Pulihnya ekonomi AS bisa memberikan dua tekanan terhadap perekonomian Indonesia, yaitu tekanan terhadap APBN serta tekanan terhadap stabilitas nilai tukar rupiah dan sistem keuangan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah harus mewaspadai ancaman ganda dari pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang bisa mendorong bank sentral AS mengetatkan kebijakan moneter. Hal itu bisa memicu penurunan harga komoditas dan keluarnya dana asing.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, Minggu (1/8/2021), mengatakan, saat ini Indonesia sedang menikmati kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada pos pendapatan sumber daya alam (SDA). Ini disebabkan lonjakan harga sejumlah komoditas ekspor Indonesia seiring tingginya permintaan dari negara-negara yang ekonominya telah pulih, seperti Amerika Serikat (AS) dan China.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Indonesia pada Juni 2021 sebesar 18,55 miliar dollar AS, naik 54,46 persen secara tahunan. Komoditas yang meningkat harganya antara lain minyak mentah Indonesia di pasar dunia atau Indonesian Crude Price (ICP) yang naik 91,47 persen dan batubara yang naik 148,94 persen secara tahunan.
Mengutip data Kementerian Keuangan, PNBP pos pendapatan SDA sampai dengan Juni sebesar Rp 59,73 triliun, tumbuh 9,58 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
”Saat ini, APBN banyak ditunjang harga komoditas yang tengah naik. Kita menikmati hasil kebijakan pelonggaran moneter The Fed yang mendorong pemulihan ekonomi AS,” ujar Anthony saat berbicara dalam webinar ”Ekonomi Politik APBN, Utang, dan Pembiayaan Pandemi Covid-19”.
Namun, ia mengingatkan, keadaan itu tidak akan berlangsung lama. Merespons pertumbuhan ekonomi AS yang relatif cepat, bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed), berencana memperketat kebijakan moneter dengan mengurangi gelontoran likuiditas ke pasar (tapering) dan menaikkan suku bunga.
Langkah ini akan mengerem pertumbuhan ekonomi AS. Permintaan komoditas dari AS akan turun sehingga harga bakal terkoreksi. Dampaknya, ekspor komoditas dan PNBP negara dari SDA juga akan turun.
Selain itu, langkah the Fed tersebut juga berpotensi memicu keluarnya arus modal dari Indonesia. Kenaikan suku bunga acuan akan diikuti oleh naiknya suku bunga berbagai instrumen investasi di AS. Kondisi ini tentu akan membuat portofolio investasi di AS menjadi lebih menarik dibandingkan portofolio keuangan di negara-negara lain, terutama negara berkembang.
Pada gilirannya, dana asing jangka pendek (hot money) yang ditanam di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan lari (capital outflow) ke AS. Ini akan memicu sejumlah persoalan di Indonesia, antara lain kejatuhan kurs rupiah dan anjloknya harga surat utang yang diterbitkan pemerintah (surat berharga negara/SBN).
”Jadi, langkah the Fed bisa memberikan tekanan kepada APBN karena penurunan penerimaan negara bukan pajak dan berpotensi mengganggu stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan,” ujar Anthony.
Kurang efektif
Setelah terpuruk dihantam pandemi Covid-19, ekonomi AS pulih lebih cepat dari yang diperkirakan semula. Hal itu ditandai dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang mencapai 6,4 persen secara tahunan. Seiring itu, sejumlah lembaga merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2021. OECD, misalnya, merevisi menjadi 6,9 persen.
Sejalan dengan naiknya permintaan dan tumbuhnya perekonomian, inflasi tahunan AS juga naik menjadi 1,9 persen per akhir Maret 2021. Bahkan, the Fed menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4 persen dari sebelumnya 2,4 persen.
Merespons pertumbuhan ekonomi AS yang relatif cepat tersebut, Rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC) pada 16 Juni kemarin memproyeksikan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali pada 2023 dari level saat ini sebesar 0,25 persen. Padahal, sebelumnya, kenaikan suku bunga baru akan terjadi pada 2024.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, menambahkan, pulihnya ekonomi AS merupakan buah dari keberanian mereka melakukan lockdown yang masif di awal-awal pandemi.
Menurut Didik, pemerintah jangan setengah-setengah dalam menangani pandemi. ”Indonesia ini ibarat orang sakit, tetapi disuruh lari. Pandemi belum selesai, tetapi sudah disuruh mendorong ekonomi,” ujar Didik.
Hal ini membuat gelontoran dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kurang efektif. Padahal, dana yang cukup besar tersebut dibiayai oleh utang.