Problem masih maraknya angkutan darat ilegal atau kerap dikenal dengan ”travel” gelap dinilai membutuhkan solusi efektif. Sejumlah kalangan menilai perlunya revisi UU Nomor 22 Tahun 2009 agar regulasi lebih bertaji.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya angkutan darat ilegal atau kerap dikenal sebagai travel gelap, terutama menjelang hari raya di masa pandemi Covid-19, membutuhkan solusi efektif. Pengenaan denda administratif tidak menimbulkan efek jera dan tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Sebab, mereka bisa melanggar lagi.
Di satu sisi, keberadaan angkutan ilegal masih kerap dilindungi oknum petugas. Dalam proses penertibannya sering terjadi konflik di lapangan. Di lain sisi, gagasan melegalkan angkutan ilegal tidak sepenuhnya tepat sebagai solusi jangka panjang.
Berbagai solusi atas problem angkutan ilegal mengemuka dalam diskusi grup terfokus bertajuk ”Penegakan Hukum Angkutan Ilegal dalam Rangka Perlindungan Keselamatan Pengguna dan Keadilan Berusaha Angkutan Umum” di Jakarta, Jumat (23/7/2021).
Para peserta diskusi merupakan perwakilan pemerintah, DPR, penegak hukum, praktisi angkutan umum, dan pengamat transportasi yang memahami masalah maraknya angkutan ilegal.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengindentifikasi angkutan ilegal. Pertama, angkutan dengan kendaraan berpelat kuning dan beroperasi tanpa perizinan lengkap. Situasi itu biasanya terjadi karena armada angkutan umum dijual ke perorangan dan dioperasikan tanpa memahami regulasi operasionalnya.
Kedua, angkutan dengan mobil berpelat hitam yang transaksi operasionalnya menggunakan aplikasi atau gawai. Pemanfaatan angkutan ini tidak dijamin keselamatannya karena biasanya tidak memiliki perizinan kir kelaikan jalan yang dilakukan berkala, bahkan tidak memiliki kepastian tarif karena dilakukan sebatas kesepakatan antara pemilik kendaraan dan penumpang.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organda Adrianto Djokosoetono mengatakan, saat pandemi Covid-19, pilihan masyarakat jatuh pada angkutan ilegal. Sebab, angkutan ilegal sanggup melintasi jalur-jalur yang tidak terdapat penyekatan, sanggup mencari waktu tepat melewati titik-titik penyekatan, bahkan mereka sanggup mengantar sampai tujuan tanpa surat bebas Covid-19, baik reaksi berantai polimerase (PCR)maupun antigen.
Solusi
Direktur Utama PT Sumber Alam Ekspress Anthony Steven Hambali menyatakan, keberadaan angkutan ilegal menimbulkan ketidakadilan regulasi. Sebab, selama ini pengusaha angkutan yang resmi harus memenuhi ketentuan regulasi. Masalah lain adalah persaingan harga jadi tidak sehat, pergeseran moda transportasi masyarakat, dan jumlah penumpang tergerus di masa normal baru.
Selain itu, timbul kerugian ekonomi bagi pengusaha angkutan resmi karena mereka harus menanggung beban operasional, pajak, serta angsuran kredit kendaraan. Penyedia angkutan ilegal juga tidak dapat menjamin keamanan konsumen karena sisi perawatan tidak terjamin serta tidak ada jaminan uji berkala dan asuransi kendaraan.
Terkait sejumlah persoalan itu, solusi yang diusulkan antara lain pendataan pelaku angkutan ilegal melalui satuan tugas yang bekerja sama dengan operator angkutan daerah dan divisi cybercrime Polri. Selain itu, perangkat hukum yang lebih keras dan aparat lebih banyak diperlukan untuk menindak angkutan ilegal. Guna melaksanakannya, perluasan fungsi aparat perhubungan yang membantu polisi diperlukan dalam penindakan di lapangan.
Selain itu, Anthony mengusulkan penertiban angkutan ilegal. Bagi pelanggar, kendaraan bisa dilepas kalau pemiliknya sudah mengurus izin angkutan umum sehingga pemerintah memiliki data pelaku angkutan ini.
”Mengapa harus diurus? Tidak ada jaminan bahwa, ketika dilepas kendaraannya, mereka tidak menarik penumpang lagi. Contoh paling ekstrem, saat Lebaran, mereka yang ditangkap lalu dipamerkan di Polda Metro Jaya. Namun, sesuai undang-undang, dendanya cuma Rp 500.000,” kata Anthony.
Dia membandingkan peristiwa Lebaran 2020. Tarif angkutan ilegal mencapai Rp 700.000-Rp 1 juta per orang. ”Bayangkan, minibus kecil yang mengangkut enam penumpang, sekali perjalanan bisa mengantongi minimal Rp 4,2 juta. Jadi, membayar denda Rp 500.000 sangat kecil dan tidak menimbulkan efek jera. Karena itu, perangkat hukum semestinya diperbaiki,” ujarnya.
Secara regulasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dinilai perlu direvisi, yakni agar instansi pemerintah yang mengeluarkan perizinan dapat melakukan penindakan hukum di lapangan. ”Revisi Undang-Undang No 22/2009 perlu dilakukan agar pelaku, pemilik, dan pengguna angkutan ilegal mendapatkan sanksi pidana,” ujar Anthony.
Oknum nakal
Direktur Lalu Lintas Jalan Kementerian Perhubungan Suharto mengatakan, kemitraan yang baik antara Organda dan pemerintah saat ini diciderai oleh oknum nakal yang memanfaatkan maraknya angkutan ilegal.
”Terhadap gagasan melegalkan angkutan ilegal, saya tidak sependapat, tetapi kami setuju bahwa pemerintah harus mengakomodir keinginan masyarakat. Apa, sih, yang diinginkan masyarakat? Pelayanan (angkutan) yang aman, nyaman, tentunya murah, dan selamat. Jangan sampai di balik dengan sinis, mau selamat, kok, bayarnya murah?” kata Suharto.
Menurut dia, keinginan meningkatkan pelayanan angkutan penumpang mesti ditangkap pemerintah dengan melakukan intervensi, entah berbentuk subsidi, public service obligation, stimulan, atau kemudahan-kemudahan lain yang bisa dimanfaatkan operator angkutan.
Saat ini, seluruh pihak bisa berkaca pada regulasi yang ada. Mulai UU No 3/1965, UU No 14/1992, hingga UU No 22/2009 yang mengamanatkan bahwa angkutan umum adalah tanggung jawab pemerintah. Beberapa tahun ini, pemerintah sudah mengintervensi pelayanan angkutan umum meskipun baru sebatas angkutan perkotaan.