Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 yang telah masuk tahap finalisasi punya peran krusial terhadap masa depan optimalisasi utilitas pembangkit listrik tenaga surya di masyarakat.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) amat krusial. Perbaikan regulasi ini berpengaruh terhadap upaya memaksimalkan pemanfaatan energi surya untuk mendukung capaian bauran energi.
Beberapa substansi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 49/2018 tersebut dinilai belum memenuhi ekspektasi pelanggan yang sudah ataupun yang akan memasang sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa, Sabtu (24/7/2021), di Jakarta, memaparkan tentang substansi perhitungan ekspor-impor energi listrik pada sistem PLTS atap. Pada Pasal 6 peraturan tersebut, energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan kilowatt jam (kWh) ekspor yang tercatat pada meteran kWh ekspor-impor dikali 65 persen dari tarif, sedangkan impor tetap dihitung 100 persen dari tarif.
Maksud dari kWh ekspor adalah jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem PLTS atap pelanggan ke sistem jaringan PLN yang tercatat pada perangkat meter kWh ekspor-impor. Adapun kWh impor merupakan jumlah energi listrik yang diterima oleh sistem instalasi pelanggan PLTS atap dari sistem jaringan PLN.
Kemudian, masih di pasal yang sama, terdapat ketentuan, apabila jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari impor, selisihnya akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya. Lama akumulasi maksimal tiga bulan.
Mereka berharap, dengan investasi Rp 15 juta per kWp dapat segera diperoleh pengembalian dalam kurun waktu pendek, misalnya lima tahun.
”Potensi pelanggan PLTS atap khusus rumah tangga saja mencapai 9-11 persen dari total rumah tangga di Indonesia atau sekitar 8 juta rumah tangga. Hasil survei Institute for Essential Service Reform menunjukkan bahwa sebagian besar (dari 8 juta rumah tangga itu) mau memasang PLTS atap, tetapi terkendala biaya pembayaran di awal sekitar Rp 15 juta per 1 kilowatt peak (kWp),” ujar Fabby.
Jika 8 juta rumah tangga potensial itu diasumsikan kelas menengah, Fabby lantas menduga bahwa kelompok masyarakat ini memasang sistem PLTS atap sebagai sebuah investasi. Mereka berharap, dengan investasi Rp 15 juta per kWp dapat segera diperoleh pengembalian dalam kurun waktu pendek, misalnya lima tahun. Oleh karena itu, ketentuan energi listrik yang diekspor dikali 65 persen dari tarif belum memenuhi ekspektasi.
Lama akumulasi perhitungan pengurangan tagihan atas surplus energi listrik pelanggan PLTS atap maksimal tiga bulan dinilai kurang pas. Sebab, Indonesia mempunyai musim hujan dan kemarau yang masing-masing punya profil radiasi matahari berbeda-beda.
”Lebih baik perhitungannya (tarif net-metering) disamakan saja dengan impor atau menjadi 1:1 dan lama akumulasi perhitungan pengurangan tagihan atas surplus diperpanjang menjadi setahun. Jadi, pelanggan sistem PLTS atap dari segmen rumah tangga bisa berkontribusi aktif terhadap target pencapaian bauran energi bersama perusahaan swasta,” kata Fabby.
Pelanggan sistem PLTS atap dari segmen rumah tangga bisa berkontribusi aktif terhadap target pencapaian bauran energi bersama perusahaan swasta.
”Hasil simulasi kami menunjukkan bahwa jika terdapat total instalasi 1 gigawatt (GW) peak PLTS atap, pemasukan PLN hanya akan berkurang 0,52 persen dengan tarif net-metering 1:1,” ucap Fabby.
Wakil Ketua Umum AESI Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Enterprise, dan Capacity Building Anthony Utomo menilai positif kehadiran peraturan Menteri ESDM tersebut. Khalayak umum, yakni rumah tangga yang jadi pelanggan sistem PLTS atap, bisa mengajukan ke PLN, termasuk pemasangan perangkat meter ekspor-impor. Namun, tidak semua proses pengajuan izin berjalan mulus.
Salah satu calon pelanggan sistem PLTS atap di Jawa Timur yang dia tahu pernah mengeluh harus menunggu setahun agar memperoleh perangkat meter ekspor-impor kWh.
”Masyarakat yang memasang sistem PLTS atap ini tidak dapat insentif dari negara, tetapi malah masih ada fenomena ancaman kriminalisasi ke mereka. Ketentuan hukum Peraturan Menteri ESDM No 49/2018 tidak terimplementasi dengan sempurna,” kata Anthony.
Khalayak umum, yakni rumah tangga yang jadi pelanggan sistem PLTS atap, bisa mengajukan ke PLN, termasuk pemasangan perangkat meter ekspor-impor. Namun, tidak semua proses pengajuan izin berjalan mulus.
Sejak adanya Peraturan Menteri ESDM No 49/2018, jumlah pelanggan memasang sistem PLTS atap yang sebelumnya hanya 200 kini menjadi sekitar 3.700. Total daya listrik mencapai 31,3 megawatt (MW). Kenaikan jumlah pelanggan per tahun berkisar 6-7 kali lipat.
Meski demikian, Ketua Perkumpulan Pengguna PLTS Atap Yohanes Bambang Sumaryo mengatakan, masih banyak masyarakat memasang sistem PLTS atap, tetapi dibangun terpisah dari jaringan PLN atau off-grid. Alasan utamanya adalah penghitungan nilai kWh ekspor yang dikali 65 persen atau hanya senilai 0,65 dari tarif. Dengan demikian, ada kemungkinan daya listrik yang dihasilkan dari PLTS atap lebih besar dari klaim pemerintah.
Bauran energi
Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, kebutuhan listrik dengan sasaran pemanfaatan listrik per kapita tahun 2025 sebesar 2.500 kWh. Dalam perpres itu juga disebutkan, kapasitas penyediaan pembangkit listrik energi terbarukan tahun 2025 harus sekitar 45,2 GW. Pengembangan tenaga surya untuk listrik diproyeksikan sebesar 6,5 GW pada 2025.
Fabby menambahkan, tenggat pencapaian target bauran energi baru dan terbarukan 23 persen pada tahun 2025 itu tidak lama. Utilisasi PLTS atap masih memungkinkan untuk mendukung pemenuhan target pencapaian tersebut, asalkan revisi Peraturan Menteri ESDM No 49/2018 segera ditetapkan.
Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, saat dikonfirmasi terpisah, mengatakan, tahapan revisi Peraturan Menteri ESDM No 49/2018 sudah masuk finalisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sejumlah substansi revisi mengakomodasi keluhan di masyarakat, di antaranya tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1, periode penghitungan ulang kelebihan transfer listrik diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan, serta penyederhanaan proses pendaftaran dan penggantian perangkat meter kWh ekspor-impor melalui aplikasi daring.
”Sudah dilakukan harmonisasi akhir pekan lalu. Ada beberapa dokumen pendukung yang sedang kami lengkapi. Tunggu saja segera waktu penetapan revisi peraturannya,” ucap Dadan.