Implementasi Perizinan Usaha Berbasis Risiko Bisa Berbeda
Kendati diklaim membuat pengurusan perizinan lebih cepat, sistem perizinan berusaha berbasis risiko berpotensi ada hambatan di tingkat derah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal secara resmi meluncurkan sistem perizinan berusaha berbasis risiko atau online single submission risk based approach pada Senin (9/8/2021). Sistem ini disebut dapat mempercepat proses perizinan berusaha. Namun, implementasi sistem ini di daerah bisa berbeda.
”Online single submission risk based approach (OSS-RBA) sudah mulai dites sejak pekan lalu. Hasilnya stabil. Sistem menghubungkan empat aplikasi, yaitu ruang lingkup kabupaten/kota, provinsi, kementerian/lembaga, dan pusa,t yaitu Kementerian Investasi sebagai penghubung,” kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia.
Sistem ini, lanjut Bahlil, merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi pengusaha, efisiensi, dan transparansi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, yang merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja, terdapat 1.702 kegiatan usaha yang terdiri atas 1.349 klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang siap menggunakan OSS-RBA. Namun, untuk 353 KBLI lainnya baru bisa menikmati layanan OSS teranyar paling lambat akhir Agustus 2021.
Bahlil menambahkan, OSS berbasis risiko membagi tingkat perizinan menjadi tiga level, yakni rendah, sedang, dan tinggi. Jika dalam jangka waktu maksimal 20 hari pemerintah daerah atau kementerian dan lembaga terkait belum mengeluarkan izin, padahal semua berkas sudah lengkap, sistem secara otomatis akan mengeluarkan izin untuk memberikan kepastian hukum bagi investor.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, yang merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja, terdapat 1.702 kegiatan usaha yang terdiri atas 1.349 klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang siap menggunakan OSS-RBA.
”Kami memahami betul izin jangan kita tahan. Menahan izin sama dengan menahan pertumbuhan ekonomi nasional. Menahan izin sama dengan menahan penciptaan lapangan pekerjaan. Menahan izin sama dengan menahan kemudahan berusaha kita,” ucap Bahlil.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, kemudahan perizinan dalam OSS berbasis risiko akan turut mendorong perekonomian usaha kecil. ”Usaha kecil mengah dengan risiko rendah, otomatis (mudah) keluar izinnya (dengan cepat),” ujarnya.
Sri Mulyani berharap, melalui OSS berbasis risiko, investasi ataupun pembentukan modal tetap bruto (PMTB) akan terus tumbuh dengan cepat di paruh kedua tahun ini. ”Investasi pada triwulan II-2021 sudah meningkat di atas 7 persen. Tren ini diharapkan tetap bertahan untuk bisa betul-betul menciptakan tenaga kerja (baru). Tentu saja dengan investasi yang tinggi, pemulihan ekonomi bisa berjalan dengan sehat,” ucapnya.
Sebelumnya, ada kekhawatiran bahwa penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko melalui sistem OSS-RBA di daerah terancam terhambat. Pasalnya, tidak semua daerah memiliki infrastruktur dan kualitas pelayanan publik yang sama dalam memberikan layanan perizinan.
Investasi pada triwulan II-2021 sudah meningkat di atas 7 persen. Tren ini diharapkan tetap bertahan untuk bisa betul-betul menciptakan tenaga kerja (baru).
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, dalam diskusi daring, Kamis (5/8/2021), menilai tujuan utama dari OSS berbasis risiko sangat baik. Namun, saat ini kualitas pelayanan perizinan di daerah masih berbeda. Akibatnya, implementasi OSS berbasis risiko bisa berbeda antardaerah bergantung pada kesiapan pemerintah daerah masing-masing.
Dalam memberikan pelayanan perizinan, imbuh Hery, belum semua daerah mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Masih ada pelayanan perizinan yang dikeluarkan oleh instansi teknis bukan dari PTSP sehingga masyarakat masih harus mengurus rekomendasi teknis di kantor terkait.
Implementasi standar pelayanan di bidang perizinan pun masih rendah. Banyak masyarakat belum tahu prosedur standar pelayanan yang harus dipenuhi sehingga berakibat banyaknya waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna layanan. Tidak adanya standar biaya untuk izin lingkungan juga mendorong kerawanan pungutan liar.