Mengenalkan Bumbu Lewat ”Indonesia Spice Up The World”
Pemerintah menggelar ”Indonesia Spice Up The World” untuk memperluas pemasaran produk bumbu atau pangan olahan dan rempah Indonesia di luar negeri. Diaspora Indonesia digandeng untuk membantu implementasinya.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama lima tahun terakhir, nilai ekspor bumbu rempah olahan dan komoditas rempah segar tumbuh rata-rata 2,95 persen per tahun. Pada 2020, nilai ekspornya tercatat mencapai 1,02 miliar dollar AS dan ditargetkan pemerintah bisa meningkat dua kali lipat pada akhir 2024.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno, dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Senin (19/7/2021), menyatakan, salah satu upaya strategis mencapai target itu melalui program Indonesia Spice Up The World (ISUTW). Oleh karena itu, dia memastikan bahwa ISUTW merupakan program yang bersifat jangka panjang.
Program ISUTW digagas Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dengan melibatkan lintas kementerian/lembaga. Tujuan utamanya memperluas pemasaran produk bumbu/pangan olahan dan rempah Indonesia, terutama di Afrika, Australia, dan negara potensial lain.
Selain itu, restoran Indonesia di luar negeri juga dikembangkan sebagai bagian dari gastrodiplomasi restoran. Adapun tujuan terakhirnya adalah menguatkan kuliner di dalam negeri atau destinasi gastronomi.
Komoditas rempah segar prioritas ekspor meliputi lada, pala, cengkeh, jahe, kayu manis, dan vanila. Bumbu yang akan dipromosikan adalah bumbu rendang, nasi goreng, sate, soto, gado-gado, serta pendukung lainnya, seperti kecap manis dan kacang tanah.
Bumbu yang akan dipromosikan adalah bumbu rendang, nasi goreng, sate, soto, gado-gado, serta pendukung lainnya, seperti kecap manis dan kacang tanah.
Berdasarkan paparan Kemeparekraf/Baparekraf, program ISUTW terdiri dari empat subprogram. Subprogram pertama adalah rempah, produk bumbu, dan pangan olahan yang diturunkan ke pengembangan produksi sampai akses pembiayaan. Subprogram kedua menyasar pengembangan restoran Indonesia, seperti desain ulang dan promosi.
Ketiga, promosi kuliner mencakup festival, forum konferensi, dan konten digital. Adapun subprogram keempat berupa pengembangan destinasi kuliner.
”Pemerintah menggandeng diaspora Indonesia untuk implementasi program ISUTW. ISUTW juga bersifat program lintas kementerian/lembaga sehingga nantinya kementerian/lembaga yang mengurus perdagangan internasional ikut menguatkan jejaring importir bumbu rempah olahan ataupun komoditas rempah segar Indonesia,” ujar Sandiaga.
Badan usaha milik negara akan dilibatkan dalam program ISUTW. Mereka, antara lain, akan berperan untuk memudahkan logistik dan pemberian pendanaan bagi pelaku industri bumbu rempah olahan serta komoditas rempah segar.
Menurut Sandiaga, pekan ini pameran program ISUTW di New York, Amerika Serikat, tetap berjalan. Delegasi Indonesia tetap berangkat terlepas sudah marak kritik yang dialamatkan ke Kemenparekraf/Baparekraf karena dianggap tidak peduli krisis pandemi Covid-19. Pelaku industri bumbu rempah olahan dan komoditas rempah segar di Tanah Air terdampak pandemi Covid-19 sehingga pameran itu diharapkan bisa membantu memulihkan usaha mereka.
”Perekonomian Amerika Serikat berangsur-angsur pulih karena vaksinasi Covid-19 telah merata. Amerika Serikat merupakan pasar 20-30 persen bumbu rempah olahan dan komoditas rempah segar dari Indonesia,” ujarnya.
Membangun permintaan produk bumbu rempah olahan dan komoditas rempah segar menjadi kritikal.
Co-Founder Museum Boga, Manpalagupta Sitorus, secara terpisah, berpendapat, membangun permintaan produk bumbu rempah olahan dan komoditas rempah segar menjadi penting. Pasalnya, permintaan produk itu beserta makanannya tidak bisa disamakan pengalaman Indonesia dengan negara lain.
Permintaan bumbu rempah olahan dan komoditas rempah segar di Thailand, misalnya, sudah kuat, bahkan sampai suplainya. Hal ini karena terbentuk oleh migrasi. ”Indonesia harus berupaya melakukan promosi dan outreach yang berkesinambungan agar pemintaan terbentuk dan terjaga,” ujarnya.
Dua kegiatan pemasaran itu harus diikuti pengadaan akses terhadap produk. Sebab, jika promo dan upaya menjangkau konsumen sudah berhasil membangun permintaan, tetapi tidak ada akses ke produk, upaya pemasaran yang dilakukan oleh Indonesia tetap sia-sia.
Salah satu upaya strategis pemasaran sekaligus menyediakan akses adalah mendorong pembukaan restoran atau gerai masakan Indonesia secara masif di beberapa kota di negara lain yang dianggap sebagai rujukan tren internasional. Hanya saja, dia mengakui, membuka tempat makan di luar negeri bukan hal mudah.
”Salah satu taktik yang bisa dijajaki adalah dengan berkolaborasi dan pemerintah mendukung merek-merek tempat makan dalam negeri yang memang sudah punya sistem dan secara bisnis terbukti,” imbuhnya.
Obyektif
Ketua Yayasan Negeri Rempah Kumoratih Kushardjanto berpendapat, tujuan obyektif program ISUTW perlu lebih diperjelas. Pasalnya, publik bisa mengira program ISUTW bertujuan pencitraan komersial, tetapi turut membawa tujuan diseminasi gagasan diplomasi bahwa Indonesia kaya bumbu rempah olahan dan komoditas rempah segar. Sebab, ada pula program strategis kementerian lain menyangkut jalur rempah yang bersifat diplomasi budaya jangka panjang.
Menurut dia, setiap negara pasar rempah memiliki karakter berbeda-beda. Di Eropa, misalnya, mereka cenderung suka meramu rempah. Karakteristik ini semestinya dipahami pemerintah agar tidak asal promosi dan melakukan pencitraan.
Hal lain yang mesti diperhatikan pemerintah, menurut Kumoratif, ialah dampak nyata program promosi kepada pelaku industri rempah lokal secara keseluruhan. Hal seperti ini tak kalah penting jadi perhatian pemerintah dibanding semata-mata fokus mengejar promosi agar nilai ekspor naik.