Pemberdayaan UMKM Tidak Kalah Penting dari Kucuran Modal
Pembangunan ekosistem usaha mikro, kecil, dan menengah tidak dapat diabaikan. Koperasi tanpa didahului pembangunan ekosistem UMKM tidak akan berjalan langgeng. Pemberdayaan lebih penting dari sekadar kucuran permodalan.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan ekosistem usaha mikro, kecil, dan menengah masih kerap luput dari perhatian. Padahal, untuk melanggengkan kegiatan UMKM dengan produk-produk kompetitif, terutama saat krisis, tidak sekadar berhenti dengan mengucurkan pendanaan.
Koperasi sebagai wadah bagi para anggotanya yang melakukan kegiatan UMKM semestinya bisa mengambil peran. Pemerintah dan berbagai pihak lain yang peduli tidak hanya perlu mengucurkan pendanaan, tetapi juga menggiatkan pemberdayaan. Alangkah baik jika setelah pemberdayaan dilakukan, dibangun pula kekuatan ekosistem jejaring UMKM.
Pengurus Yayasan Sosial Indonesia Untuk Kemanusiaan (IKa), Ukke R Kosasih, dalam diskusi Ekonomi Solidaritas bertajuk ”Koperasi dan Organisasi Masyarakat Sipil: Titik Temu Gerakan Ekonomi dan Sosial dalam Praktik”, di Jakarta, Selasa (3/8/2021), mengatakan, ”Kegiatan bisnis, termasuk usaha yang paling mikro, tetapi mempunyai sisi tanggung jawab sosial.”
Becermin pada pengalaman Anita Roddick selaku pendiri The Body Shop, Ukke menyadari bahwa bisnis adalah salah satu pilar perubahan. Dunia usaha mempunyai peran besar, bergantung pada visi dari pendirinya.
Citra satelit pun, kata Ukke, kini banyak dimanfaatkan untuk melihat titik kerumunan yang akhirnya dapat dijadikan titik tolak pengambil keputusan, termasuk sekadar membuka gerai baru. Namun, jika sekadar melihat acuan itu tanpa membangun ekosistem, keberlanjutan dunia usaha tidak bisa sepenuhnya terjamin.
Ukke mengaku heran manakala pendanaan cukup banyak dikucurkan pemerintah untuk UMKM, tetapi tidak disertai pemberdayaan yang memadai. Tergerak untuk lebih menekankan pemberdayaan, sebuah inisiatif perubahan masyarakat dilakukan melalui kegiatan pembuatan kerajinan Circa Handmade di Desa Cihanjuang, Bandung Barat, Jawa Barat, tahun 2006.
”Bagi saya, mendefinisikan perempuan berdaya bukan hanya dengan berdana. Yang lebih penting adalah menjadikan solidaritas sebagai adab dalam membangun usaha. Bersama perempuan-perempuan desa itulah, saya menjaga keberlanjutan dengan mengembangkan model usaha yang tidak menjadi besar tetapi semakin banyak yang terlibat, sampai akhirnya memasuki tahun ke-15 usaha bersama ini disepakati menjadi badan usaha berbentuk koperasi,” kata Ukke.
Pentingnya mengedepankan ekosistem itu juga dilakukan Co-Direktur Pelaksana untuk Penguatan Gerakan Ekonomi Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Romlawati terhadap warga desa di Bima, Nusa Tenggara Barat. Rahma selaku kader Pekka mengungkapkan, profil komunitas desa itu sebagian besar merupakan kelompok miskin. Sebesar 63 persen perempuan di desa itu tidak bersekolah dan hanya memiliki pendidikan sekolah dasar.
Selain itu, 38,6 persen berusia di atas 60 tahun. Sekitar 50,74 persen belanja rumah tangga lebih diutamakan untuk kebutuhan pangan. Namun, warga desa ini memiliki keterampilan untuk mengembangkan usaha kecil.
Romlawati mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, Rahma bisa berjualan pakaian dan beras serta menjadi guru pendidikan anak usia dini (PAUD). Bersama anggota Pekka, dia pun menggerakkan kegiatan bersama untuk membuat kue dan dijual ke warung-warung setiap hari. Modal berasal dari dana swadaya simpan pinjam. Setiap minggu, anggota menggelar pertemuan dengan kegiatan arisan dan simpan-pinjam.
Namun, setelah pandemi, sebagian besar anggota Pekka menjadi buruh tani di Sumbawa dan berpisah dari keluarganya. Sebagian lainnya digerakkan untuk pembuatan masker atas pesanan pemerintah desa setempat. Begitu proyek masker berakhir, kekuatan ekosistem itulah yang dimanfaatkan untuk kembali melakukan kegiatan usaha pembuatan produk pangan tahu bakso, dengan melibatkan semua anggota Pekka.
Mereka pun akhirnya membentuk kelompok dengan pintu masuk kegiatan ekonomi, misalnya kegiatan simpan-pinjam dan usaha bersama. Dari sanalah dibangun mimpi anggota Pekka. Kelompok ini bergabung membangun lembaga keuangan mikro berbasis komunitas (LKM-Siskom) berbentuk koperasi di tingkat gabungan kecamatan dan kabupaten.
Dari pembangunan ekosistem inilah, kata Romlawati, mereka bisa meningkatkan kapasitas melalui pelatihan dan pendampingan, mendapatkan berbagai akses, termasuk permodalan, unit usaha, produksi, pemasaran, bahkan membangun keterkaitan antar-unit usaha (rantai pasok).
CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (Inkur) Suroto memandang, pentingnya pembangunan ekosistem mencirikan kekuatan koperasi. Tidak sekadar harus diwadahi pembangunan badan hukum berbentuk koperasi, tetapi juga membangun kesamaan nilai kesetaraan manusia. Modal adalah alat bantu, bukan penentu utama sebuah ekosistem.
”Koperasi menempatkan manusia sebagai supreme, utama di atas modal materiil. Modal dalam koperasi sebagai pembantu, bukan penentu kebijakan,” kata Suroto.
Menurut Suroto, jika pembangunan ekosistem ini sudah dilakukan, wadah koperasi akan ditempatkan fungsinya sebagai lembaga yang memiliki keterikatan nilai keadilan dan solidaritas. Fungsinya menjadi sebagai benefit oriented, bukan profit oriented. Artinya, keuntungan yang diperoleh koperasi akan dikembalikan kepada semua anggota, tidak menjadi keuntungan pribadi pengurus koperasi.
Suroto memandang, dari berbagai kegiatan masyarakat perdesaan, koperasi menjadi semakin jelas ditempatkan sebagai lawan tanding kapitalisme secara fundamental. Sebab, koperasi menempatkan manusia lebih tinggi daripada modal. Oleh karena itu, kelompok kecil bukan sekadar perlu ditumbuhkan, melainkan juga dilengkapi dengan kemampuan berjejaring.
”Besar juga indah, tetapi berasal dari jejaring yang kecil-kecil dalam masyarakat. Dari sinilah koperasi menjadi alat transformasi sosial,” kata Suroto.