Bank Selalu Untung
Pemerintah jangan membebani manajemen bank BUMN dengan target dividen yang terlampau tinggi. Penyaluran kredit berbunga rendah jauh lebih bermanfaat ketimbang penerimaan dividen.

Survei dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia usaha yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu menyimpulkan sebanyak 82,3 persen usaha besar menengah dan 84,2 persen usaha menengah kecil pendapatannya anjlok selama pandemi.
Seberapa anjlok? Usaha di sektor makanan dan minuman turun 87 persen, sektor transportasi dan pergudangan 85 persen, jasa lainnya anjlok 85 persen.
Kondisi itu membuat 53,17 persen usaha besar menengah (UMB) dan 62,21 persen usaha menengah kecil (UMK) kesulitan memenuhi ongkos operasional perusahaan dan membayar gaji karyawan. Menutup usaha, menghentikan kegiatan operasional, memotong upah karyawan, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) akhirnya tak terhindari.
Tentu saja, perusahaan-perusahaan juga kesulitan mencicil kreditnya ke perbankan. Jangankan membayar utang, menghidupi diri sendiri saja susah. Untung saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera mengeluarkan kebijakan restrukturisasi yang memperbolehkan debitor menunda atau memperkecil cicilan selama kondisinya belum pulih.

Pemerintah juga memberi insentif berupa subsidi bunga kredit untuk meringankan beban UMK dan usaha mikro yang terdampak pandemi.
Banyaknya perusahaan yang terdampak pandemi tergambar dari nilai restrukturisasi kredit yang hampir mencapai Rp 1.000 triliun tahun lalu dengan jumlah debitor sekitar 7,5 juta.
Banyaknya debitor yang menunda cicilan otomatis akan mengurangi pendapatan bank. Kinerja perbankan makin tertekan karena penyaluran kredit, yang menjadi bisnis utama bank juga mandek seiring lesunya perekonomian. Anjloknya konsumsi masyarakat membuat pelaku usaha tak membutuhkan kredit untuk mengembangkan usaha.
Dengan gambaran tersebut, tentu saja banyak yang menduga bisnis perbankan bakal sama terpuruknya dengan sektor usaha, yang pendapatannya rata-rata anjlok 85 persen seperti hasil survei BPS. Apakah memang demikian faktanya? Ternyata tidak.
Selama pandemi yang membuat banyak pelaku usaha terpuruk ini, perbankan ternyata masih bisa menumbuhkan pendapatan bunga bersihnya (net interest income). Per April 2021, pendapatan bunga bersih industri perbankan mencapai Rp 138,8 triliun meningkat 9,3 persen dibandingkan April 2020 yang sebesar Rp 126,9 triliun.
Laba bersih perbankan memang turun dari Rp 50,5 triliun pada April 2020 menjadi Rp 44,12 triliun per April 2021. Namun, penurunan ini lebih disebabkan oleh strategi bank yang sengaja memperbesar pencadangan penyisihan aktiva produktif untuk mengantisipasi meningkatnya kredit bermasalah di masa mendatang.

Pertanyaannya, mengapa pendapatan bank bisa tetap tumbuh di tengah perekonomian yang lesu akibat pandemi?
Ternyata bank memanfaatkan posisi tawarnya yang lebih tinggi ketimbang nasabah dan posisi strategisnya dalam sistem keuangan nasional sehingga bisa mencari keuntungan dengan berbagai cara. Kondisi ini membuat perbankan tidak tunduk sepenuhnya pada mekanisme pasar keuangan, tertama pada harga jual produk perbankan, yang dalam hal ini disebut suku bunga kredit.
Seperti halnya harga barang, pembentukan bunga kredit juga dipengaruhi sejumlah faktor, yakni biaya dana (cost of funds), biaya operasional (overhead cost/OHC), margin keuntungan (profit margin), dan premi risiko. Faktor-faktor lain di luar premi risiko cenderung bisa dikendalikan dan dikalkulasi oleh bank sehingga dianggap sebagai pembentuk suku bunga dasar kredit (SBDK).
Biaya dana atau disebut juga harga pokok dana untuk kredit (HPDK) merupakan biaya yang dikeluarkan bank untuk membayar bunga dana pihak ketiga seperti tabungan, deposito, dan giro. Dalam industri manufaktur, biaya ini disebut sebagai ongkos bahan baku.
Baca juga kolom penulis:
- Utang dan Sisa Anggaran
- Investasi Tak Berbatas
- Pemulihan yang Berkesinambungan
- Kredit Seret, Dana Berlimpah
- Fondasi yang Tak Kokoh
- Resesi dan Pandemi
- Berbagi Beban
Berdasarkan asesmen Bank Indonesia (BI), selama periode Maret-Mei 2021, HPDK turun sebesar 14 bps dari 3,28 persen menjadi 3,14 persen. Turunnya HPDK terutama dipicu oleh penurunan suku bunga deposito 1 bulan yang mencapai 20 bps pada periode yang sama.
Penurunan HPDK tersebut seharusnya diikuti dengan penurunan SBDK, sekurangnya dengan besaran yang sama. Akan tetapi, SBDK hanya turun 3 bps selama periode yang sama.
Hal itu terjadi karena margin keuntungan ternyata naik 8 bps dari 2,43 persen menjadi 2,51 persen. OHC juga naik tipis, sekitar 3 bps, padahal adopsi digital seharusnya membuat biaya operasional menjadi lebih murah. SBDK yang tetap tinggi jelas kian memukul sektor riil yang sudah megap-megap dihantam pandemi.
Di tengah kondisi sulit ternyata perbankan tetap saja berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikkan profit margin.

Berdasarkan kelompok, bank-bank BUMN merupakan yang paling besar menaikkan margin keuntungannya selama periode Maret-Mei 2021, yakni sebesar 10 bps. Menjadi ironi karena BUMN semestinya berperan sebagai agen pembangunan, tak sekadar mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Di tengah lesunya perekonomian saat ini, semestinya semua pihak saling berbagi beban penderitaan (sharing the pain) sehingga tidak ada pihak yang terpuruk begitu dalam.
Di sisi lain, pemerintah jangan membebani manajemen bank BUMN dengan target dividen yang terlampau tinggi. Penyaluran kredit berbunga rendah yang dapat memulihkan kembali sektor riil niscaya jauh lebih bermanfaat bagi negara ketimbang dividen dari bank-bank pelat merah.