Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diharapkan dapat memperbaiki eksistensi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diperlukan untuk memperkuat peran Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas. Namun, desakan revisi regulasi ini baru akan ditindaklanjuti oleh DPR pada 2022 nanti.
Anggota Komite BPH Migas 2003-2011, Tubagus Haryono, di sela-sela peluncuran buku Energi untuk Kemandirian dan Talang Emas Hilir Migas, Jumat (30/7/2021), di Jakarta, berpendapat, keberadaan BPH Migas dalam UU No 22/2001 cenderung inferior. Tidak semua urusan hilir minyak dan gas bumi masuk dalam cakupan pengaturan BPH Migas. BPH Migas pun cenderung hanya berperan mengatur tata niaga. Dari sisi anggaran, BPH Migas masih bernaung di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
”Pada tahun awal realisasi UU Migas, BPH Migas hanya mengatur gas bumi yang dialirkan lewat pipa. Kantornya pun sempat berpindah-pindah. Saya kira, revisi UU No 22/2001 diperlukan agar Indonesia punya UU Migas yang relevan dengan keadaan dan revisi ini mesti diikuti dengan perbaikan Peraturan Pemerintah Nomor 67 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa,” ujar Tubagus.
Sebelumnya, DPR telah resmi menetapkan ketua dan anggota komite BPH Migas periode 2021-2025 melalui rapat paripurna DPR, Kamis (15/7/2021). Anggota komite BPH Migas periode 2021-2025 adalah Erika Retnowati, Abdul Halim, Basuki Trikora Putra, Eman Salman Arief, Harya Adityawarman, Iwan Prasetya Adhi, Saleh Abdurrahman, Wahyudi Anas, dan Yapit Sapta Putra.
BPH Migas pun cenderung hanya berperan mengatur tata niaga. Dari sisi anggaran, BPH Migas masih bernaung di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
DPR juga berencana membahas revisi UU No 22/2001 mulai pertengahan tahun 2022 atau setelah Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan rampung diparipurnakan. Seperti diketahui, UU No 22/2001 sebenarnya sempat masuk Program Legislasi Nasional prioritas pada 2018. Namun, pemerintah, melalui surat presiden, belum menyertakan daftar inventaris masalah (DIM).
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Andi Yuliani Paris, mengatakan, baik mekanisme penetapan anggota komite BPH Migas maupun revisi UU No 22/2001 dan PP No 67/2002 merupakan proses politik. Terlepas dari hal itu, dia sependapat dengan Tubagus bahwa eksistensi BPH Migas sebagai lembaga perlu diperkuat.
”Setidaknya, sebagai lembaga BPH Migas harus tetap independen. Anggota komite yang sudah ditetapkan harus sadar bahwa BPH Migas bukan satuan kerja dari Kementerian ESDM. Oleh karenanya, BPH Migas semestinya punya anggaran tersendiri,” ucap Andi.
Menurut Andi, meski masih ada permasalahan kelembagaan, dia mengamati sejumlah kinerja BPH Migas sudah positif. Misalnya, digitalisasi layanan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), SPBU di tingkat desa yang berbasis Badan Usaha Milik Desa, serta adanya subpenyalur dan SPBU mini bagian dari implementasi kebijakan nasional BBM satu harga.
”Walaupun sudah ada anggota komite baru BPH Migas, pengawasan pelaksanaan implementasi BBM satu harga yang sudah baik tetap diperlukan. Sebab, kami menemukan masih ada pandangan berbeda-beda terkait pelaksanaan kebijakan BBM satu harga di daerah,” kata Andi.
Situasi politik yang terjadi di balik proses penetapan anggota diharapkan tidak membuat sembilan anggota terpilih tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya, Ridwan Hisjam, menyampaikan, kepengurusan komite BPH Migas yang baru semestinya melanjutkan evaluasi implementasi kebijakan BBM satu harga. Situasi politik yang terjadi di balik proses penetapan anggota diharapkan tidak membuat sembilan anggota terpilih tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat.
Mengenai Revisi UU No 22/2001, imbuh Ridwan, hal itu telah diwacanakan sejak periode kepengurusan DPR sebelumnya dan dipastikan akan dibahas lagi. Pembahasan Rancangan UU Energi Baru dan Terbarukan didahulukan karena Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai hal itu. Sementara saat bersamaan, peta energi secara global sudah berubah.
”Pada saat UU No 22/2001 ditetapkan, hulu minyak masih memproduksi sekitar 1,6 juta barrel per hari, tetapi jumlahnya terus menurun sampai sekarang tinggal menjadi sekitar 700.000 barel per hari,” ujar Ridwan.
Adapun Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna yang hadir dalam peluncuran buku, berpendapat, tata kelola minyak dan gas bumi seharusnya dibangun berdasarkan akuntabilitas dan berorientasi terhadap kinerja. BPH Migas semestinya memahami hal itu. ”Situasi dunia sekarang berada di tengah ketidakpastian. BPH Migas bisa melakukan terobosan agar Indonesia tetap mempunyai ketahanan energi, tanpa harus melanggar hukum,” katanya.