Bank Dunia: Pertumbuhan Ekonomi Digital Indonesia Pesat, tetapi Belum Inklusif
Pesatnya perkembangan ekonomi digital di Indonesia masih menyisakan kritik, sejauh mana manfaatnya dirasakan secara merata oleh berbagai lapisan masyarakat.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia menilai, Indonesia memiliki ekonomi yang dihasilkan dari internet dengan perkembangan paling pesat di Asia Tenggara. Pandemi Covid-19 mempercepat penggunaan berbagai layanan internet lainnya juga. Meski demikian, manfaat dari fenomena ini belum merata dan setara dirasakan pada beragam lapisan masyarakat.
”Kami belum punya proyeksi ekonomi digital di Indonesia. Perhitungan sekilas yang kami lakukan, kontribusi ekonomi digital terhadap total pendapatan nasional masih kecil, yaitu mungkin sekitar 4,25 persen. Tetapi, ini tergantung definisi atau konsep ekonomi digital,” ujar ekonom senior Bank Dunia, Sailesh Tiwari, saat menjawab pertanyaan media di konferensi pers peluncuran laporan Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia, Kamis (29/7/2021), di Jakarta.
Dilihat dari perspektif mikro ekonomi, dia menjelaskan, penggunaan teknologi digital bermanfaat bagi masyarakat agar krisis perekonomian yang mereka hadapi tidak semakin mendalam. Dengan internet, sejumlah kelompok masyarakat bisa berbelanja barang sehari-hari, bertransaksi jasa, dan bekerja.
Dari laporan Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia, kehadiran platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang menciptakan nilai tambah bagi warga. Misalnya, konsumen mendapat harga yang lebih pas, kenyamanan berbelanja, keragaman, dan stok barang lokal. Dia menyebut warga Papua yang mengakses platform e-dagang merasa girang karena bisa memperoleh stok barang yang tidak atau jarang ada di daerah mereka.
Kehadiran platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang menciptakan nilai tambah bagi warga. Misalnya, konsumen mendapat harga yang lebih pas, kenyamanan berbelanja, keragaman, dan stok barang lokal.
Layanan angkutan umum berbasis aplikasi bukan hanya diminati oleh warga di perkotaan metropolitan, melainkan juga merambah ke kota kecil. Sebanyak 21 persen warga dari hasil penelitian Bank Dunia menggunakan aplikasi itu sebelum pandemi Covid-19 untuk memesan antar makanan.
”Platform e-dagang belum akan menggantikan toko luring di Indonesia. Di negara lain yang kontribusi ekonomi digital lebih besar dibanding Indonesia, toko dan layanan luring tetap hidup. Penekanan kami bukan membenturkan layanan daring versus luring, melainkan bagaimana teknologi digital harus inklusif,” kata Sailesh.
Pada 2019, berdasarkan penelitian Bank Dunia, proporsi rumah tangga pengguna internet di Indonesia yang melaporkan pembelian dan penjualan daring masing-masing adalah 12,8 dan 5,1 persen.
Keberadaan penyedia platform e-dagang menyediakan jalur diversifikasi pendapatan, terutama bagi perempuan yang tergusur sementara dari pasar tenaga kerja dan kaum muda. Namun, penetrasi dan intensitas penggunaan platform e-dagang kedua kelompok masyarakat itu dibatasi oleh kendala konektivitas internet. Kemudian, masih ada keraguan terhadap keamanan pembayaran daring dan logistik.
Penetrasi dan intensitas penggunaan platform e-dagang kedua kelompok masyarakat itu dibatasi oleh kendala konektivitas internet. Selain itu, masih ada keraguan terhadap keamanan pembayaran daring dan logistik.
Bank Dunia membenarkan bahwa keberadaan perusahaan penyedia platform e-dagang apapun bentuk dan model bisnisnya membuka lapangan pekerjaan. Bahkan, mereka berani membayar upah layak yang lebih baik dibanding pekerjaan informal konvensional sekalipun.
Namun, seperti penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya, Bank Dunia menilai, hanya pekerja dengan tingkat keterampilan tinggi yang akan lebih diuntungkan dari pembukaan lowongan kerja perusahaan penyedia platform e-dagang itu.
”Akhirnya, kelompok masyarakat kecil tetap masuk sebagai kelompok dengan penetrasi menikmati manfaat ekonomi digital terbatas,” katanya.
Menanggapi laporan Bank Dunia itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Mira Tayyiba berpendapat, Indonesia sudah sering membahas paradoks ekonomi digital. Pendekatan pemerintah untuk menyelesaikannya, khususnya Kemkominfo, adalah dengan tetap menyasar hulu dan hilir.
Dari sisi hulu, Kemkominfo sampai sekarang masih intens mendorong pemain telekomunikasi aktif membangun infrastruktur jaringan sampai ke pelosok. Kemkominfo bahkan terlibat menyediakan jaringan tulang punggung melalui proyek Palapa Ring dan satelit multifungsi Satria.
Dari sisi hulu, Kemkominfo sampai sekarang masih intens mendorong pemain telekomunikasi aktif membangun infrastruktur jaringan sampai ke pelosok. Kemkominfo bahkan terlibat menyediakan jaringan tulang punggung melalui proyek Palapa Ring dan satelit multifungsi Satria.
”Dari sisi hilir, kami bekerja sama dengan berbagai mitra untuk mengadakan pelatihan keterampilan teknologi digital. Kami juga menggelar pelatihan literasi dan pembinaan usaha agar pelaku usaha kecil dan menengah melek pemasaran digital melalui program Bangga Buatan Indonesia,” kata Mira.
Ketua Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi Komunikasi Nasional (Wantiknas) Ilham Akbar Habibie menilai, pemerintah bersama swasta sudah bekerja baik agar manfaat ekonomi digital semakin inklusif. Misalnya, pemerintah sudah mengusahakan sistem integrasi data nasional yang hingga sekarang masih berproses.
”Permasalahan Indonesia kini menyangkut koordinasi yang belum selaras antara pemerintah pusat dan daerah. Swasta sudah berkali-kali menyerukan agar kebijakan bisa lebih selaras,” kata Ilham.