Inflasi Juli 2021 bisa jadi indikator beban yang tengah dialami masyarakat, terutama kelas bawah. Ketika pendapatan turun, mereka harus menanggung kenaikan harga obat, sejumlah bahan pangan, dan biaya pendidikan.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Aktivitas jual beli produk kesehatan di toko obat Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Sabtu (11/4/2020). Badan Pusat Statistik merilis, inflasi nasional pada Juli 2021 sebesar 0,08 persen. Kelompok pengeluaran kesehatan paling tinggi inflasinya, yakni 0,24 persen, dengan andil terhadap inflasi nasional sebesar 0,04 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Ketahanan ekonomi masyarakat, terutama kelas bawah, diuji di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung tuntas. Di tengah tergerusnya pendapatan, mereka masih harus menanggung biaya hidup keseharian, kesehatan, dan pendidikan.
Badan Pusat Statistik, Senin (2/8/2021), merilis, inflasi nasional pada Juli 2021 mencapai 0,08 persen. Kelompok pengeluaran kesehatan paling tinggi inflasinya, yakni 0,24 persen, dengan andil terhadap inflasi nasional sebesar 0,04 persen.
Empat subkelompok pada kelompok tersebut semuanya mengalami inflasi. Subkelompok yang mengalami inflasi tertinggi adalah obat-obatan dan produk kesehatan sebesar 0,47 persen dan terendah adalah jasa rawat jalan sebesar 0,06 persen.
Inflasi kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencapai 0,15 persen dan memberikan andil inflasi nasional sebesar 0,04 persen. Komoditas dari kelompok ini yang menyumbang inflasi adalah cabai rawit dengan inflasi 0,03 persen, sementara tomat, cabai merah, bawang merah, dan tahu mentah masing-masing 0,01 persen.
Sementara kelompok pendidikan, terjadi inflasi 0,18 persen dengan kontribusinya terhadap inflasi nasional sebesar 0,01 persen. Empat subkelompok ini juga semuanya mengalami inflasi. Subkelompok pendidikan dasar dan usia dini mengalami inflasi tertinggi (0,27 persen), sedangkan subkelompok pendidikan tinggi mengalami inflasi terendah (0,08 persen).
Tangkapan layar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono dalam telekonferensi per tentang inflasi atau Indeks Harga Konsumen di Jakarta, Senin (2/8/2021).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, inflasi pada Juli 2021 dapat menjadi indikator beban yang dialami masyarakat, terutama kelas bawah. Di tengah penurunan pendapatan, mereka harus menanggung kenaikan harga obat, sejumlah bahan pangan, bahkan menanggung biaya pendidikan untuk tahun ajaran baru.
”Harga pangan memang relatif terkendali. Harga obat-obatan relatif naik tinggi. Biaya pendidikan juga tetap harus dipenuhi. Sementara daya beli mereka turun, bahkan bisa jadi lebih rendah daripada tahun lalu karena durasi pandemi yang sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun,” ujarnya, ketika dihubungi di Jakarta, Senin.
Harga pangan memang relatif terkendali. Harga obat-obatan relatif naik tinggi. Biaya pendidikan juga tetap harus dipenuhi. Sementara daya beli mereka turun, bahkan bisa jadi lebih rendah daripada tahun lalu karena durasi pandemi yang sudah lebih dari 1,5 tahun berlangsung.
Omzet pedagang kaki lima, pasar tradisional, ritel, serta usaha mikro, kecil, dan menengah sudah tergerus 30-70 persen. Kalaupun bisa berdagang secara daring, belum seluruhnya terakses teknologi digital tersebut.
Di sisi lain, BPS mencatat, rata-rata upah buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021 mencapai Rp 2,86 juta per bulan atau turun dari Februari 2020 yang sebesar Rp 2,911 juta per bulan. Dalam periode yang sama, rata-rata upah pekerja bebas di sektor pertanian juga turun dari Rp 1,070 juta menjadi Rp 1,031 juta.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2020 yang dirilis BPS pada 25 Juni 2021 juga menunjukkan, dalam periode pandemi pada Maret-September 2020, rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat, baik di perdesaan maupun perkotaan, untuk komoditas makanan turun 3,96 persen dari Rp 613.025 pada Maret 2020 menjadi Rp 588.773 pada September 2020. Penurunan pengeluaran pangan terjadi pada penduduk dalam kelompok pengeluaran 40 persen bawah dan 40 persen menengah, sedangkan pada kelompok 20 persen atas justru meningkat.
Menurut Faisal, bantuan sosial (bansos) mau tidak mau harus segera digulirkan secara merata. Fungsinya tidak hanya untuk bantalan hidup, tetapi seharusnya mengarah pada pemenuhan kebutuhan keseharian masyarakat.
Tujuannya agar mereka tidak bepergian keluar rumah mencari nafkah sehingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 berjalan efektif. Kalau hanya Rp 300.000 per bulan per keluarga penerima manfaat (KPM), jumlah itu hanya cukup untuk bantalan.
”Uang sebesar itu, apalagi untuk keluarga yang beranggotakan empat orang bahkan lebih, sangat kurang sekali. Tidak mengherankan jika masih banyak dari masyarakat kelas bawah yang tetap ke luar rumah mencari nafkah sehingga membuat PPKM kurang efektif,” katanya.
Faisal menambahkan, untuk menekan laju kemiskinan lantaran penurunan daya beli ini, pemerintah perlu menambah besaran nilai bansos per KPM. Pemerintah juga perlu mengoptimalkan program Kartu Indonesia Sehat untuk meringankan beban biaya kesehatan masyarakat. Selain itu, vaksinasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah ini diharapkan bisa lebih masif lagi karena banyak dari mereka yang mencari nafkah ke luar rumah.
Sebelumnya, Kepala BPS Margo Yuwono menuturkan, di beberapa kota, obat-obatan yang harganya naik, antara lain, obat batuk, flu, penurun panas, dan vitamin. Total inflasi subkelompok obat-obatan dan produk kesehatan tersebut selama Januari-Juli 2021 juga cukup tinggi, yaitu 1,34 persen dan secara tahunan 3,14 persen.
”Hal ini terkait erat dengan kebutuhan masyarakat memenuhi kebutuhan di sektor kesehatan di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung,” ujarnya.
Kenaikan harga obat-obatan dan produk kesehatan, lanjut Margo, turut berkontribusi terhadap inflasi inti yang pada Juli 2021 mencapai 0,07 persen. Secara tahun kalender (Januari-Juli 2021), tingkat inflasi komponen inti ini mencapai 0,82 persen dan secara tahunan 1,4 persen.
Total inflasi subkelompok obat-obatan dan produk kesehatan tersebut selama Januari-Juli 2021 juga cukup tinggi, yaitu 1,34 persen, dan secara tahunan 3,14 persen.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Sejumlah pekerja menempelken stiker obat Covid-19 pada paket obat isolasi mandiri sebelum dikirimkan kepada warga yang sedang menjalani isolasi mandiri karena terpapar Covid-19 di gerai jasa pengiriman Jalan KS Tubun, Jakarta, Kamis (22/7/2021). Untuk tahap pertama, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kimia Farma dan SiCepat mendistribusikan 300.000 paket obat dan multivitamin.
Selama penerapan PPKM darurat yang berlanjut ke PPKM level 4, pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga berupaya mengawasi stok obat-obatan dan oksigen. KPPU menilai, di tengah mulai membaiknya harga dan distribusi yang turut ditopang inovasi dan solidaritas, masih ada saja yang mengambil keuntungan di luar kewajaran.
Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, menyatakan, KPPU masih akan melanjutkan pengawasan harga dan peredaran obat-obatan, vitamin, serta oksigen yang sangat dibutuhkan masyarakat, terutama selama penerapan PPKM level 4. Jika masih terbukti ada yang memainkan harga dan mengambil margin di luar kewajaran, KPPU akan menyelidiki dan menindaknya.
Di sektor pangan, pemerintah juga terus menjaga harga, stok, dan distribusi pangan. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengemukakan, untuk cabai, per 27 Juli 2021, stoknya 342,62 ton per hari atau lebih rendah daripada kondisi pasokan normal yang sebanyak 386 ton per hari.
Di DKI Jakarta dan Jawa Timur, misalnya, stoknya masing-masing 3.898 ton dan 199.175 ton. ”Stok ini diperkirakan akan bertambah lagi ke depan seiring dengan panen cabai di beberapa daerah sentra cabai di Jawa Timur dan Jawa Tengah,” ujarnya.
Sementara beras, harganya relatif turun setelah Perum Bulog menyalurkan sekitar 50.000 ton beras program bantuan sosial hingga akhir Juli 2021 dari total rencana penyaluran 200.000 ton. Beras tersebut disalurkan kepada 10 juta KPM bantuan sosial tunai dan 10 juta KPM Program Keluarga Harapan (PKH).
”Stok beras Bulog saat ini 1,38 juta ton dan Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta 40.361 ton. Stok beras Bulog tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 17,3 bulan ke depan,” kata Oke.