Mendamba Birokrasi Peka Krisis...
Peka terhadap krisis diharapkan tergambar jelas dalam cara dan ritme kerja birokrasi menyangkut realisasi anggaran pada kondisi sulit sekarang ini. Kesigapan pemerintah akan sangat membantu masyarakat.
Persoalan serapan anggaran yang minim kembali mengemuka belakangan ini. Sesuatu hal yang mestinya tak terjadi di tengah kondisi darurat yang membutuhkan gerak cepat setiap lini di tengah cekaman pandemi Covid-19, realitasnya justru berbeda. Sense of crisis atau peka krisis diharapkan tergambar jelas dalam cara dan ritme kerja birokrasi menyangkut realisasi anggaran pada kondisi sulit seperti sekarang ini.
Awal pekan ini, saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah seluruh Indonesia, Presiden Joko Widodo menuturkan bahwa kepemimpinan lapangan yang kuat dibutuhkan untuk menghadapi pandemi Covid-19. Hal yang diperlukan sekarang ini adalah kepemimpinan yang paham lapangan, dapat bergerak cepat, serta responsif.
”Kepemimpinan lapangan tersebut harus kuat di semua level pemerintahan, dari atas sampai tingkat kelurahan atau desa,” kata Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (19/7/2021).
Di hadapan para kepala daerah se-Indonesia tersebut, Kepala Negara merinci sejumlah tindakan lapangan yang dibutuhkan saat ini. Salah satu tindakan lapangan dimaksud ialah percepatan bantuan sosial dan belanja daerah. Alokasi dan realisasi anggaran di beberapa pos pun dipetik sebagai gambaran.
Baca juga: Presiden Jokowi: Hadapi Pandemi Butuh Kepemimpinan Lapangan yang Kuat
Presiden menuturkan, berdasarkan data yang diterimanya, dari total anggaran UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) untuk seluruh daerah sebesar Rp 13,3 triliun yang dipakai baru Rp 2,3 triliun. ”Padahal, kita sekarang ini butuh sekali. Rakyat butuh sekali. Rakyat menunggu sehingga saya minta (anggaran) ini segera dikeluarkan,” katanya.
Anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 12,1 triliun pun realisasinya baru Rp 2,3 triliun. Total dana desa Rp 72 triliun dan sebanyak Rp 28 triliun dipakai untuk bantuan langsung tunai (BLT) desa, tetapi realisasinya atau dana yang dipakai baru Rp 5,6 triliun. Realisasi kesemua hal tersebut tidak sampai seperempat dari total dana.
”Ini yang saya minta semuanya dipercepat. Sekali lagi, dengan kondisi seperti ini, percepatan anggaran sangat dinanti oleh masyarakat,” ujar Presiden Jokowi.
Detail gambaran serapan anggaran di daerah pun disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers tindak lanjut arahan Presiden RI terkait perkembangan terkini penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), Rabu (21/7/2021) petang. Sebanyak Rp 28,8 triliun anggaran dari transfer dana desa digunakan untuk BLT Desa dengan sasaran 8 juta kelompok penerima.
”Kami, dalam hal ini, meminta kepada seluruh desa atau daerah untuk bisa meningkatkan akselerasi dalam penyerapan anggaran desa ini. Catatan yang kami miliki, untuk BLT Desa ini sekarang realisasinya masih di Rp 6,11 triliun atau baru 21,2 persen dari total anggaran yang Rp 28,8 triliun tadi,” kata Sri Mulyani.
Baca juga: Dana Desa Terindikasi Berdampak Positif pada Kegiatan Ekonomi
Apabila dirinci, sebanyak 163 daerah (kabupaten) dengan 25.547 desa baru mencairkan BLT Desa Rp 938,3 miliar atau 8,2 persen dari total anggaran yang Rp 11,5 triliun. ”Jadi, kami berharap 163 daerah atau 25.547 desa ini bisa segera mengakselerasi pencairan BLT-nya, sehingga masyarakat desa—terutama kelompok penerima—bisa langsung mendapatkan bantuan anggaran ini,” ujar Menkeu.
Kemudian, sebanyak 151 daerah dengan 25.815 desa memiliki pencairan BLT Desa Rp 2,182 triliun atau 21,7 persen dari anggaran yang Rp 10,048 triliun. Selanjutnya, ada 99 daerah dengan 15.208 desa dengan pencairan BLT Desa sudah mencapai 37,3 persen, yakni sebanyak Rp 2,273 triliun dari total anggaran yang Rp 6,09 triliun.
”Hanya 21 daerah dengan 2.873 desa yang pencairan BLT Desanya sudah di atas 50 persen, atau persisnya 59,7 persen. (Sekarang) Ini sudah bulan ketujuh, jadi dalam hal ini merekalah yang sudah mengalokasikan dan melaksanakan BLT Desanya tepat waktu. (Sebanyak) Rp 717,6 miliar sudah dicairkan dari (total) Rp 1,2 triliun,” ujar Menkeu Sri Mulyani.
Instrumen perlindungan sosial
Upaya percepatan pelaksanaan Dana Desa dan BLT Desa menunjukkan salah satu peran TKDD (transfer ke daerah dan dana desa) dalam mendukung penanganan Covid-19 di tingkat desa. Program BLT Desa merupakan instrumen perlindungan sosial yang dinilai Kemenkeu efektif dalam menjaga daya beli masyarakat terdampak pandemi Covid-19 sehingga pemerintah desa wajib melaksanakan BLT Desa dan tidak dikaitkan dengan program Bansos Tambahan dari pemerintah pusat.
Menggarisbawahi pernyataan Presiden Jokowi, Menkeu Sri Mulyani menuturkan bahwa pemerintah tidak hanya meminta BLT Desa yang segera dicairkan oleh pemerintah desa dan diawasi pemerintah kabupaten. ”Namun, juga penggunaan dana APBD-nya yang dipakai untuk membantu masyarakat; yakni perlinsos Rp 12,11 triliun plus anggaran untuk pemberdayaan ekonomi Rp 13,35 triliun,” katanya.
Bentuk bantuan terdiri dari bantuan sosial untuk masyarakat terdampak Rp 6,9 triliun, pemberian makanan tambahan dan perlindungan sosial lainnya Rp 5,2 triliun, pemberdayaan UMKM Rp 2,3 triliun, serta subsidi pertanian dan pemberdayaan ekonomi lainnya Rp 11 triliun. ”Namun, dari dana Rp 25,4 triliun yang ada di APBD (tersebut), sekarang ini baru terserap 18,5 persennya atau Rp 4,7 triliun,” papar Sri Mulyani lagi.
Baca juga: Anggaran Perlindungan Sosial dan Kesehatan Ditambah Lagi
Kemenkeu mencatat secara umum penyerapan belanja program pemulihan ekonomi daerah yang meliputi perlindungan sosial dan dukungan ekonomi daerah masih rendah. Sebanyak 324 daerah realisasinya 6,2 persen dari anggaran, 128 daerah memiliki realisasi 22,5 persen, 66 daerah dengan realisasi 35,5 persen, dan hanya 24 daerah dengan realisasi anggaran 61,1 persen.
”Jadi, mayoritas daerah-daerah ini masih belum masuk dalam kategori (daerah) yang bisa merealisasikan program-program daerah sendiri, yang sebetulnya (daerah tersebut) sangat membutuhkan,” kata Sri Mulyani.
Menkeu berharap daerah-daerah segera mengakselerasi pencairan dana yang ada dalam APBD tersebut. Langkah tersebut dinilai akan sangat membantu masyarakat.
Seperti diberitakan Kompas.id, Rabu (21/7/2021), Koordinator Regional Jawa Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Juliyatmono menuturkan bahwa Kementerian Dalam Negeri sudah memerintahkan agar APBD digunakan untuk penanganan pandemi Covid-19. Ia akan mengikuti aturan tersebut.
”Semestinya (percepatan serapan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19) menjadi prioritas. Perintahnya juga begitu dari Kemendagri,” kata Juliyatmono, yang juga Bupati Karanganyar, Jawa Tengah, ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu.
Pemda-pemda perlu diarahkan dan didorong lebih kuat terkait sense of crisis (peka krisis) dan sense of urgency (peka urgensi) terutama dengan peningkatan kasus Covid-19. (Mohammad Faisal)
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, pemerintah daerah-pemerintah daerah memang perlu diarahkan dan didorong lebih kuat terkait sense of crisis (peka krisis) dan sense of urgency (peka urgensi, peka terhadap keharusan penting yang mendesak) terutama dengan peningkatan kasus Covid-19.
”Kalau tidak (diperkuat kepekaannya), cara kerja mereka umumnya masih business as usual (berjalan seperti biasa), kurang responsif,” kata Faisal ketika diminta pandangan, Rabu (21/7/2021).
Faisal mengatakan bahwa memang tidak semua pemerintah daerah memiliki cara kerja yang biasa-biasa saja dan kurang responsif. ”Tapi, umumnya memang masih perlu untuk didorong. Dan, kalau perlu ada bentuk reward and punishment (penghargaan/hadiah dan hukuman/sanksi) khusus dari pemerintah pusat mengingat kondisi saat ini memang darurat,” katanya.
Menurut Faisal, hal yang juga mesti diperhatikan adalah menyangkut aspek perencanaan anggaran. Perhatian jangan ditujukan cuma untuk anggaran bantuan sosial (bansos). Pemerintah juga mesti memperhatikan kecukupan dana penunjang untuk penyaluran bansos tersebut. ”(Hal ini) karena dalam banyak kasus di daerah-daerah perdesaan, untuk menyalurkan bansos butuh anggaran distribusi besar karena akses ke daerah yang susah,” ujar Faisal.
Sebagian lembaga negara pun ditemukan ada yang lambat mencairkan anggaran. Sebut saja biaya hotel untuk isolasi mandiri yang belum juga dibayarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana selaku kuasa pengguna anggaran (KPA). Dalam catatan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta, klaim biaya hotel untuk isolasi mandiri yang diajukan pengusaha senilai Rp 196 miliar. Sementara data milik BNPB sebesar Rp 140 miliar.
Pihak BNPB beralasan biaya hotel untuk isolasi mandiri belum dibayarkan karena menunggu verifikasi di internal dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kepala Pusat Data, Informasi, danKomunikasi BNPB Abdul Muhari mengatakan, verifikasi berlapis dilakukan karena uang yang dipakai merupakan uang negara. Namun, pada prinsipnya, tagihan yang telah diverifikasi pasti dibayar BNPB (Kompas, 26/7).
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan, masa krisis yang membutuhkan penanganan cepat, fungsi aparat pengawas internal pemerintah (APIP) harus dioptimalkan. Kendala administrasi keuangan pun sudah harus diatasi di tahun lalu. Karena itu, pada tahun ini, pembayaran biaya untuk penanganan pandemi bisa lebih tepat waktu, tetapi juga terjaga akuntabilitasnya.
”Lambatnya pembayaran biaya dari pemerintah ke swasta adalah problem klasik. Di masa krisis pandemi, seharusnya dicarikan terobosan agar tidak terulang,” tuturnya.
Pelajaran berharga
Beberapa waktu lalu, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh menuturkan, tahun 2021 adalah momentum untuk pulih dan bangkit dari dampak pandemi Covid-19. APBN dan APBD menjadi instrumen penting dan harus diselenggarakan secara efektif. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama manajemen maupun aparat pengawas intern pemerintah (APIP).
”Setelah satu tahun mengawal penanganan pandemi, kami menemukan banyak pelajaran berharga agar program pemerintah berjalan lebih efektif baik untuk penanganan Covid-19, pemulihan ekonomi, maupun program strategis pemerintah lainnya,” ujar Yusuf saat memberikan laporan pada Peresmian Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2021 di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (27/5/2021) lalu.
Baca juga: Presiden Jokowi Meminta Respons Kebijakan Cepat dan Tepat di Tengah Pandemi
Yusuf menuturkan, efektivitas program pemerintah sangat tergantung pada tahap perencanaan dan penganggaran. Program, kegiatan, dan belanja pemerintah harus dirancang dengan baik, jelas hasil atau dampaknya, dan jelas ukuran keberhasilannya. Kebijakan dan program pemerintah harus diorkestrasi dalam suatu harmoni, baik antarinstansi pemerintah pusat maupun dengan pemerintah daerah.
Data merupakan faktor kunci. Data yang akurat, valid, dan dikelola dengan baik akan mempermudah penyusunan kebijakan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi hingga pelaporan. ”(Hal) yang terakhir, kesuksesan program pemerintah juga tak lepas dari kesigapan untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan solusinya sesegera mungkin,” kata Yusuf.
Kesuksesan program pemerintah juga tak lepas dari kesigapan untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan solusinya sesegera mungkin. (Muhammad Yusuf Ateh)
Hari-hari ini, varian Delta telah sedemikian cepat menular dan menimbulkan lonjakan kasus Covid-19 di negeri ini. Setelah varian Delta, tak tertutup varian virus korona lainnya juga bakal muncul lagi seperti di Afrika dan Brasil. Sementara kini sedemikian banyak warga yang sakit dan bahkan meninggal akibat Covid-19. Dampak pandemi pun telah menjangkau segenap aspek kehidupan masyarakat.
Semua pihak, termasuk birokrasi, mesti menyadari kondisi krisis kesehatan akibat pandemi yang dampaknya menyeruak ke mana-mana, termasuk hingga dapur warga. Berangkat dari kepekaan terhadap krisis inilah kiranya segenap daya mesti diarahkan dalam ikhtiar bersama menghadapi pandemi berikut dampaknya. Jangan tunggu lagi korban semakin melonjak, penyerapan dan pemanfaatan anggaran yang benar tetap harus selalu diutamakan.