Agar stok vaksin Sinopharm yang ada terserap lebih banyak oleh perusahaan kecil dan menengah, pemerintah dinilai perlu menurunkan harga vaksin. Opsi kedua adalah menggunakannya untuk program vaksinasi gratis pemerintah.
Oleh
AGNES THEODORA/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menuai kritik dari berbagai pihak, pemerintah resmi mencabut rencana vaksinasi gotong royong individu berbayar. Stok vaksin Sinopharm yang telah dipesan perlu diserap, termasuk dengan menurunkan harga vaksin bagi perusahaan skala kecil-menengah, atau dibeli oleh pemerintah untuk menambah pasokan vaksin bagi program pemerintah.
Pengumuman pembatalan vaksin gotong royong individu berbayar disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Jumat (16/7/2021), di Jakarta. Menurut dia, mekanisme vaksinasi gotong royong tetap melalui perusahaan dan perusahaan yang akan mengganti biaya vaksinasi bagi seluruh karyawan.
”Setelah mendapatkan masukan dan respons dari masyarakat, Presiden Joko Widodo mengarahkan dengan tegas bahwa vaksin berbayar yang direncanakan disalurkan melalui Kimia Farma dibatalkan dan dicabut. Oleh karena itu, semua vaksinasi tetap dengan mekanisme digratiskan seperti disampaikan sebelumnya oleh Presiden,” kata Pramono.
Presiden Joko Widodo, menurut Pramono, juga menegaskan bahwa dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat harus ada sense of crisis (kesadaran terhadap krisis) dari seluruh kementerian, lembaga, dan para pemimpin. Oleh karena itu, seluruh menteri dan kepala lembaga dilarang untuk bepergian ke luar negeri.
Presiden Joko Widodo, menurut Pramono, juga menegaskan bahwa dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat harus ada sense of crisis (kesadaran terhadap krisis) dari seluruh kementerian, lembaga, dan para pemimpin.
Menanggapi keputusan pemerintah tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani mengatakan, pihaknya akan menyisir ulang perusahaan yang sudah mengantre untuk mengikuti program vaksinasi gotong royong. Pasalnya, ada beberapa perusahaan yang sudah memutuskan mundur karena pekerjanya telanjur mendapat vaksin gratis dari pemerintah.
Menurut dia, hal itu (penyisiran ulang) akan membutuhkan waktu. Selain memverifikasi daftar peserta vaksinasi gotong royong Kadin, pekerja yang sudah terdaftar di Kadin tetapi telanjur terdaftar gratis di program pemerintah juga harus diverifikasi. Sebab, tidak boleh ada pekerja yang terdaftar ganda di program Kadin sekaligus program vaksinasi oleh pemerintah.
”Jadi, memang akan ada kendala. Kami harus memverifikasi ulang perusahaan. Apakah jadi mau ikut vaksinasi gotong royong Kadin atau sudah dapat yang gratis? Dari situ baru bisa dilihat jumlah pasti perusahaan yang akan menyerap stok vaksin yang ada,” ucap Shinta.
Meski demikian, Shinta meyakini stok vaksin Sinopharm yang ada akan tetap terserap. Kadin pun bakal memperbanyak sentra vaksinasi massal untuk mempermudah perusahaan yang mengakses layanan vaksinasi tersebut.
”Perusahaan di Indonesia ada banyak dan belum tentu pekerjanya bisa mendapat akses ke program vaksinasi gratis. Jadi, kami yakin tentu masih ada perusahaan yang mau mengikuti program vaksinasi gotong royong oleh Kadin,” ujar Shinta.
Kadin pun bakal memperbanyak sentra vaksinasi massal untuk mempermudah perusahaan yang mengakses layanan vaksinasi tersebut.
Jika stok vaksin yang ada ternyata tidak terserap, menurut Shinta, itu menjadi wewenang pemerintah, Biofarma, dan Kimia Farma. Stok vaksin yang ada dapat digunakan untuk penyuntikan dosis tambahan (booster) atau bisa juga dijadikan program vaksinasi gratis oleh pemerintah. Adapun total stok vaksin Sinopharm yang ada diperkirakan 15 juta dosis.
”Sejauh ini, vaksin gotong royong itu masih diperuntukkan bagi perusahaan. Tetapi, ke depan, silakan pemerintah yang mengatur strateginya, mau dijadikan vaksin gratis atau bagaimana mengingat masih banyak masyarakat yang belum divaksin,” katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, agar stok vaksin Sinopharm yang ada terserap, pemerintah perlu menurunkan harga vaksin. Tarif Rp 879.140 untuk dua kali dosis dinilai terlalu mahal sehingga membuat banyak perusahaan, khususnya yang berskala kecil-menengah dan padat karya, sulit mengaksesnya.
”Supaya terserap, turunkan harganya. Sebab, kalau harganya masih seperti itu, kemungkinan perusahaan tetap tidak mau. Kalau tidak terserap juga, baru jadikan stok vaksin untuk program gratis pemerintah,” ujarnya.