Terpuruk akibat Pandemi, Pedagang Kaki Lima Malioboro Kibarkan Bendera Putih
Sejumlah PKL di kawasan Malioboro, Yogyakarta, memasang bendera putih sebagai tanda berkabung dan menyerah karena perekonomian mereka terpuruk akibat pandemi Covid-19. Para PKL berharap mendapat bantuan dari Pemda DIY.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pedagang kaki lima atau PKL di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, memasang bendera putih sebagai tanda berkabung dan menyerah karena kondisi perekonomian mereka terpuruk akibat pandemi Covid-19. Pemerintah Daerah DI Yogyakarta pun didesak segera memberikan bantuan agar para PKL di Malioboro bisa mempertahankan usahanya.
Berdasarkan pantauan Kompas, Jumat (30/7/2021) pagi, sejumlah bendera putih itu dipasang di sisi timur kawasan Malioboro. Bendera-bendera putih itu dipasang di pagar pohon yang ada di kawasan wisata favorit di Yogyakarta tersebut.
”Bendera putih dipahami oleh masyarakat sebagai tanda berkabung dan kematian. Secara universal, dipahami sebagai tanda menyerah. Hal itulah yang hari-hari ini dirasakan komunitas dan pengusaha di kawasan Malioboro,” ujar Ketua Paguyuban Pedagang Lesehan Malioboro Desio Hartonowati.
Desio menjelaskan, pandemi Covid-19 telah menghadirkan dampak ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi para PKL di Malioboro. Akibat pandemi, pendapatan para PKL menurun signifikan. Bahkan, selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat pada 3-20 Juli 2021, kawasan Malioboro ditutup sehingga para PKL sama sekali tak bisa berjualan.
”Penerapan PPKM darurat seolah-olah menjadi pukulan akhir yang telak bagi PKL yang memang telah sempoyongan,” tutur Desio.
Desio menambahkan, meski kawasan Malioboro sudah dibuka lagi sejak adanya pelonggaran aktivitas pada 26 Juli 2021, hal itu belum berdampak signifikan pada penghasilan para PKL. Hal ini karena jumlah pengunjung yang datang ke kawasan Malioboro masih relatif sedikit. Selain itu, aturan bahwa PKL hanya boleh buka sampai pukul 20.00 juga dinilai menyulitkan para pedagang makanan lesehan di Malioboro.
Penerapan PPKM darurat seolah-olah menjadi pukulan akhir yang telak bagi PKL yang memang telah sempoyongan. (Desio Hartonowati)
Menurut Desio, para pedagang makanan lesehan di Malioboro baru mulai berjualan sekitar pukul 18.30 karena bergantian dengan PKL lain. Oleh karena itu, jika mereka hanya diperkenankan buka sampai pukul 20.00, para pedagang makanan lesehan tersebut hanya memiliki waktu berjualan yang sangat terbatas, yakni 1,5 jam.
Karena keterbatasan jam itu, Desio menuturkan, para pedagang makanan lesehan di Malioboro memilih tidak berjualan. Sebab, kalaupun mereka buka selama 1,5 jam, penghasilannya sangat minim. ”Dengan rentang waktu 90 menit mana bisa kami jualan dan memilik tutup secara total,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Desio berharap Pemda DIY mau memberi kelonggaran dengan membolehkan para pedagang makanan lesehan di Malioboro untuk berjualan hingga pukul 23.00. Dengan adanya kelonggaran itu, para pedagang makanan lesehan di Malioboro bisa memiliki waktu yang memadai untuk berjualan kembali.
Selain itu, Desio juga berharap Pemda DIY bisa memberikan bantuan kepada para PKL Malioboro. Bantuan itu bisa berupa bantuan modal, bantuan langsung tunai, maupun bantuan sosial lainnya. Hal itu agar para PKL Malioboro bisa tetap mempertahankan usahanya. ”Banyak PKL yang modalnya tergerus karena dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” tutur dia.
Tak berbadan hukum
Presidium Paguyuban Kawasan Malioboro Sujarwo mengatakan, jumlah PKL yang berjualan di kawasan Malioboro sekitar 3.000 orang. Dari jumlah itu, sekitar 2.000 orang di antaranya telah bergabung dengan 11 paguyuban PKL yang ada di Malioboro.
Sujarwo menuturkan, Pemda DIY memang berencana memberikan bantuan modal kepada para PKL di Malioboro. Namun, bantuan itu akan diberikan melalui koperasi yang menaungi para PKL. Padahal, dari 11 paguyuban PKL yang ada di kawasan Malioboro, hanya ada dua paguyuban yang memiliki badan hukum koperasi. Sementara itu, sembilan paguyuban lainnya tidak memiliki badan hukum.
Bantuan itu kami minta diberikan melalui paguyuban, tapi bukan hanya yang memiliki koperasi. (Sujarwo)
Untuk itu, dia berharap bantuan modal dari Pemda DIY tak hanya diberikan kepada paguyuban PKL yang memiliki badan hukum koperasi. Sembilan paguyuban lainnya juga diharapkan bisa mendapat bantuan modal meskipun tak memiliki badan hukum koperasi. ”Bantuan itu kami minta diberikan melalui paguyuban, tapi bukan hanya yang memiliki koperasi,” tuturnya.
Selain memasang bendera putih, perwakilan PKL Malioboro juga mendatangi kantor Gubernur DIY pada Jumat pagi untuk menyampaikan aspirasi. Mereka kemudian ditemui oleh Asisten Sekretaris Daerah DIY Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum Sumadi.
Usai pertemuan itu, Sumadi mengatakan, Pemda DIY memang sudah menyiapkan skema untuk memberikan bantuan kepada para PKL. Namun, berdasarkan rencana awal, bantuan tersebut akan diberikan melalui koperasi yang menaungi para PKL.
”Pemda DIY sudah menyiapkan beberapa skema berkaitan dengan bantuan, khususnya untuk teman-teman PKL di Malioboro. Kebijakannya adalah memberikan bantuan lewat koperasi,” kata Sumadi.
Terkait adanya paguyuban PKL yang belum memiliki badan hukum koperasi, Sumadi menuturkan, hal itu akan dibahas lebih dulu di internal di Pemda DIY. ”Memang ada teman-teman PKL yang belum masuk ke koperasi. Ini akan kami sampaikan kepada pimpinan, apakah ada kebijakan khusus berkait hal itu,” paparnya.