Perlindungan Sosial dan Kebijakan PPKM yang Ketat Jadi Solusi
Pemerintah harus menjadikan program penanganan Covid-19 sebagai prioritas utama. Anggaran belanja yang tak mendesak agar dialihkan untuk penanganan dampak Covid-19.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran perlindungan sosial yang tinggi dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM yang ketat adalah cara ampuh menurunkan angka penularan Covid-19. Berapa pun alokasi anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan Covid-19 akan sia-sia apabila kebijakan PPKM dilakukan setengah-setengah.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi publik secara virtual bertajuk ”PPKM: Gonta-ganti Strategi, Ekonomi Kian Tak Pasti” pada Senin (26/7/2021). Acara itu diselenggarakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dengan menghadirkan pembicara peneliti dari lembaga tersebut.
Menurut Direktur Program Indef Esther Sri Astuti, pemerintah seharusnya menjadikan program penanganan Covid-19 sebagai prioritas utama. Di tengah keterbatasan ruang fiskal, pemerintah dapat merealokasikan anggaran belanja infrastruktur yang tidak punya banyak urgensi dalam situasi seperti sekarang ini.
Esther menjelaskan, perluasan ruang fiskal dengan pengalihan belanja modal tersebut bisa dimanfaatkan untuk peningkatan pengeluaran di bidang kesehatan dan bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang terdampak. Hal tersebut harus dilakukan meski tak dibantah bahwa belanja bantuan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sudah merupakan yang paling tinggi.
Di tengah keterbatasan ruang fiskal, pemerintah dapat merealokasikan anggaran belanja infrastruktur yang tidak punya banyak urgensi dalam situasi seperti sekarang ini.
”Berdasarkan laporan UNDP (Program Pembangunan PBB) pada 2020, negara dengan pengeluaran (anggaran perlindungan) sosial yang tinggi, angka kasus penularan Covid-19 lebih landai. Sebaliknya, negara dengan pengeluaran (anggaran perlindungan) sosial rendah, dengan kuncitara tidak efektif, punya angka kasus penularan Covid-19 yang tetap tinggi,” kata Esther.
Saat ini, alokasi anggaran program PEN naik dari Rp 699,43 triliun menjadi Rp 744,75 triliun. Kenaikan ada pada pos untuk perlindungan sosial dari Rp 153,86 triliun menjadi Rp 187,84 triliun dan pos kesehatan dari Rp 193,93 triliun menjadi Rp 214,95 triliun. Sementara itu, berdasarkan catatan informasi APBN 2021 Kementerian Keuangan, alokasi anggaran untuk pembangunan di sektor infrastruktur untuk tahun ini mencapai Rp 417,4 triliun.
Sebagai perbandingan, pada 2020 lalu, alokasi anggaran Jepang untuk penanganan Covid-19 di negara itu mencapai 117,1 triliun yen atau setara Rp 15.906 triliun. Adapun pada periode yang sama, China menganggarkan 4,8 triliun renminbi yang setara dengan Rp 10.461 triliun untuk penanganan Covid-19.
”Dengan alokasi anggaran jumbo untuk penanganan Covid-19, sejumlah negara dapat melakukan kuncitara secara total. Pemerintah setempat pun menjamin kebutuhan pokok dan penunjang masyarakat sehingga dapat mengurangi laju penularan lokal,” ujar Esther.
Saat ini, alokasi anggaran program PEN naik dari Rp 699,43 triliun menjadi Rp 744,75 triliun. Kenaikan ada pada pos untuk perlindungan sosial dari Rp 153,86 triliun menjadi Rp 187,84 triliun dan pos kesehatan dari Rp 193,93 triliun menjadi Rp 214,95 triliun.
Berdasarkan data Worldometer, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia pada Minggu (25/7/2021) menjadi yang tertinggi di dunia untuk kasus harian serta berada di urutan ke-14 untuk total kasus. Sementara itu, di kawasan ASEAN, Indonesia menduduki urutan pertama dengan total kasus mencapai 3,19 juta kasus.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menegaskan, pemerintah seharusnya tidak memiliki alasan untuk tidak memenuhi kebutuhan warga yang terdampak kebijakan PPKM. Menurut dia, untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, kebutuhan pokok dan penunjang warga selama 14 hari diperkirakan mencapai Rp 7,7 triliun hingga Rp 11 triliun. Kebutuhan dana tersebut dapat dipenuhi dari pos infrastruktur.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers secara virtual pada Minggu (25/7/2021) malam mengatakan, contoh penerapan PPKM level 4 adalah pasar rakyat yang menjual sembako diizinkan beroperasi seperti biasa dengan protokol kesehatan ketat. Pasar rakyat yang tidak menjual sembako beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen sampai pukul 15.00.
”Warung makan, pedagang kaki lima, lapak jajanan, dan sejenisnya yang memiliki tempat usaha di ruang terbuka diizinkan buka sampai pukul 20.00 dan waktu makan untuk setiap pengunjung selama 20 menit dan disarankan jangan berkomunikasi selama makan,” ucap Luhut.
Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, kebutuhan pokok dan penunjang warga selama 14 hari diperkirakan mencapai Rp 7,7 triliun hingga Rp 11 triliun. Kebutuhan dana tersebut dapat dipenuhi dari pos infrastruktur.
Ekonom Indef, Abra Talattov, menambahkan, potensi kontraksi ekonomi pada triwulan III-2021 cukup besar karena belum ada penurunan angka kasus penularan Covid-19 yang signifikan. Padahal, penerapan PPKM telah mengorbankan pertumbuhan konsumsi domestik.
”Karena PPKM tidak efektif menurunkan angka penularan Covid-19, akhirnya pemerintah sendiri yang akan gagal mencapai target proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 di rentang 3,7-4,5 persen,” ucap Abra.
Abra memaparkan, PPKM darurat yang mulai berjalan pada awal triwulan III-2021 telah memukul sektor konsumsi rumah tangga. Ia memprediksi bahwa kebijakan PPKM level 3 dan 4 masih akan terus digulirkan pemerintah di sepanjang triwulan III-2021 akibat belum meredanya angka penularan Covid-19.
”Jika PPKM terus-menerus diperpanjang, maka potensi kontraksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2021 semakin terbuka,” katanya.