Dampak Jangka Panjang Pasca-pandemi Perlu Diantisipasi
Dampak jangka panjang pasca-pandemi diperkirakan membuat perekonomian sulit kembali ke posisi sebelumnya. Pemerintah dan semua pihak perlu bekerja sama mengantisipasi hal ini.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Seorang terlelap pada lahan kosong yang berada di bawah jembatan kereta di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (20/52/021). Berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran pada Februari 2021 adalah 6,93 juta orang, menurun dari posisi Agustus 2020 yang sebanyak 9,77 juta orang.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersama semua pihak perlu mengantisipasi dampak jangka panjang perekonomian Indonesia pada tahun-tahun mendatang pasca-pandemi. Perekonomian akan semakin sulit melompat kembali ke tingkat pertumbuhan seperti tahun-tahun sebelum terjadinya kontraksi ekonomi karena pandemi apabila tidak memperoleh penanganan yang tepat dan cepat.
Deputi Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Amalia Adininggar mengungkapkan hal itu berdasarkan telaah atas krisis-krisis ekonomi yang sebelumnya pernah mendera Indonesia.
”PandemiCovid-19 diperkirakan menyebabkan dampak jangka panjang bagi perekonomian kita,” ujar Amalia dalam webinar bertajuk ”Perubahan Paradigma dalam Transformasi Ekonomi Menuju Indonesia 2045” pada Rabu (4/8/2021).
TANGKAPAN LAYAR
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) selama pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan tingkat kemiskinan di Indonesia bertambah. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang atau meningkat 1,12 juta orang dibandingkan Maret 2020 yang merupakan masa awal pandemi. Angka kemiskinan itu setara dengan 10,14 persen penduduk Indonesia.
”Butuh upaya untuk mengembalikan tingkat kemiskinan menjadi satu digit lagi,” ujar Amalia.
Tidak hanya itu, ketimpangan di Indonesia juga makin melebar. Data BPS menunjukkan, rasio gini pada Maret 2021 berada pada level 0,384, angka ini meningkat dibandingkan Maret 2020 yang sebesar 0,381. Rasio gini menunjukkan ketimpangan pada skala 0 sampai 1. Semakin mendekati angka 1 berarti ketimpangan makin besar.
Selain itu, pandemi juga menyebabkan banyak tenaga kerja beralih ke sektor informal yang produktivitasnya rendah. Bappenas mencatat tenaga kerja di sejumlah lapangan usaha mengalami penurunan. Pada industri pengolahan misalnya, tenaga kerja berkurang 1,72 juta. Pengurangan yang lebih kecil terjadi pada konstruksi, jasa pendidikan, administrasi pemerintahan dan pertahanan, jasa keuangan, serta asuransi.
”Perpindahan ke sektor informal ini membuat produktivitas menurun,” ujar Amalia.
Berkaca dari krisis-krisis ekonomi sebelumnya, perekonomian Indonesia tidak pernah kembali pada jalur prediksi awal (trajectory) atau lintasan seharusnya. Perhitungan Bapenas, ada selisih 30 persen lebih rendah antara capaian riil PDB Indonesia pada 2019 dengan trajectory seharusnya bila tanpa krisis ekonomi.
Belajar dari krisis finansial Asia pada 1998, butuh waktu pemulihan lima tahun untuk kembali ke tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) sebelum krisis. Selain itu, butuh 10 tahun setelah krisis Asia atau tepatnya 2008 untuk kembali ke tingkat produktivitas kerja sebelum krisis.
Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini mengatakan, penyediaan lapangan kerja bagi angkatan kerja menjadi masalah krusial hari ini karena dampak pandemi. Tidak mungkin tercipta pemulihan ekonomi yang tinggi sebelum tercipta serapan tenaga kerja yang luas.
”Saat ini, penduduk usia produktif di atas 15 tahun, 56 persennya hanya lulusan SD dan SMP, 19 persen lulusan SMA dan 12 persen lulusan SMK. Untuk menghadapi kondisi ini investasi harus didorong agar mampu menyerap lapangan kerja yang luas,” terang Hendri.
Pemerintah juga perlu visi pembangunan yang inklusif. Ini agar pertumbuhan ekonomi ini bisa dinikmati semua kalangan dan menyejahterakan semua penduduk.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, APBN berperan untuk mendorong pemulihan ekonomi dalam pandemi Covid-19. Saat ini, alokasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) naik dari Rp 699,43 triliun menjadi Rp 744,75 triliun. Kenaikan ada pada pos untuk perlindungan sosial dari Rp 153,86 triliun menjadi Rp 187,84 triliun serta pos kesehatan dari Rp 193,93 triliun menjadi Rp 214,95 triliun.