti Dinilai Tidak Signifikan
Perpanjangan masa pemberian insentif pajak di sektor properti dinilai positif untuk menggairahkan penjualan. Namun, dampaknya diperkirakan tidak signifikan karena sejumlah persyaratan yang sulit dipenuhi pengembang.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perpanjangan insentif pajak di sektor properti tetap dinilai sebagai sesuatu yang positif dan bisa dimanfaatkan pengembang properti. Namun, pemberian insentif di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat dianggap sulit mendorong penjualan rumah secara fantastis.
Wakil Ketua DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya di Jakarta, Selasa (10/8/2021), mengatakan, pihaknya menyambut baik perpanjangan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di sektor properti dari sebelumnya Agustus 2021 menjadi Desember 2021.
Perpanjangan insentif PPN tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103/PMK.010/2021 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021. Beleid tersebut menggantikan PMK Nomor 21/PMK.010/2021.
”Sangat disayangkan, pemerintah tidak mengakomodasi penjualan rumah dengan sistem inden maksimal satu tahun dari DP (down payment). Tentu dampaknya tetap positif. Hingga akhir tahun, minimal penjualan meningkat 30 persen. Karena keterbatasan persediaan stok, kami perkirakan penjualan tidak lagi bisa fantastis (seperti di) awal, beberapa pengembang sempat mencatat kenaikan penjualan bulanan lebih dari 200 persen,” kata Bambang.
Menurut Bambang, perpanjangan masa pemberian insentif lebih sebagai ”pemanis” bagi pengembang besar yang biasanya memiliki stok dan subsidi kredit pemilikan rumah (KPR) untuk pengembang kecil. Sementara bagi pengembang kelas menengah, insentif itu tetap membuat mereka terjepit.
Pengembang yang menjual properti dengan harga antara Rp 500 juta dan Rp 2 miliar per unit, menurut dia, umumnya sulit menyediakan stok rumah siap huni karena keterbatasan modal. Sementara insentif PPN diberikan untuk penjualan rumah tapak dan rumah susun siap huni atau ready stock.
Assistant Vice President Residential Marketing PT Agung Podomoro Land Tbk Zaldy Wihardja memandang, perpanjangan insentif PPN sangat mendukung dan mendongkrak penjualan. Hanya saja, hal itu memang tersegmentasi. Artinya, hanya sebagian konsumen yang dapat menikmatinya karena mereka harus melunasi rumah dalam periode tertentu, baik lewat pengembang maupun sistem KPR.
Selain itu, hanya beberapa pengembang yang memiliki stok properti atau siap bangun dalam waktu singkat saat ini. Jika mereka harus membangun dalam waktu tertentu, lahan mesti sudah siap bangun dan telah tersedia infrastrukturnya.
Dalam pembangunan properti, pengembang perlu mendesain pembangunan kawasan, termasuk penyediaan instalasi jangka panjang. ”Paling tidak, program ini dapat mengoptimalkan sektor properti dalam masa pandemi ini,” ujar Zaldy.
Managing Director Strategic Business and Services Sinar Mas Land (SML) Alim Gunadi, secara terpisah, mengatakan, perpanjangan kebijakan insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) tetap perlu disambut baik, terutama karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) saat ini. Dengan demikian, pemberian insentif bisa menjadi kesempatan baik bagi pengembang dan konsumen juga untuk memanfaatkannya.
”Sinar Mas Land sekarang masih menjalankan program Wish for Home yang periodenya berakhir 31 Desember 2021. Jadi, kesempatan yang baik bagi SML terkait perpanjangan PPN DTP. Sebab, sebagian besar produk dalam program kepemilikan rumah tapak ini memang sudah siap huni atau siap diserahterimakan pada akhir tahun 2021,” tutur Alim.
Banyak hambatan
Menurut Bambang, terkait dengan aturan serah terima penjualan rumah pada akhir 2021, kebijakan insentif tersebut tetap sama. Insentif diberlakukan bagi rumah ready stock. Dampaknya, banyak hambatan yang dihadapi pengembang. Padahal, pembangunan rumah kelas menengah minimal membutuhkan waktu enam bulan untuk menghasilkan rumah yang benar-benar siap huni.
”Tidak bisa buru-buru dibangun. Belum lagi hambatan kepengurusan izin mendirikan bangunan yang karena kebijakan bekerja dari rumah (WFH) (terhambat prosesnya sehingga) ada keterlambatan,” kata Bambang.
Menurut Bambang, pembangunan rumah saat ini juga tidak bisa cepat terealisasi. Sebab, sebagian industri material tutup dan tenaga kerja relatif terbatas. Belum lagi pengembang perlu berjaga-jaga agar pekerjanya juga bekerja dalam keadaan sehat. Pekerja perlu dicek kondisinya untuk memastikan mereka bebas Covid-19.
DPP REI juga masih melihat masalah bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang sebesar 5 persen. BPHTB diharapkan dapat disamakan dengan Pajak Penghasilan (PPh) yang besarnya 2,5 persen. Dasar penghitungannya juga hendaknya tidak lagi berdasarkan nilai jual obyek pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan yang nilainya terkadang tidak realistis.
Di lain sisi, kata Bambang, konsumen juga baru mau membeli properti kalau ada insentif promo harga yang bagus. Semua ini berarti akan mengurangi margin keuntungan pengembang. Oleh karena itu, ke depan insentif pajak perlu memprioritaskan pengembang menengah.