Produksi Udang Perlu Ditopang Daya Dukung Lingkungan
Upaya menggenjot produksi dan ekspor udang perlu dipadukan dengan daya dukung lingkungan. Penurunan daya dukung hutan bakau atau mangrove antara lain dipicu oleh masifnya usaha tambak udang.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Tambak-tambak jaring apung milik warga dan Karang Taruna Kelurahan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (25/5/2021). Mereka memanfaatkan rawa-rawa untuk sejahtera di tengah kesulitan ekonomi karena pandemi Covid-19. Lahan yang bertahun-tahun tidur kini bertransformasi jadi tempat budidaya ikan dan udang galah yang menjanjikan.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menggenjot produksi udang melalui intensifikasi dan ekstensifikasi tambak dinilai perlu mempertimbangkan daya dukung lingkungan, termasuk ekosistem bakau. Kegiatan ekonomi yang menyebabkan alih fungsi hutan bakau atau mangrove menimbulkan kerentanan di wilayah pesisir.
Pusat Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Pusaran KP) meminta pemerintah mendorong program pengembangan perikanan berbasis konservasi mangrove. Salah satu penyebab deforestasi hutan bakau adalah pemanfaatan pertambakan yang tidak terukur.
Ketua Dewan Pembina Pusaran KP Abdul Kadir Karding menilai, pengembangan teknologi budidaya udang intensif dan superintensif perlu dihindari, terutama pada kawasan yang daya dukungnya sudah terlampaui. Apalagi, di lokasi itu tidak ada kawasan penyangga berupa ekosistem mangrove. ”(Teknologi budidaya) ini dikhawatirkan akan memicu degradasi kualitas lingkungan,” kata Karding, dalam keterangan tertulis, Senin (9/8/2021).
Indonesia tengah mengalami laju deforestasi mangrove yang tinggi. Luas hutan bakau di Indonesia sekitar 3,4 juta hektar (ha) atau 23 persen dari hutan mangrove dunia. Namun, sekitar 1,8 juta ha rusak akibat pemanfaatan yang tidak terukur, antara lain usaha pertambakan. Ia meminta semua pihak menyikapi kerusakan ekosistem bakau di kawasan pesisir.
Ia menambahkan, teknologi tinggi yang berorientasi pada peningkatan produksi sebaiknya tidak dipaksakan pada kawasan yang daya dukungnya tak lagi memadai, apalagi jika tidak memiliki kawasan penyangga. Oleh karena itu, pengembangan budidaya tambak perlu berbasis konservasi mangrove.
”Pemerintah perlu memulihkan daya dukung kawasan dengan mendorong aktivitas budidaya tambak berbasis konservasi mangrove,” kata Karding.
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menargetkan nilai ekspor udang nasional meningkat 250 persen hingga tahun 2024 seiring dengan rencana pemerintah mendongkrak produksi udang. Pemerintah tengah menyiapkan rencana induk pengembangan shrimp estate hingga tahun 2024.
Langkah yang dilakukan antara lain dengan mengevaluasi dan revitalisasi tambak-tambak udang. Tambak yang rusak akan direvitalisasi agar lebih efisien, antara lain dengan instalasi pengolahan limbah, tandon, irigasi, pakan, perbenihan, dan laboratorium (Kompas 25/6).
Komoditas udang telah ditetapkan sebagai produk unggulan perikanan budidaya. Pada 2020, kontribusi nilai ekspor udang mencapai 2,04 miliar dollar AS atau 39,2 persen dari total ekspor perikanan nasional yang mencapai 5,203 miliar dollar AS. Adapun volume ekspor udang tercatat 239.230 ton (18,9 persen).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Mahasiswa Universitas PGRI Semarang menanam mangrove di Pantai Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (11/12/2020). Kegiatan tersebut untuk mengenalkan kegiatan konservasi pesisir utara yang rusak.
Menurut Karding, upaya menyikapi penurunan daya dukung kawasan tambak adalah melalui pemulihan kawasan, yakni melalui restorasi ekosistem bakau yang terintegrasi dengan budidaya perikanan. Pemerintah perlu mendorong konsep tambak yang terhubung mangrove (AMA) dalam pengembangan ekonomi masyarakat pesisir.
Konsep AMA yang diinisiasi Universitas Diponegoro Semarang itu dinilai efektif untuk menyikapi masalah deforestasi hutan bakau, kerusakan lingkungan pesisir, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Guru besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Diponegoro Semarang Sri Rejeki menjelaskan, konsep AMA berupa penanaman mangrove di sempadan pantai atau 100 meter dari surut terendah, 50 meter dari sempadan sungai, dan tambak tandon. Konsep itu merupakan pembaruan dari konsep wana mina (silvofishery).
Ia menambahkan, setidaknya ada lima keuntungan dari konsep AMA, yakni perlindungan pantai, restorasi mangrove, kualitas air terjaga baik, biaya produksi lebih efisien, dan nilai tambah ekonomi lebih optimal karena ikan yang dibudidayakan lebih beragam.
”Upaya konservasi mangrove dan rehabilitasi kawasan pesisir harus secara langsung memberikan nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir dan bisa diadopsi di daerah lain,” kata Sri, dalam diskusi ”Mangrove Talks”, secara daring, akhir pekan lalu.