Sang Pemikir Ekonomi Christianto Wibisono Berpulang
Sang pemikir ekonomi Christianto Wibisono berpulang di RS Medistra, Jakarta, Kamis (22/7/2021) pukul 17.05 karena sakit. Christianto, yang memiliki nama lahir Oey Kian Kok, meninggal dunia dalam usia 76 tahun.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sang pemikir ekonomi Christianto Wibisono berpulang di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Kamis (22/7/2021) pukul 17.05 karena sakit. Christianto, yang memiliki nama lahir Oey Kian Kok, meninggal dunia dalam usia 76 tahun.
Andrie Wongso, kerabat dekat Christianto Wibisono, yang pertama kali menyebarkan kabar duka ini di grup Whatsapp Synergy, menyebutkan, kepergian ini tepat sehari menjelang ulang tahun emas pernikahan Christianto Wibisono dan istrinya.
Padahal, kata Andrie, tiga hari lalu, Christianto yang dirawat di ruang ICU RS Medistra mengaku sudah merasa lebih enak kondisi badannya. ”Adalah keinginannya agar Indonesia bersatu dalam iman, harapan, dan cinta, dilahirkan kembali lebih kuat dari sebelumnya,” tulis Andrie.
Mari Elka Pangestu, Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan untuk Bank Dunia, yang mendengar kabar duka ini mengaku sedih. Christianto adalah kawan seperjuangan.
”Kami bersama beliau sewaktu kerusuhan Mei 1998. Saat itu, kami sedang seminar di Universitas Tarumanegara, kemudian menyaksikan kejadian yang terjadi di depan Universitas Trisakti dari kaca jendela,” ujar Mari.
Pengusaha senior Sofjan Wanandi benar-benar merasakan kehilangan seorang Christianto, kawan diskusi yang begitu kreatif. Penulis kreatif yang tidak pernah berhenti mengkritik, tetapi sangat terbuka untuk berdialog atau berargumentasi. Pengalaman hidupnya yang sangat terkait kerusuhan Mei 1998 membuatnya begitu meyakini tentang nilai-nilai Pancasila.
”Baru beberapa hari lalu dia sempat omong-omong tentang bukunya, berjudul Kencan Dinasti Menteng. Katanya, buku dalam serial ’anti-memoir’ ini perlu dibaca dengan tekun agar tidak mudah teralihkan perhatian oleh orisinalitas judulnya yang tertuju untuk memikat selera pembaca tua muda kontemporer,” ujar Sofjan.
Sofjan mengatakan, banyak sekali komentar Christianto terhadap situasi dan pernyataan orang lain yang selalu dia tanggapi. Orangnya begitu aktif dan kreatif. Bahkan, kalau ada komentar berbau rasial, dia selalu tanpa sungkan melakukan counter. Pengalaman pahitnya pada peristiwa Mei 1998 menyebabkan dia terpaksa meninggalkan Tanah Air dan bermukim di Amerika Serikat.
Menteri Perindustrian periode 2009-2014 MS Hidayat menyebutkan kedekatan dirinya sebagai teman lama dengan Christianto Wibisono. Dirinya pernah bertemu Christianto di Amerika Serikat karena sejak kerusuhan di Jakarta tahun 1998, mereka sekeluarga berpindah ke AS.
”Saya ajak dia balik ke Jakarta karena dalam percakapannya, saya merasakan betul betapa dia cinta Indonesia dan pengin pulang kampung,” ujar Hidayat.
Chris, begitu disapa oleh Hidayat, menemani dirinya ketika diberi amanah menjadi Ketua Umum Kadin Indonesia tahun 2003. Christianto pun pernah duduk bersama sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
”Diskusi dengan Chris enggak pernah ada habisnya. Ingatannya yang tajam tentang berbagai peristiwa politik dan sosial di Indonesia ataupun belahan dunia mencerahkan pikiran saya. Dengan pemikirannya, dia suka menjelaskan konsep tentang menyelesaikan masalah rasial dan punya kecocokan dengan saya tentang menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai syarat utama menuju cita-cita kerukunan, persatuan, dan kesejahteraan bangsa kita,” ujar Hidayat yang merasa kehilangan sahabat.
Dalam catatan Kompas tahun 2019, Christianto Wibisono telah mengingatkan dalam bukunya berjudul Kencan dengan Karma, yang salah satunya mengulas inefisiensi birokrasi pemerintahan Indonesia bakal membebani pertumbuhan ekonomi. Jika tidak terbebani hal tersebut, perekonomian Indonesia dapat tumbuh 7 persen.
Buku Kencan dengan Karma diluncurkan bertepatan dengan ulang tahun ke-74 Christianto. Dalam bukunya, Christianto mengutip angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia, yang saat itu berkisar 6,3-6,4 poin. Seharusnya, ICOR Indonesia lebih rendah dari 2,3 poin. Tingginya ICOR Indonesia merupakan imbas inefisiensi birokrasi.
Menurut Christianto, salah satu sumber inefisiensi adalah mahar elite politik. Salah satu indikator mahar politik berpengaruh pada inefisiensi birokrasi ialah tidak rampingnya susunan kabinet di Indonesia.