Pertimbangkan dengan Cermat Pengembangan Kendaraan Listrik
Pengembangan kendaraan listrik harus ditempuh dengan pertimbangan yang cermat dan rinci. Kementerian Perhubungan bekerja sama dengan University of Nottingham guna mempercepat pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan kendaraan listrik dinilai harus dilakukan dengan pertimbangan yang cermat dan rinci. Hal ini penting karena hingga kini masih ada beberapa komponen dan sistem pada kendaraan listrik yang berpotensi menimbulkan risiko kebakaran dan kecelakaan. Aspek keselamatan, efisiensi, dan lingkungan perlu jadi perhatian.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengungkapkan hal itu dalam webinar bertema ”Safer Electric Vehicle” yang digelar Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan bekerja sama dengan University of Nottingham, Jumat (30/7/2021). Kementerian menggelar diskusi grup terfokus dengan Nottingham University tentang kendaraan listrik yang lebih aman.
Langkah itu ditempuh sebagai tindak lanjut atas terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Program Percepatan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai. Kementerian Perhubungan juga menggandeng perguruan tinggi negeri asal Inggris itu untuk percepatan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.
Kerja sama sudah dimulai sejak 6 Mei 2021 oleh Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan (PKTJ) yang merupakan salah satu perguruan tinggi di bawah pengelolaan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP). ”Saya mendukung penuh kerja sama ini. Hal ini perlu dalam upaya mempercepat pengembangan kendaraan listrik di Indonesia,” kata Budi.
Dari diskusi grup terfokus itu telah dihasilkan policy brief mengenai kendaraan listrik yang meliputi pentingnya komponen baterai, sistem dan standar pengisian baterai, persyaratan teknis dan laik jalan, peraturan, kompetensi pemeriksa, daur ulang baterai atau sistem pengelolaan limbah dan penanganannya, serta mitigasi kecelakaan kendaraan listrik.
Direktur Sarana Transportasi Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat M Risal Wasal mengatakan, sesuai Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019, pemerintah mendorong percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, antara lain, untuk meningkatkan efisiensi ketahanan energi dan konversi energi sektor transportasi. Peraturan tersebut menjadi dasar terwujudnya energi bersih dan ramah lingkungan, terlebih Indonesia sudah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca.
Terkait hal itu, sejumlah sertifikasi kendaraan listrik perlu diuji, bahkan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat melakukan berbagai pengujian konversi kendaraan bermotor, termasuk sertifikasi bengkel konversi.
”Mulai tahun 2025, semua angkutan umum di DKI Jakarta ditargetkan sudah berbasis baterai. Tahun ini, kami menargetkan Bandung dan Surabaya masing-masing dua koridor juga mulai menggunakan kendaraan umum listrik berbasis baterai. Tahun depan, kami menargetkan enam kota lagi,” ujar Risal.
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Chairman of Indonesia EV Acceleration Program, memperkirakan, permintaan mobil listrik tahun 2021 hanya 5.000 unit dari total pasar yang mencapai sekitar 750.000 unit. Kemudian, tahun 2025 diperkirakan permintaan pasar mencapai 30.000 unit dari pasar otomotif sebesar 1,07 juta unit dan tahun 2030 hanya sampai 120.000 unit dari total pasar 1,28 juta unit.
Terkait stasiun pengisian baterai, pada tahun 2021 pertumbuhan permintaannya mencapai 390 unit, lalu tahun 2023 mencapai 1.030 unit, dan tahun 2025 mencapai 2.000 unit. Jumlah pertumbuhan ini sesungguhnya belum mengejar permintaan secara kumulatif yang selalu berada di atas 50 persen. Lokasi potensial untuk pembangunan stasiun pengisian baterai itu, antara lain, Provinsi DKI Jakarta mencapai 39 persen, Jawa Barat (26 persen), Jawa Timut (9 persen), dan Bali (2 persen).
Penjualan kecil
Vice President and COO of Hyundai Motor Asia Pacific Lee Kang Hyun mengatakan, penjualan kendaraan listrik di Indonesia masih sangat kecil. Pemerintah mesti mendorong penjualan mobil listrik mulai dari pajak dan subsidi agar masyarakat juga terdorong. Tidak hanya naik kelas dari mobil bermesin konvensional menuju hybrid, tetapi juga langsung ke mobil listrik.
Dia mencontohkan Amerika Serikat yang pemerintahnya telah mengumumkan untuk membuat mobil listrik sendiri. Kemudian, tahun ini Pemerintah AS juga menandatangani pembelian mobil listrik buatan sendiri sebanyak 645.000 unit.
Menurut Lee Kang Hyun, Indonesia semestinya bisa mendorong pembelian mobil listrik untuk pertama-tama kebutuhan pemerintah. Belanja kendaraan listrik atas nama pemerintah terlebih dahulu mestinya bisa dianggarkan per tahun sehingga konsumen akan mengikutinya. Hal ini mendorong industri manufaktur untuk berinvestasi di Indonesia.
”Jangan hanya mengharapkan pemerintah atau PLN memasang charging station tanpa didorong dengan anggaran. Di negara lain, stasiun pengisian baterai kendaraan listrik sudah tersedia di pusat belanja maupun apartemen,” kata Lee.
Lee menyayangkan ketersediaan stasiun pengisian baterai ini pun membutuhkan perizinan. Tanpa kepedulian pengelola pusat belanja ataupun apartemen, tidak akan dapat mendorong penjualan mobil listrik di Indonesia.
Menurut Lee, Kementerian Perindustrian menargetkan tahun 2025 permintaan mobil listrik mencapai 700.000 unit, kemudian tahun 2030 permintaan mobil listrik bisa mencapai 750.000 unit. Namun, itu adalah impian. Saat ini saja, permintaan mobil yang berkembang adalah mobil hybrid. Bukan mobil listrik.
Prof Patrick Wheeler dari University of Nottingham mengingatkan, fokus uji kelayakan jalan pada kendaraan listrik, antara lain, sistem pengereman, pencahayaan, integritas struktural, kontrol ban dan kendaraan, emisi, serta visi pengemudi dan perbaikan generalnya. Sistem transmisi dan mesin tentu tidak seperti biasa kendaraan umumnya.
”Kendaraan listrik pun perlu diuji emisinya dan sistem keamanannya,” kata Patrick.