Pengawasan Izin Beroperasi Industri Perlu Lebih Ketat
Jika PPKM terus berlanjut, nasib sektor non-esensial berorientasi pasar domestik dan menampung tenaga kerja dalam jumlah besar perlu dipikirkan kelangsungannya. Pengawasan pemberian IOMKI yang lebih ketat menjadi kunci.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu memperkuat sistem pengawasan dan evaluasi pemberian Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri atau IOMKI bagi perusahaan. Dengan demikian, roda industri manufaktur dapat dijaga tetap berputar selama periode pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM tanpa perlu mengorbankan aspek kesehatan dan memunculkan kluster penularan baru.
Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Mohamad Dian Revindo mengatakan, IOMKI perlu diberikan kepada perusahaan yang mampu menerapkan protokol kesehatan secara ketat di lokasi produksinya. Hal itu mulai dari penyediaan fasilitas cuci tangan, penggunaan sarung tangan dan masker, penjagaan jarak pekerja di lokasi produksi, sampai pengetesan antigen rutin.
”Instrumen yang harus diperkuat adalah sistem monitoring dan evaluasi IOMKI. Pemantauan berkala harus dilakukan pemerintah untuk memastikan konsistensi kepatuhan pelaku usaha. Dari pihak pengusaha juga diperlukan komitmen dan kejujuran untuk tetap menjaga protokol kesehatan meski sedang tidak dipantau,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa (27/7/2021).
Menurut dia, jika sistem pengawasan dan evaluasi dari pemerintah sudah kuat, IOMKI pelan-pelan dapat diberikan ke sektor manufaktur lain yang tidak terhitung kritikal dan esensial (berorientasi ekspor), tetapi mampu memenuhi protokol kesehatan dengan patuh.
Sejauh ini, Instruksi Menteri Dalam Negeri mengharuskan sektor non-esensial untuk bekerja dari rumah (WFH/work from home) 100 persen selama PPKM. Sementara sektor esensial yang diizinkan beraktivitas dengan kapasitas 50 persen dari pabrik/kantor bagi industri yang berorientasi ekspor dan memiliki bukti dokumen ekspor.
Menurut Revindo, nasib sektor manufaktur yang berorientasi pasar domestik, tetapi menampung jumlah tenaga kerja yang besar, perlu mulai diperhatikan jika PPKM akan terus berlanjut. Ia mencontohkan, industri tekstil, logam, plastik, kertas, dan furnitur yang dijual ke pasar domestik.
”Syarat spesifik IOMKI yang meminta adanya dokumen pemberitahuan ekspor barang dalam 12 bulan terakhir menghambat industri manufaktur yang baru saja mengembangkan produksinya untuk menjajaki pasar ekspor, atau industri kecil-menengah (IKM) yang baru mau memulai ekspor,” kata Revindo.
Kendati demikian, ia menegaskan, ketegasan pengawasan dan evaluasi pemberian izin beroperasi tetap menjadi kunci. Pertimbangan kesehatan harus menjadi prioritas. Perluasan izin beroperasi jangan sampai menimbulkan munculnya kluster-kluster penularan Covid-19 yang baru di lingkungan industri.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko SA Cahyanto mengatakan, evaluasi di lapangan menunjukkan, selama pemberlakuan PPKM darurat dan PPKM level 4 bulan ini masih ada perusahaan yang menoleransi pelanggaran protokol kesehatan di lingkungan pabrik atau kantornya.
”Ke depan kami harap tidak ada lagi toleransi. Peran satuan tugas (satgas) dari tiap perusahaan sangat penting untuk mendisiplinkan di internal lingkungan industri,” kata Eko.
Kementerian Perindustrian mencatat, sampai 24 Juli 2021 pemerintah telah mencabut 345 izin dari total 21.412 IOMKI yang diberikan ke perusahaan di seluruh Indonesia. Khusus daerah Jawa-Bali yang mayoritas masih memberlakukan PPKM level 4, pemerintah mencabut 299 izin dari total 17.919 IOMKI yang telah diberikan.
Sanksi bertahap
Pemerintah menerapkan sanksi bertahap bagi perusahaan industri yang melanggar aturan PPKM. Izin beroperasi bagi perusahaan terkait baru akan dicabut setelah peringatan tertulis sebanyak dua kali serta pembekuan izin beroperasi.
Menurut Eko, sanksi pertama adalah peringatan tertulis sebanyak dua kali jika perusahaan lalai melaporkan kegiatan di Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) sebanyak dua kali berturut-turut. Jika perusahaan tetap lalai melapor untuk kali ketiga, IOMKI dibekukan. Saat IOMKI dibekukan, perusahaan tidak boleh melakukan aktivitas apa pun.
”Pembekuan izin dicairkan setelah perusahaan melaporkan kembali secara lengkap. Kalau setelah dibekukan, perusahaan tetap tidak melapor, baru otomatis IOMKI dicabut. IOMKI yang baru bisa diajukan lagi setelah 14 hari,” kata Eko.
Ia mengatakan, evaluasi pemberian IOMKI akan dibuat lebih sering. Awalnya, perusahaan yang mengantongi IOMKI diwajibkan melaporkan kegiatan operasionalnya satu kali seminggu. Kini, perusahaan diwajibkan melapor dua kali seminggu.
”Kami menerima laporan dan melakukan evaluasi ke perusahaan bersangkutan. Jika ditemukan pelanggaran, kami lakukan pembinaan. Jika terus melanggar, mau tidak mau kami cabut,” kata Eko.
Kementerian Perindustrian akan menjadikan penyediaan fasilitas kesehatan di lingkungan pabrik serta laju vaksinasi karyawan di suatu perusahaan sebagai indikator pemberian IOMKI.
”Ada beberapa perusahaan yang sangat concern sampai-sampai 100 persen karyawannya sudah divaksin, mayoritas keluarga karyawan juga divaksin, termasuk masyarakat di sekitar pabrik. Hal-hal seperti ini akan kami perhatikan dalam memberi rekomendasi izin beroperasi,” kata Eko.
Memberlakukan sif kerja
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan mengatakan, khusus wilayah yang memberlakukan PPKM level 3, industri esensial berorientasi ekspor dan penunjangnya bisa beroperasi dengan kapasitas maksimal 100 persen staf di fasilitas produksi dan pabrik.
Hal itu sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2021 tentang PPKM Level 3, Level 2, dan Level 1. Namun, Luhut mengatakan, jam kerja harus dilakukan secara bergiliran (sif). Setiap sif dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal staf karyawan 50 persen. Pembagian sif tetap diperlukan agar tidak terjadi penumpukan karyawan dalam satu periode.
”Jika beroperasi dengan dua sif dalam satu hari, perusahaan dapat mengoperasikan dengan kapasitas maksimal 100 persen staf di fasilitas produksi atau pabrik,” katanya.
Adapun saat ini ada 33 kabupaten dan kota di wilayah Jawa dan Bali yang menerapkan PPKM level 3 selama periode 26 Juli-2 Agustus 2021. Industri esensial berorientasi ekspor di daerah lain tetap menerapkan PPKM level 4 dengan pembatasan kapasitas 50 persen untuk pekerja pabrik dan 10 persen untuk staf penunjang.
Terkait pembagian sif ini, pemerintah meminta perusahaan mengatur panduan pengaturan arus masuk dan keluar pabrik. Hal itu agar tidak menimbulkan kerumunan karyawan saat pergantian sif karyawan.
”Jangan sampai ada pertemuan antara yang masuk dan keluar. Harus ada jeda waktu, dahulukan karyawan sif pertama yang keluar, baru karyawan sif kedua masuk setelahnya. Kami minta bukti laporan terkait kondisi pergantian sif dan masuk-keluar kerja ini,” kata Eko.