Bisnis Obat dan Vaksin Melejit, TRIPS Waiver "Terjepit"
Pemulihan penuh perdagangan global dan perjalanan internasional secara umum bergantung pada akses yang cepat dan adil terhadap vaksin Covid-19 di seluruh dunia.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
TANGKAPAN LAYAR KANAL YOUTUBE SEKRETARIAT PRESIDEN
Kedatangan vaksin Covid-19 tahap ke-31 di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (30/7/2021).
Perdagangan global terus tumbuh kendati lambat dan tidak merata. Di tengah belum meredanya pandemi Covid-19, perdagangan obat-obatan dan produk medis atau kesehatan melejit. Namun di balik itu, akses terhadap obat, vaksin, dan produk kesehatan lain belum merata.
Proposal akses kesetaraan atau penghapusan sementara hak paten obat dan vaksin, Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Waiver, ”terjepit” di tengah menggiurkannya bisnis berbagai produk medis untuk penanganan Covid-19. Proposal yang diusulkan India dan Afrika Selatan pada 6 Oktober 2020 dan dibahas hingga pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Geneva, Swiss, pada 29 Juli 2021, belum mencapai konsensus dari 164 negara anggota.
Dalam Tinjauan Statistik Perdagangan Dunia 2021 yang dirilis 27 Juli 2021, WTO menyebutkan, nilai ekspor barang dunia turun 8 persen menjadi 17,58 triliun dollar AS dan ekspor jasa komersial anjlok 20 persen menjadi 4,91 triliun dollar AS pada 2020 dibandingkan 2019. Adapun pada triwulan I dan II-2021, perdagangan dunia tumbuh lambat masing-masing 2,1 persen dan 4,3 persen.
Perdagangan dunia mulai pulih pada pertengahan 2020, tetapi dengan perbedaan besar di seluruh wilayah dan sektor. Pemulihan perdagangan barang sebagian besar disebabkan oleh perdagangan barang-barang manufaktur, sementara perdagangan jasa terus terbebani dengan berlanjutnya pembatasan perjalanan akibat Covid-19.
”Pemulihan penuh perdagangan global dan perjalanan internasional secara umum bergantung pada akses yang cepat dan adil terhadap vaksin Covid-19 di seluruh dunia,” kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala dalam siaran pers.
Pemulihan penuh perdagangan global dan perjalanan internasional secara umum bergantung pada akses yang cepat dan adil terhadap vaksin Covid-19 di seluruh dunia.
SUMBER: WTO
Kondisi perdagangan global di tengah pandemi Covid-19 dalam Tinjauan Statistik Perdagangan Dunia 2021 yang dirilis Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 27 Juli 2021.
Dalam laporannya tersebut, WTO juga mencatat, sepanjang 2020, perdagangan produk-produk medis tumbuh 16,3 persen dibandingkan dengan 2019 yang sebesar 4,7 persen. Berdasarkan produknya, perdagangan obat-obatan berkontribusi 52,2 persen dari total perdagangan, kemudian disusul antara lain obat suplemen (17,3 persen), peralatan medis (13,1 persen), dan masker (11,1 persen).
Pangsa pasar barang medis tersebut juga tumbuh dari 5,3 persen pada 2019 menjadi 6,6 persen pada 2020. Pertumbuhan sektor perdagangan ini diperkirakan semakin melejit tahun ini lantaran pandemi masih belum usai, bahkan muncul varian-varian baru virus korona penyebab Covid-19.
Sementara MarketsandMarkets Research memproyeksikan total nilai pasar vaksin global bisa mencapai 58,4 miliar dollar AS pada 2024 atau meningkat dari 2019 yang sebesar 41,7 miliar dollar AS, dengan laju pertumbuhan tahunan (CAGR) rata-rata 4 persen. Pertumbuhan pasar ini sebagian disebabkan tingginya prevalensi penyakit menular, program vaksinasi, serta meningkatnya inisiatif perusahaan dan dukungan pemerintah untuk meningkatkan riset dan pengembangan vaksin.
Disebutkan juga, pasar pengembangan dan manufaktur kontrak farmasi global diperkirakan tumbuh dari 200,7 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 146,1 miliar dollar AS pada 2025, dengan CAGR sebesar 7,7 persen. Beberapa di antaranya telah dan akan dilakukan Thermo Fisher Scientific Inc. (AS), Catalent, Inc. (AS), Lonza Group Ltd. (Swiss), Recipharm AB (Swedia), AbbVie Inc. (AS), Aenova Group (Jerman), Almac Group (Inggris), Siegfried Holding AG (Swiss), dan Ingelheim International GmbH (Jerman).
Aktivitas petugas dengan pakaian steril di dalam fasilitas produksi vaksin Covid-19 di lokasi produksi baru perusahaan Jerman BioNTech di Marburg, Jerman, Sabtu (27/3/2021). Langkah pertama adalah produksi mRNA, yang merupakan bahan aktif farmasi dari vaksin, yang dikembangkan BioNTech yang bermitra dengan rakasasa farmasi AS, Pfizer. Satu batch mRNA saat ini cukup untuk menghasilkan sekitar 8 juta dosis.
TRIPS Waiver
Di tengah melejitnya pertumbuhan perdagangan produk-produk medis, termasuk obat-obatan dan vaksin, akses vaksin masih belum merata. Masih banyak penduduk negara-negara miskin dan berkembang yang belum divaksinasi. Hal ini menyebabkan pemulihan kesehatan dan ekonomi di setiap negara tidak merata sehingga menyebabkan pelambatan pertumbuhan perdagangan dan ekonomi global.
OurWorld in Data mencatat, per 2 Agustus 2021, 28,6 persen dari 7,8 miliar total populasi dunia telah menerima setidaknya satu dosis vaksin Covid-19 dan 14,8 persen telah divaksinasi lengkap. Total vaksin Covid-19 yang telah digulirkan secara global 4,21 miliar dosis dengan tingkat imunisasi rata-rata 38,67 juta dosis per hari. Khusus negara-negara berpenghasilan rendah, baru 1,1 persen penduduknya yang telah menerima satu dosis vaksin.
Tidak mengherankan jika India dan Afrika Selatan mengusulkan proposal TRIPS Waiver. Proposal ini menekankan permintaan penangguhan ketentuan tertentu, seperti hak kekayaan intelektual (HKI) atau paten, rahasia dagang, dan desain industri yang diatur dalam Perjanjian TRIPS WTO. Tujuannya adalah untuk mempercepat penanganan, pencegahan, dan pengobatan Covid-19.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom bahkan sepenuhnya mendukung TRIPS Waiver. Dia menegaskan, banyak negara yang sebenarnya memiliki kapasitas memproduksi vaksin dapat mulai memproduksi vaksinnya sendiri dengan mengabaikan hak kekayaan intelektual sebagaimana diatur dalam perjanjian TRIPS.
”Ketentuan-ketentuan itu ada untuk digunakan dalam keadaan darurat. Jika sekarang bukan waktu yang tepat untuk menggunakannya, lalu kapan? Ini adalah waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya dan WHO percaya ini adalah waktu untuk memicu ketentuan tersebut dan mengabaikan hak paten,” ujarnya.
Sementara itu, sebagian besar negara yang memproduksi vaksin menentang pengabaian menyeluruh terhadap TRIPS WTO. Mereka beralasan pengabaian hak paten akan membahayakan inovasi dan tidak berdampak banyak pada perluasan akses vaksin. Negara-negara produsen tersebut juga berkomitmen menyalurkan vaksin ke sejumlah negara tanpa harus mengabaikan hak paten.
Hingga pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Geneva, Swiss, pada 29 Juli 2021, belum ada konsensus terkait TRIPS Waiver. WTO berencana menggelar kembali pertemuan formal untuk membahas proposal bertajuk ”Waiver from Certain Provisions of the TRIPS Agreement for the Prevention, Containment, dan Treatment of Covid-19” ini pada 13-14 Oktober 2021. Pembahasan proposal ini ditargetkan rampung pada akhir tahun ini.
Indonesia menegaskan agar cakupan pengabaian HKI tidak terbatas pada produk vaksin, tetapi juga produk obat-obatan terapi Covid-19 dan peralatan medis penunjang penanganan Covid-19.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, Selasa (3/8/2021), mengatakan, sejak bergabung menjadi co-sponsor TRIPS Waiver pada 10 Mei 2021, Indonesia menempatkan diri pada negosiasi berbasis dokumen. Artinya, Indonesia berupaya mempertahankan cakupan produk kekayaan intelektual dan aturan TRIPS, serta jangka waktu yang diusulkan, yaitu tiga tahun dapat dilakukan peninjauan ulang agar tidak dipersempit.
”Indonesia menegaskan agar cakupan pengabaian HKI tidak terbatas pada produk vaksin, tetapi juga produk obat-obatan terapi Covid-19 dan peralatan medis penunjang penanganan Covid-19. Hal ini mengingat upaya pencegahan, pemutusan penularan, dan pengobatan memerlukan produk, seperti terapeutik dan diagnostik,” kata Djatmiko ketika dihubungi di Jakarta. (REUTERS)