Beralih ke Energi Bersih, Investasi Hulu Migas Dikhawatirkan Merosot
Indonesia sedang meningkatkan produksi migas domestik sehingga masih membutuhkan mitra dan investor. Di sisi lain, mayoritas pemain migas besar dunia tengah menggeser bisnisnya ke energi terbarukan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investor hulu minyak dan gas bumi atau migas di kancah internasional tengah meningkatkan belanja modalnya untuk proyek-proyek yang berorientasi pada pengurangan emisi karbon. Tren tersebut dikhawatirkan berakibat pada merosotnya investasi untuk eksplorasi migas di Indonesia.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi investasi hulu migas di Indonesia sepanjang semester I-2021 senilai 4,92 miliar dollar AS atau 39,7 persen dari target sepanjang tahun. Realisasi tersebut lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar 4,74 miliar dollar AS.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyoroti fenomena transisi energi sebagai langkah untuk menghadapi perubahan iklim dan dampaknya terhadap investasi hulu migas di Indonesia.
”Ada tekanan pada sektor migas. Mayoritas pemain migas besar (dunia) tengah menggeser bisnisnya ke energi terbarukan. Langkah ini berdampak pada ketersediaan modal mereka (untuk eksplorasi hulu migas). Padahal, Indonesia sedang meningkatkan produksi migas domestik sehingga masih membutuhkan mitra dan investor,” tuturnya pada acara Upstream Oil & Gas Executive Briefing, Kamis (29/7/2021).
Pada 2030, pemerintah menargetkan produksi minyak mencapai 1 juta barel per hari dan produksi gas sebanyak 12.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Hingga akhir Juni 2021, produksi siap jual (lifting) minyak bumi mencapai 667.000 barel per hari dan lifting gas bumi 5.430 MMSCFD.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi investasi hulu migas di Indonesia sepanjang semester I-2021 senilai 4,92 miliar dollar AS atau 39,7 persen dari target sepanjang tahun.
Menanggapi hal tersebut, Vice Chairman IHS Markit Daniel Yergin mengatakan, sejumlah investor hulu migas mulai membatasi belanja modal untuk eksplorasi. Dia menyebutkan, ada perusahaan migas yang menggunakan pendapatan dari migas untuk mendanai pengembangan energi terbarukan.
Namun, imbuh Daniel, masih ada peluang investasi bagi Indonesia yang dipengaruhi tren kenaikan harga minyak mentah dunia. Dia mencontohkan, negara-negara di kawasan Timur Tengah sedang meningkatkan kapasitas produksi miyaknya untuk menangkap peluang itu. Oleh sebab itu, Indonesia mesti berdaya saing sebagai tujuan investasi di tengah situasi yang makin kompetitif.
Untuk meningkatkan daya tarik investasi, Senior Vice President Global Energy IHS Markit Carlos Pascual menambahkan, Indonesia dapat menggali potensi digitalisasi yang berorientasi pada efisiensi dan efektivitas kinerja. Menurut dia, Indonesia perlu menyiapkan anggaran untuk digitalisasi yang mengurangi biaya produksi sekaligus menekan emisi gas rumah kaca.
Terkait dengan arus investasi sektor energi di dunia, Carlos memaparkan, tujuh perusahaan migas global meningkatkan belanja modal mereka untuk program dekarbonisasi. Diperkirakan terjadi kenaikan sebesar 152 persen dari 5,9 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 14,9 miliar dollar AS pada 2025. Ketujuh perusahaan migas tersebut adalah BP, Chevron, Eni, Equinor, ExxonMobil, Shell, dan Total SE.
Tren investasi tersebut beriringan dengan aksi korporasi dalam mencanangkan target emisi karbon nol bersih (NZE). BP, misalnya, telah mengumumkan rencana pencapaian target NZE pada 2050 dan akan mengurangi emisi sebesar 40 persen pada 2030. Pada tahun yang sama, Total juga mengumumkan mencapai NZE pada 2050. Pada awal tahun ini, Shell dan Eni juga memublikasikan target nol bersih pada tiap lini bisnis (net zero in all scopes).
Indonesia perlu menyiapkan anggaran untuk digitalisasi yang mengurangi biaya produksi sekaligus menekan emisi gas rumah kaca.
Carlo melanjutkan, ada dua strategi yang umumnya diambil pemain migas global dalam mengalokasikan modalnya. Pertama, perusahaan menyusun langkah untuk mengurangi emisi dalam produksi migas. Kedua, perusahaan mendiversifikasi bisnisnya ke sektor yang lebih mendukung ekonomi lestari, salah satunya dengan pembiayaan surat utang hijau (green bond).
Dia juga menyoroti langkah korporasi migas nasional di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Perusahaan-perusahaan di kedua negara itu menyatakan, biaya produksi minyak mereka kurang dari 10 dollar AS per barel. Di sisi lain, mereka juga mengembangkan bisnis energi terbarukan, misalnya harga energi surya perusahaan Arab Saudi sebesar 10,4 dollar AS per megawatt jam (MWh) sedangkan Uni Emirat Arab 13,5 dollar AS per MWh.
”Artinya, perusahaan-perusahaan (di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab) cenderung berkompetisi, baik dalam produksi minyak, energi terbarukan, hingga teknologi,” ujar Carlo.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, mengatakan, mengukur target NZE bagi Indonesia merupakan tantangan karena pertimbangan pertumbuhan produk domestik bruto nasional. ”Selain itu, pengurangan emisi bergantung pada pengelolaan sektor energi,” katanya.