Bentuk Holding Ultra Mikro, BRI Terbitkan Saham Baru
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menyetujui aksi korporasi berupa ”right issue” atau penerbitan saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD).
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menyetujui aksi korporasi berupa right issue atau penerbitan saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Langkah ini merupakan bagian dari rencana pembentukan Holding Ultra Mikro yang menyatukan BRI, PT Pegadaian, dan PT Permodalan Madani Nasional (PMN), dengan BRI sebagai induknya.
Direktur Utama BRI Sunarso menjelaskan, dalam right issue ini, pemerintah akan menyerap sebagian saham baru yang diterbitkan BRI dengan cara Inbreng berupa semua saham Seri B milik pemerintah di Pegadaian dan PNM. Inbreng adalah istilah dari bahasa Belanda yang berarti penyetoran modal yang dilakukan bukan dalam bentuk uang tunai, melainkan dalam bentuk barang atau harta.
Setelah transaksi, BRI akan memililiki 99,99 persen saham Pegadaian dan PNM. Adapun pemerintah akan tetap memiliki satu lembar saham Seri A Dwiwarna pada Pegadaian dan PNM. Di sisi lain, kepemilikan saham pemerintah di BRI akan meningkat.
”Perseroan merencanakan penerbitan sebanyak-banyaknya 28.677.086.000 saham Seri B dengan nilai nominal sebesar Rp 50 per lembar saham. Adapun jumlah lembar saham dan harga pelaksanaan akan disampaikan kemudian,” ujar Sunarso dalam konferensi pers virtual hasil RUPSLB BRI, Kamis (22/7/2021).
Sunarso menjelaskan, selain untuk pembentukan Holding Ultra Mikro yang dilakukan melalui penyertaan modal BRI di Pegadaian dan PNM, sebagai hasil dari inbreng pemerintah, sebagian dana right issue akan digunakan sebagai modal kerja BRI untuk pengembangan ekosistem ultra mikro serta bisnis mikro dan kecil.
Aksi korporasi ini membuat aset BRI meningkat menjadi Rp 1.515 triliun dan total liabilitas menjadi Rp 1.289 triliun.
Sunarso menjelaskan, pembentukan Holding Ultra Mikro ini sejalan dengan keinginan BRI untuk menjadi lembaga keuangan yang inklusif sambil mencari sumber-sumber pertumbuhan baru yang selaras dengan aspirasi perseroan.
Mengutip data Kementerian Koperasi dan UKM dan Asian Development Bank, pada 2018 terdapat 45 juta usaha ultra mikro yang membutuhkan pendanaan. Namun, hanya 15 juta usaha ultra mikro yang tersentuh pendanaan dari lembaga keuangan formal.
”Dengan menjangkau potensi ultra mikro, aksesibilitas layanan keuangan di segmen tersebut dapat dioptimalkan,” ujar Sunarso.
Sementara itu, meskipun kinerja kredit terkontraksi, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) tetap mencatat pertumbuhan pendapatan dan laba pada semester I-2021. Perseroan bisa menekan biaya bunga yang sempat melonjak pada semester pertama tahun lalu akibat gejolak ekonomi di awal pandemi.
Per semester I-2021, posisi kredit BCA sebesar Rp 593,6 triliun, terkontraksi minus 0,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Namun, dibandingkan dengan awal tahun, pertumbuhan kredit BCA sudah tumbuh positif sebesar 0,8 persen.
Demikian disampaikan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja pada konferensi pers virtual paparan kinerja semester 1-2021 BCA, Kamis (22/7/2021).
Portofolio kredit BCA terdiri dari kredit korporasi sebesar 43,8 persen, kredit komersial dan UKM sebesar 30,7 persen, kredit konsumer sebesar 24,4 persen, dan sisanya kredit syariah. Kredit korporasi dan syariah masing-masing tumbuh 1 persen dan 3,5 persen. Namun, kredit komersial dan UKM menurun 1 persen, begitu pula dengan kredit konsumer yang turun 1,7 persen.
BCA mencatatkan pendapatan operasional sebesar Rp 38,5 triliun atau bertumbuh 2,4 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Pendapatan ini ditopang dari pendapatan bunga bersih yang bertumbuh 3,8 persen secara tahunan pada angka Rp 28,3 triliun. Selain itu, terjadi peningkatan pendapatan fee sebesar 7,5 persen secara tahunan.
Hal ini membuat BCA mencatat pertumbuhan laba bersih 18,1 persen secara tahunan menjadi Rp 14,5 triliun.
Jahja menjelaskan, pertumbuhan laba per Semester I-2021 juga disebabkan performa tahun lalu yang relatif rendah.
Tak hanya itu, untuk berjaga-jaga, perusahaan juga meningkatkan pencadangannya sehingga memperkecil laba. Biaya pencandangan pada triwulan kedua 2020 lebih besar 32,4 persen dibandingkan dengan triwulan kedua tahun ini.