Gelombang baru Covid-19 dan gangguan rantai pasok global membuat kinerja industri manufaktur kembali terkontraksi. Pengendalian Covid-19 tetap menjadi kunci utama untuk mendorong ekspansi sektor pengolahan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah mencatat kinerja ekspansif selama delapan bulan beruntun, industri manufaktur kembali terkontraksi akibat meningkatnya kasus Covid-19 serta pengetatan PPKM. Pemerintah meyakini penurunan itu hanya sementara, seiring dengan langkah pengendalian Covid-19 dan upaya percepatan vaksinasi.
Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Juli 2021 tercatat anjlok ke level 40,1, menurun dari angka 53,5 pada Juni 2021. Ini menjadi kontraksi pertama sektor manufaktur setelah delapan bulan sebelumnya terus mengalami ekspansi, bahkan sempat memecah rekor tertinggi pada Maret-Mei 2021.
Posisi itu menunjukkan, sektor manufaktur Indonesia tidak lagi dalam fase ekspansif meski masih lebih baik dibandingkan kondisi pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada April 2020 lalu. Saat itu, PMI Manufaktur anjlok di angka 27,5.
Laporan IHS Markit yang dirilis pada Senin (2/8/2021) memaparkan, penurunan pada Juli diakibatkan lonjakan kasus Covid-19 dan pengetatan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang dilakukan untuk menekan laju penularan.
Akibatnya, output produksi dan permintaan baru menurun pada laju tercepat sejak Mei 2020. Seiring dengan itu, perusahaan juga ikut mengurangi jumlah tenaga kerjanya.
Selain Covid-19, gangguan rantai pasokan global yang sudah berlangsung selama beberapa bulan terakhir juga memperburuk kinerja sektor manufaktur. Penurunan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara Asia Tenggara lainnya, seperti Myanmar dan Malaysia.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko SA Cahyanto mengatakan, pemerintah sudah memperkirakan akan terjadi penurunan kinerja manufaktur pada Juli. Tanpa PPKM, kondisi industri pasti menurun karena kendala rantai pasok dan logistik global.
”Ada kelangkaan cip semikonduktor, kontainer, dan kenaikan biaya logistik. Jadi, penurunan ini sudah diantisipasi. PPKM darurat memang memainkan andil, tetapi ini sebenarnya kombinasi dari banyak hal yang terjadi secara global,” katanya, Senin.
Ia meyakini, penurunan ini hanya akan terjadi sementara. Dengan langkah pengendalian laju penularan Covid-19 serta percepatan vaksinasi di kalangan pekerja industri, kondisi diyakini akan membaik dan sektor manufaktur bisa kembali menancap gas.
”Kami optimistis kondisi akan segera membaik begitu logistik dan rantai pasok membaik serta Covid-19 mulai bisa terkendali,” katanya.
Eko juga menegaskan, meski kondisi manufaktur terkontraksi, PPKM tetap dibutuhkan dengan pengetatan sistem Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI). Sebab, jika pandemi tidak dikendalikan, ekspansi industri akan kembali terhambat di kemudian hari.
Di masa kontraksi ini, pemerintah juga akan memberikan dukungan stimulus kepada dunia industri, termasuk memberi bantuan subsidi upah bagi pekerja di sektor terdampak. ”Dilihat dari tren investasi sejauh ini, industri luar masih tertarik dengan Indonesia. Karena meski ada pembatasan pun, dengan IOMKI, industri kita tetap bisa beroperasi,” katanya.
Senada, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan, pemerintah menyadari pentingnya pengendalian Covid-19 untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi. Hal itu tidak bisa dihindari mengingat penyebaran varian Delta yang masif secara global.
”Menginjak rem restriksi aktivitas adalah pilihan yang harus dilakukan untuk menghambat penyebaran penularan. Namun, restriksi ini sifatnya sementara dan akan terus dievaluasi secara periodik sesuai perkembangan parameter pengendalian pandemi,” katanya.
Direktur Asosiasi Ekonomi IHS Markit Jingyi Pan mengatakan, meski gelombang baru Covid-19 dengan cepat menghantam sektor manufaktur Indonesia, harapan pelaku usaha masih tinggi. Kontraksi ini diperkirakan hanya sementara dan segera berlalu. ”Perusahaan manufaktur masih bertahan positif terkait input masa depan meski gangguan Covid-19 semakin parah. Ini membawa harapan pemulihan,” kata Jingyi.
Stimulus
Untuk menghadapi tekanan PPKM, pengusaha meminta jaminan pasar domestik dan stimulus modal kerja dari pemerintah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, industri masih harus melayani permintaan ekspor sekaligus memasok bahan baku bagi industri tekstil di hilir yang berorientasi ekspor.
Salah satu stimulus yang dinilai penting adalah pembayaran rekening listrik atau pemakaian gas industri untuk sektor tekstil hulu yang dapat ditalangi dulu oleh sektor perbankan selama enam bulan. Sementara untuk sektor tekstil hilir, stimulus pinjaman untuk pembelian bahan baku di industri kecil menengah (IKM).
”Kedua stimulus ini bisa menggunakan skema perbankan. Pemerintah hanya perlu mengaturnya melalui relaksasi kebijakan bagi perbankan,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah memberi kelonggaran beraktivitas bagi industri yang sudah memvaksinasi lebih dari 90 persen karyawannya. Langkah itu bisa menjadi jalan tengah antara mengendalikan penularan Covid-19 dan meminimalkan dampak ekonomi dari pengetatan PPKM.
”Saat ini, mayoritas industri tekstil sudah memvaksin karyawannya di atas 70 persen. Khusus sektor hulu, sudah di atas 90 persen. Tingkat kepadatan di pabrik juga sangat longgar,” ujarnya.