Mitigasi Krisis Ketenagakerjaan akibat Pandemi Covid-19
Lonjakan kasus Covid-19 kembali memukul dunia usaha dan sektor ketenagakerjaan. Upaya mitigasi krisis oleh pemerintah perlu dibarengi komitmen pengusaha dan pekerja untuk membangun hubungan industrial yang kondusif.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak pandemi Covid-19 terus menggempur dunia usaha dan ketenagakerjaan. Sebagai mitigasi krisis, pemerintah mengingatkan pengusaha dan pekerja untuk membangun hubungan industrial yang kondusif. Negara juga dituntut memperluas bantuan bagi mayoritas pengusaha dan pekerja yang bergerak di sektor informal dan skala UMKM.
Covid-19 membawa disrupsi pada sektor ketenagakerjaan. Data Badan Pusat Statistik, per Agustus 2020, ada 29,12 juta orang pekerja atau 14,28 persen dari total penduduk usia kerja yang terdampak pandemi. Mayoritas mengalami pengurangan jam kerja dan penurunan upah serta kehilangan pekerjaan atau menganggur.
Seiring dengan perekonomian yang mulai membaik di awal tahun 2021, jumlah pekerja yang terdampak pun berkurang tipis menjadi 19,1 juta orang atau 9,3 persen dari total penduduk usia kerja pada Februari 2021. Namun, lonjakan kasus Covid-19 akhir-akhir ini membuat dunia usaha dan sektor ketenagakerjaan kembali terpukul.
”Awal tahun ini sebenarnya gairah perekonomian sempat bagus. Tetapi, begitu ada varian baru Covid-19 yang dahsyat ini, kita belum tahu akan seperti apa potret kondisi ketenagakerjaan pada Februari-Juli 2021 ini,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Jumat (23/7/2021), dalam acara bincang siang Kompas Collaboration Forum (KCF) secara daring di Jakarta.
Selain dihadiri Menaker, diskusi itu juga dihadiri peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi, serta para CEO dan direktur perusahaan anggota KCF.
Menurut Ida, di tengah kondisi yang sulit ini, mempertahankan dunia usaha berarti mempertahankan tenaga kerja Indonesia. Oleh karena itu, untuk menghindari krisis ketenagakerjaan yang berkepanjangan, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. ”Dalam kondisi sulit seperti ini, pemerintah tidak bisa sendiri,” ujarnya.
Ia mengingatkan pengusaha dan pekerja untuk membangun dialog sosial yang lebih intens dan hubungan industrial yang kondusif. Pekan lalu, Kemenaker bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan pimpinan konfederasi dan federasi serikat buruh menandatangani Deklarasi Gotong Royong.
"Ada enam butir komitmen yang pada intinya mengarah pada penyelesaian pertikaian industrial melalui dialog yang sehat dan kompromi yang adil secara bipartit. ”Pemutusan hubungan kerja (PHK) harus jadi jalan terakhir setelah menempuh berbagai proses efisiensi,” kata Ida.
Stimulus dan insentif
Di tengah situasi yang sulit ini, Ida menambahkan, petugas mediator dan pengawas ketenagakerjaan di tingkat daerah akan dikerahkan untuk membantu membangun hubungan industrial yang kondusif.
Pemerintah juga menyiapkan sejumlah program untuk memitigasi dampak Covid-19 pada sektor ketenagakerjaan. Total anggaran yang dialokasikan untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) tahun ini sebesar Rp 744,75 triliun.
Ida mengatakan, anggaran itu banyak dialokasikan untuk percepatan vaksinasi ke pekerja/buruh. Pemerintah juga memperpanjang berbagai stimulus untuk insentif dunia usaha, seperti insentif pajak, keringanan biaya abonemen listrik bagi pelanggan bisnis dan industri, serta bantuan produktif untuk usaha mikro.
Terbaru, pemerintah juga menghidupkan lagi pemberian bantuan subsidi upah (BSU) bagi pekerja yang terdampak pengetatan PPKM. Subsidi itu diberikan kepada pekerja dengan upah Rp 3,5 juta di wilayah PPKM level 3 dan 4. Pemberian subsidi upah itu diharapkan bisa meredam potensi PHK, menjaga napas dunia usaha, dan menjaga daya beli pekerja.
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menilai pandemi ini patut dijadikan pelajaran. Menurut Bob, pemerintah masih sulit mengakses sebagian besar warga yang bergerak di sektor informal serta 99 persen pengusaha Indonesia yang berasal dari skala mikro, kecil, menengah (UMKM). ”Untuk memberi bantuan sosial saja kita sulit,” kata Bob.
Menurut Bob, saat mendesain program bantuan sosial dan memberi peringatan, pemerintah harus menyadari bahwa mayoritas pengusaha bergerak di skala mikro-kecil, dengan tingkat kesejahteraan yang berbeda tipis dari pekerjanya.
”Dari imbauan pemerintah, kesannya pekerja dan pengusaha itu seperti bumi dan langit. Semua dibebankan kepada pengusaha. Pemahaman tentang sektor informal dan UMKM ini yang harus kita perbaiki,” tutur Bob.
Menurut J Kristiadi, kesulitan negara menangani pandemi berakar dari kelemahan sistem yang menahun. Perubahan politik pascareformasi pada masa lampau yang berlangsung terlalu cepat dan kurang matang menghasilkan sistem yang kini goyah diuji krisis.
”Sebagai akibatnya, kini para aktor nonnegara harus turun tangan mengisi kelemahan sistem yang kacau itu,” ujarnya.
"Hal itu tampak dari semangat gerakan solidaritas sosial yang tecermin di kalangan warga dan elemen masyarakat sipil untuk memberikan bantuan kepada warga yang terpapar Covid-19 atau terdampak pandemi. ”Artinya, daya lenting kita sebagai bangsa masih kokoh,” kata Kristiadi.
Sementara itu, Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk Silmy Karim menilai pemerintah sudah bekerja keras untuk mengatasi pandemi. Namun, kondisi Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar membawa tantangan tersendiri. ”Kami harap vaksinasi yang lebih cepat bisa menjadi harapan bagi dunia usaha dan seluruh masyarakat,” kata Silmy.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Anton J Supit mengatakan, saat ini Indonesia memang harus fokus dengan pandemi. ”Namun, jangan sampai pandemi selesai, kita underproduction. Harus ada yang berpikir bagaimana setelah pandemi selesai,” ujarnya.