Pemerintah Berikan Stimulus Pajak Untuk Pemulihan Industri Wisata Bahari
Pembelian "yacht" yang ditujukan untuk usaha pariwisata tidak dikenakan tarif PPnBM sebesar 75 persen. Namun, kebijakan ini dinilai belum cukup untuk mendorong pemulihan industri wisata bahari.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha/Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan membebaskan pajak penjualan atas barang mewah untuk perahu wisata atau yacht yang ditujukan untuk usaha pariwisata. Namun, jika stimulus ini tidak dibarengi dengan gebrakan kebijakan lainnya, maka pembebasan tarif pajak untuk yacht tidak akan berdampak pada peningkatan kunjungan wisatawan bahari.
Pembebasan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kapal pariwisata tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.03/2021 tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Kepala Subdirektorat Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, mengatakan, sebelumnya pembebasan PPnBM ini hanya ditujukan kepada yacht yang digunakan untuk kepentingan negara dan angkutan umum.
”Dengan adanya peraturan yang baru, maka pembebasan PPnBM juga ditujukan kepada yacht untuk usaha pariwisata dengan tujuan dapat mengembangkan usaha pariwisata bahari di Indonesia,” kata Dwi Astuti, Senin (2/8/2021).
Di samping itu, pengecualian juga diberikan untuk penyerahan atau impor kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam itu terutama yang dirancang untuk pengangkutan orang, serta kapal feri dari semua jenis. Saat ini, pembelian yacht yang tidak digunakan untuk kepentingan negara, angkutan umum, maupun usaha pariwisata, dikenakan tarif PPnBM sebesar 75 persen.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor, mengatakan, pembebasan pengenaan PPnBM terhadap perahu wisata menjadi langkah pemerintah mendorong industri pariwisata.
”Industri pariwisata bahari perlu didorong karena merupakan salah satu sektor yang potensial untuk dikembangkan. Pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi biaya operasional wajib pajak pelaku wisata bahari,” ujarnya.
President/CEO Pacific Asia Travel Association (PATA) Indonesia Chapter Poernomo Siswoprasetijo, saat dihubungi terpisah, berpendapat, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No 96/2021 tidak bisa langsung menggerakkan kunjungan wisatawan memakai perahu wisata.
Saat ini, pembelian yacht yang tidak digunakan untuk kepentingan negara, angkutan umum, maupun usaha pariwisata, dikenakan tarif PPnBM sebesar 75 persen.
Kebijakan itu, menurut dia, tetap memerlukan gebrakan kebijakan lainnya. Pemerintah daerah, misalnya, dapat membangun dermaga/titik labuh/singgah perahu wisata. Kemudian, di destinasi wisata bahari yang potensial menjadi persinggahan perahu wisata, pemerintah daerah dapat menyiapkan sumber daya manusia yang memahami kepariwisataan.
”Indonesia sebenarnya ketinggalan sekali dalam urusan manajemen wisata bahari memakai perahu wisata. Padahal, Indonesia selalu jadi perlintasan kapal pesiar dan perahu wisata ke Singapura atau Australia, tetapi manajemen kebijakan masih tertinggal dibanding Thailand dan Vietnam yang lebih maju. Tahun 2018, pembahasan pembebasan PPnBM perahu wisata sudah ada, tetapi kami semua menunggu petunjuk teknis,” ucap Poernomo.
Menurut Poernomo, yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Banten West Java, prospek wisata bahari memakai perahu wisata tetap menarik. Apalagi, jika pemerintah menggiatkan kembali program kemaritiman berwujud sail dengan mempertimbangkan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat.
Pihaknya telah mengajak Pelindo III untuk mengembangkan infrastruktur sandar/singgah di Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung, Banten. Ini dilatarbelakangi oleh kapal pesiar yang rutin masuk melalui Selat Sunda menuju Bali. Kapal pesiar berangkat dari Sri Langka dan India membawa wisatawan.
”Kami sedang mematangkan studi visibilitas dan diharapkan lancar 2-3 tahun lagi terealisasi. Jadi, kunjungan wisata memakai kapal pesiar ataupun perahu wisata bisa singgah dulu ke Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung,” imbuh Poernomo.
Di destinasi wisata bahari yang potensial menjadi persinggahan perahu wisata, pemerintah daerah dapat menyiapkan sumber daya manusia yang memahami kepariwisataan.
Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang diolah dari yachters.beacukai.go.id dan Nongsa Point Marina (2018), jumlah kunjungan memakai yacht selama 2015 - 2018 meningkat setiap tahun. Pada tahun 2015, jumlah kunjungan mencapai 1.531, lalu naik menjadi 2.064 (2016), 2.498 (2016), 3.157 (2017), dan 3.157 kunjungan (2018).
Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1704 Tahun 2018 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1914/KM.4/2018, terdapat 21 titik entry/exit pelabuhan perahu wisata asing. Sebagai contoh, Nongsa Marina Batam, Marina Batavia Jakarta, Marina Del Ray Lombok.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2015 tentang Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing ke Indonesia telah memberikan kemudahan-kemudahan kunjungan turis asing memakai perahu wisata. Contoh kemudahan adalah menyangkut izin tinggal yang meliputi visa kunjungan yang diterbitkan perwakilan RI, visa kunjungan saat kedatangan, dan bebas visa kunjungan.