Waspadai Dampak Pembiayaan PLTU pada Kinerja Perbankan
Pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berpotensi menjadi aset terbengkalai di tengah program transisi energi di Indonesia dan dunia. Dampaknya, pembiayaan perbankan untuk proyek PLTU berpotensi menimbulkan kredit macet
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berpotensi menjadi aset terbengkalai di tengah program transisi energi di Indonesia dan dunia. Dampaknya, pembiayaan perbankan untuk proyek PLTU berpotensi menimbulkan kredit macet.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, gelombang transisi energi bersih, baik di skala mancanegara maupun nasional, berpotensi menggerus nilai keekonomian PLTU. ”Nilai keekonomian PLTU bisa merosot sehingga dapat menjadi stranded asset (aset terbengkalai) di masa mendatang. Imbasnya, kredit macet (nonperforming loan/NPL) perbankan yang membiayai pembangunan PLTU juga berisiko tinggi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (27/7/2021).
Berdasarkan data yang ada, menurut Fabby, perbankan di Indonesia terlibat dalam pendanaan sejumlah proyek PLTU 35.000 megawatt (MW). Oleh sebab itu, dia mengusulkan pembatalan kontrak proyek yang belum memulai pembangunan.
Dari sisi kebijakan keuangan, Fabby berpendapat, Kementerian Keuangan mesti menyusun kerangka pendanaan perubahan iklim. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mesti membuat daftar portofolio yang dikeluarkan (exclusion list) yang memuat proyek PLTU ataupun proyek yang terkait. Dia khawatir kredit macet tersebut dapat mengganggu stabilitas keuangan nasional.
Publikasi penelitian IESR yang berjudul ”Coal as Stranded Assets: Potential Climate-Related Transition Risk and its Financial Impacts to Indonesia Banking Sector” menyarankan Bank Indonesia dan OJK menyusun ”taksonomi hijau” yang sejalan dengan standar nasional dan internasional. Selain itu, perlu ada panduan peningkatan kapasitas dalam penilaian evaluasi risiko iklim.
Ada kecenderungan sejumlah bank di mancanegara yang mengurangi atau bahkan tidak lagi mendanai pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan proyek batubara.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif menyoroti kecenderungan sejumlah bank di mancanegara yang mengurangi atau bahkan tidak lagi mendanai pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan proyek batubara. Dia mencontohkan salah satu bank di Perancis menekan pendanaan tersebut dari 19 miliar dollar AS pada 2016 menjadi nol pada 2020.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Urgewald, Irwandy menyebutkan, sejumlah bank di Indonesia masih mendanai proyek PLTU. Sepanjang Oktober 2018-Oktober 2020, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyalurkan pembiayaan 4,62 miliar dollar AS, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk 2,09 miliar dollar AS, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk 1,76 miliar dollar AS, dan PT Bank Central Asia Tbk 310 juta dollar AS.
”Keempat bank tersebut merupakan yang terbesar (dalam pendanaan). Secara keseluruhan, totalnya mencapai 8,94 miliar dollar AS,” katanya dalam webinar berjudul ”Masa Depan Batubara dalam Bauran Energi Nasional”, Senin (26/7/2021) malam.
Dengan demikian, imbuh Irwandy, pengelolaan batubara beserta pembangkit listrik terkait di Indonesia ke depan membutuhkan perencanaan yang tepat. Aspek pendapatan negara, hilirisasi batubara, teknologi batubara bersih, pengembangan energi baru dan terbarukan, serta pendanaan industri batubara patut menjadi pertimbangan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, nilai keekonomian masih menjadi tantangan dalam penghentian pembangkit listrik berbasis batubara. ”Cadangan batubara di Indonesia kira-kira masih ada hingga 60-65 tahun lagi sehingga berpotensi menjadi energi yang harganya terjangkau. Batubara masih menjadi energi yang murah. Penerimaan negara bukan pajak (dari batubara) juga tergolong bagus,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Aspek pendapatan negara, hilirisasi batubara, teknologi batubara bersih, pengembangan energi baru dan terbarukan, serta pendanaan industri batubara patut menjadi pertimbangan.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM sedang membahas skema pembiayaan pengelolaan PLTU yang ditawarkan Bank Pembangunan Asia (ADB). Tujuannya, skema pembiayaan tersebut membuat pengembang PLTU tak dirugikan dalam proses transisi energi yang turut mempercepat penghentian operasional PLTU.
Menanggapi rencana itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyatakan, perlu ada kajian mendalam dam meninjau tolok ukur penerapan di negara-negara berkembang lainnya. ”Produsen listrik swasta mendukung rencana pemerintah dan siap menjadi mitra untuk percepatan transisi energi,” katanya, saat dihubungi.
Kajian itu, lanjut Arthur, perlu melihat dampak dari skema pembiayaan terhadap kenaikan pasokan biaya listrik serta daya saing industri dan daya beli masyarakat. Transisi juga membutuhkan teknologi dan sumber daya manusia berkualitas dari dalam negeri.