Imbal Hasil Pengelolaan Dana Haji Masih Bisa Dioptimalkan
Pemerintah mendorong agar Badan Pengelola Keuangan Haji atau BPKH bisa menghasilkan imbal hasil yang lebih optimal dalam pengelolaan dana haji.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong agar Badan Pengelola Keuangan Haji atau BPKH bisa menghasilkan imbal hasil yang lebih optimal dalam pengelolaan dana haji. Hal ini diperlukan agar kualitas penyelenggaraan ibadah haji ke depan lebih baik lagi.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto menyampaikan nilai manfaat atau imbal hasil dari dana haji masih memiliki ruang untuk ditingkatkan.
”BPKH harus memaksimalkan nilai manfaat yang dihasilkan dari setoran dana haji melalui kerja sama dengan pihak dalam negeri maupun luar negeri,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Pengelolaan Dana Haji 2021” yang berlangsung secara virtual, Senin (19/7/2021).
BPKH harus memaksimalkan nilai manfaat yang dihasilkan dari setoran dana haji, baik bekerja sama dengan pihak dalam negeri maupun luar negeri.
Primanto menyebutkan, biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) pada 2017, 2018, dan 2019 tercatat meningkat setiap tahunnya mulai dari Rp 61,78 juta per orang menjadi Rp 66,62 juta per orang, kemudian Rp 70,14 juta per orang. Biaya keberangkatan haji mengalami sedikit penurunan pada 2020 menjadi Rp 69,17 juta per orang.
Di sisi lain, nilai pendaftaran ibadah haji cenderung tidak mengalami perubahan signifikan, yakni pada 2017 sebesar Rp 34,89 juta, kemudian meningkat menjadi Rp 35,23 juta mulai 2018. Hal tersebutlah yang menurut Primanto membuat nilai imbal hasil dari pengelolaan dana haji perlu terus ditingkatkan untuk menutup peningkatan BPIH.
”BPKH wajib mengelola keuangan haji secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan jemaah haji dan kemaslahatan umat Islam,” ujarnya.
Dalam pengembangan dana haji, lanjut Primanto, BPKH harus menempatkan dana umat ke dalam instrumen investasi syariah secara hati-hati, aman, dan bermanfaat. Penempatan dana haji pada perbankan syariah memberi dampak positif. Pasalnya, dana yang besar tersebut dapat disalurkan ke sektor riil.
Namun, karena ukurannya sangat jumbo, perbankan syariah memiliki keterbatasan untuk dapat mengelola semua dana haji yang dikelola BPKH. Oleh karena itu, alternatif yang paling baik adalah menempatkannya pada sukuk negara.
Inisiasi penempatan dana haji pada sukuk negara pertama kali dilakukan pada 2009 melalui nota kesepahaman antara menteri keuangan dan menteri agama pada 22 April 2009. Isinya adalah menempatkan dana haji dan dana abadi umat ke surat berharga syariah negara (SBSN).
Total penempatan dana haji melalui SBSN per Juli 2021 mencapai Rp 89,92 triliun. Penempatan dana haji tersebut, tambah Primanto, untuk mengurangi risiko gagal bayar, memberikan alternatif investasi yang aman, dan memberikan imbal hasil kompetitif.
”Selain mendukung pengembangan SBSN, penempatan dana haji pada SBSN juga mempermudah pengelolaan portofolio dan membantu dalam transparansi penempatan dana haji yang selama ini sering mendapat sorotan dari masyarakat,” kata Primanto.
Menurut laporan keuangan BPKH yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), saldo dana haji per 2020 tercatat Rp 144,91 triliun, naik 16,56 persen dari Rp 124,32 triliun pada 2019. Sementara nilai manfaat naik 6,43 persen menjadi Rp 7,43 triliun dari Rp 7,37 triliun pada 2019.
Rata-rata imbal hasil instrumen investasi menurun dari 6,3 persen pada 2019 menjadi 5,4 persen pada 2020 karena pandemi Covid-19. Sesuai amanat undang-undang, penempatan pada 2020 di perbankan harus dikurangi menjadi 30 persen. Pada 2020, penempatan di perbankan tercatat Rp 45,33 triliun atau 31,3 persen dan pada instrumen investasi sebesar Rp 99,58 triliun atau 68,7 persen.
Rinciannya, investasi pada surat berharga sebesar 35 persen, emas 5 persen, investasi langsung 20 persen, dan investasi lainnya 10 persen. Penempatan pada bank syariah sebesar Rp 45,33 triliun, ditempatkan dalam instrumen deposito dan giro. Investasi jangka pendek tercatat Rp 8,86 triliun dan jangka panjang Rp 90,71 triliun, yang ditempatkan pada instrumen SBSN, SBSN dollar AS, sukuk korporasi, dan investasi lainnya.
Kepala BPKH Anggito Abimanyu mengatakan, per Juli 2021, nilai dana haji yang dikelola BPKH mencapai Rp 150 triliun dengan nilai manfaat atau imbal hasil mencapai Rp 8 triliun per tahun. Rasio solvabilitas dianggap sudah cukup kuat dan dana likuid BPKH dirasa cukup untuk memenuhi 10 musim penyelenggaraan haji.
”Dalam setahun penyelenggaraan ibadah haji dibutuhkan dana sekitar Rp 15 triliun. Kebutuhan tersebut setara dengan dua tahun pendapatan atau imbal hasil yang bisa kami dapat dari pengelolaan dana haji,” ujarnya.
Sejak 2016, lanjut Anggito, tak ada lagi talangan dana haji dari pemerintah. Saat ini, BPKH tengah berupaya memperkuat kelembagaan dan menjaga pengelolaan dana secara aman dan hati-hati. Keberlanjutan pengelolaan dana haji juga menjadi pekerjaan rumah bagi BPKH.
BPKH menempatkan 70 persen dana haji pada instrumen investasi yang terdiri dari SBSN, sukuk korporasi, dan reksa dana syariah. Di luar itu, BPKH juga menempatkan 30 persen dana haji di bank syariah.
Anggito mengatakan, dalam tiga tahun terakhir BPKH telah mengelola dana haji secara baik dan pruden. Hal itu dibuktikan dengan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK.
”Kalau BPKH mengejar imbal hasil yang lebih tinggi, pasti risiko lebih besar. Kami tidak ingin mengelola dana ini kemudian menimbulkan masalah. Tidak boleh ada dana hilang, maka prinsip keamanan kami jaga,” kata Anggito.