Satelit LEO Bisa Membantu Pemerataan Kebutuhan Akses Internet Indonesia
Kemunculan inovasi satelit telekomunikasi dengan ketinggian rendah dapat dipakai melengkapi upaya pemerataan akses internet di Indonesia. Ini tidak akan mengganggu bisnis jaringan internet dengan kabel serat optik.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan inovasi satelit telekomunikasi dengan ketinggian rendah atau low earth orbit satellite dapat membantu melengkapi kebutuhan internet bagi masyarakat yang belum mendapat akses internet dengan maksimal. Untuk penggelaran layanan memakai teknologi satelit seperti ini dibutuhkan kerja sama dengan operator telekomunikasi lokal.
Satelit telekomunikasi dengan ketinggian rendah (LEO) memiliki jarak orbit dari permukaan bumi 600-1.000 kilometer. Inovasi ini bukan hal baru karena sudah berkembang sejak 1990-an, tetapi menemukan momentumnya saat konsumsi internet kian masif seperti sekarang. Konglomerat AS, Elon Musk, melalui proyek Starlink juga ikut memainkan peran.
Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, Selasa (27/7/2021), di Jakarta, mengatakan, satelit jenis LEO biasanya tidak berukuran besar sehingga bisa berjumlah banyak, seperti yang dikerjakan oleh proyek Starlink. Kecepatan transfer internet satelit jenis LEO bisa mencapai 40 Gigabita per detik (GBps) dan latensi atau rata-rata keterlambatan di bawah 20 milidetik.
”Kalau satelit jenis LEO mau dipakai di Indonesia, sementara Indonesia punya satelit geostasioner, itu dikembalikan ke kebutuhan akses internet masyarakat saja. Jika kebutuhan akses internet mendesak, bisa pakai satelit jenis LEO,” kata Agung.
Inovasi ini bukan hal baru karena sudah berkembang sejak 1990-an, tetapi menemukan momentumnya saat konsumsi internet kian masif seperti sekarang.
Dalam konteks Indonesia, dia mengamati, operator telekomunikasi yang melayani kebutuhan akses internet bagi kelompok warga belum ataupun sudah dapat akses internet tetapi tidak maksimal (unserved dan underserved) terbilang masih sedikit. Keberadaan satelit jenis LEO bisa menjawab kebutuhan tersebut.
Mengutip Bloomberg, saat presentasi di acara Mobile World Congress di Barcelona, Kamis (1/7/2021), Elon Musk menyebutkan bahwa satelit Starlink siap meluncur secara global, kecuali wilayah kutub, bulan Agustus 2021. Space Exploration Technologies Corp (SpaceX) telah meluncurkan lebih dari 1.500 unit satelit serta mengoperasikan satelit Starlink itu di sekitar 12 negara dan akan terus ditambah.
Saat periode prapemesanan beberapa waktu lalu, pemesan layanan internet cepat Starlink harus merogoh kocek sekitar 600 dollar AS atau sekitar Rp 8,7 juta. Uang ini dipakai untuk deposit sebesar 99 dollar AS atau sekitar Rp 1,4 juta dan Starlink kit (perlengkapan) 499 dollar AS atau sekitar Rp 7,2 juta. Starlink kit mencakup, antara lain, antena parabola, router Wi-Fi, dan pemasok daya.
Musk mengatakan, pengguna layanan internet cepat Starlink pada Februari 2021 mencapai 10.000 dan kini mendekati 70.000 orang. Dia optimistis dalam kurun waktu 12 bulan mendatang pengguna akan bertambah 500.000 orang.
Dia menjelaskan bahwa latensi sistem yang dimiliki Starlink mirip dengan latensi jaringan pita lebar serat optik kabel darat dan 5G, yaitu kurang dari 20 milidetik. Karena kemajuan teknologi ini, seperti dikutip oleh CNET.com, Musk mengatakan sudah mulai bermitra dengan perusahaan telekomunikasi di seluruh dunia untuk menyediakan jalur yang menghubungkan ke pemancar (backhaul) atau koneksi yang dibutuhkan penyedia layanan seluler guna mengumpulkan lalu lintas data internet dari stasiun pangkalan milik mereka.
Pada April 2021, Komisi Komunikasi Federal AS (FCC) menyetujui rencana SpaceX untuk menyebarkan beberapa satelit Starlink di orbit bumi yang lebih rendah dari yang direncanakan, tetapi harus dipastikan keamanannya.
Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Kanaka Hidayat, menjelaskan, satelit kategori LEO seperti Starlink milik SpaceX yang dipunyai Elon Musk memang diluncurkan secara masif dengan berbagai macam orbit sehingga dapat menjangkau hampir 100 persen titik belahan bumi. Dengan kata lain, secara teknis dapat hadir di mana pun.
Dengan cara kerja seperti itu, penjualannya tidak bisa dalam kapasitas kecil. Sebab, pada akhirnya, perusahaan butuh pengembalian investasi.
”Karena jenis orbit satelit LEO seperti Starlink bukan stasioner (terhadap bumi) sehingga harus bergerak terus dan jangkauannya harus global, model bisnis layanan internetnya juga harus global. Operator satelit LEO perlu mitra di seluruh dunia untuk meretailkan bisnis,” kata Kanaka.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Indonesia (Apjatel) Muhammad Arif Angga mengatakan, keberadaan satelit telekomunikasi jenis LEO tetap bersifat melengkapi jaringan pita lebar kabel serat optik darat dan laut. Dengan inovasi teknologi yang dimiliki satelit LEO yang sekarang, seperti dimiliki Starlink, kondisi di Indonesia tetap butuh jaringan pita lebar berupa kabel.
Jaringan pita lebar kabel serat optik kebanyakan akan tetap menjangkau di kota-kota. Pertumbuhan pembangunan jaringan ini berkisar 10-20 persen.
Sementara layanan internet memakai satelit LEO, seperti Starlink, menurut Arif, akan menjangkau area yang tidak terjangkau oleh jaringan pita lebar. Harga layanan per bulan internet Starlink yang sudah beredar pun tidak akan serta-merta menggeser pasar penyedia jaringan pita lebar kabel serat optik.
PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk dikabarkan telah menjajaki pembicaraan kerja sama terkait pemanfaatan teknologi satelit kategori LEO dengan SpaceX. Penjajakan pemanfaatan ini untuk menyediakan konektivitas internet di wilayah Indonesia.
”Intinya, kami terbuka untuk bermitra dengan pihak manapun yang memiliki kompetensi dalam pemanfaatan teknologi satelit,” ujar Senior Vice President, Corporate Communication dan Investor Relation Telkom Ahmad Reza saat dihubungi.
Dengan inovasi teknologi yang dimiliki satelit LEO yang sekarang, seperti dimiliki Starlink, kondisi di Indonesia tetap butuh jaringan pita lebar berupa kabel.
Dalam Satellite Roadmap 2020-2025 untuk memenuhi kebutuhan atas teknologi satelit, Telkom Group memiliki beberapa strategi agar pemenuhannya tercapai. Misalnya, strategi membangun satelit sendiri, sewa kapasitas dari operator satelit lain, dan bermitra dengan mitra operator satelit yang kredibel. Reza menyampaikan, seluruh opsi upaya tersebut selalu dikoordinasikan dengan Pemerintah Indonesia.
”Mengingat geografis wilayah Indonesia, kami tetap melihat peran teknologi satelit masih sangat dibutuhkan untuk dapat mengakselerasi pemerataan konektivitas digital hingga ke pelosok Nusantara,” kata Reza.
Direktur Utama Pasifik Satelit Nusantara Adi Rahman Adiwoso saat dihubungi terpisah, mengatakan, belum ada rencana bermitra dengan SpaceX untuk pemanfaatan Starlink.