Ada peran seorang ”technical service” yang melariskan penjualan antibiotik kepada peternak. Berbagai cara mereka lakukan, mulai dari memasarkan produk di platform e-dagang hingga seminar di hotel berbintang.
Di balik maraknya praktik pemberian antibiotik di peternakan, ada technical service atau TS yang berperan melanggengkan penjualan antibiotik kepada peternak. Berbagai cara mereka lakukan demi mengejar target penjualan. Mulai dari memasarkan produk di platform e-dagang hingga menggaet peminat lewat seminar di hotel berbintang.
Sebagian TS memburu pelanggan lewat jejaring platform e-dagang. Kompas menemui seorang TS berinisial Z setelah menanyakan stok antibiotik di lapak daring pada pekan kedua Mei 2021. Z menjual antibiotik colistin yang sebenarnya sudah dilarang pemerintah sejak 2019, tetapi tetap beredar bebas lewat situs jual beli daring.
Lewat kolom percakapan situs jual beli, Z meyakinkan produk yang dia jual aman untuk mempercepat pertumbuhan ayam broiler. Z juga mengaku masih punya stok 200 kilogram colistin di gudangnya di bilangan Jakarta Barat. Produk ini adalah bahan baku colistin yang dikemas ulang dari perusahaan besar di Surabaya, Jawa Timur.
Transaksi dengan Z lalu berlanjut pada tahapan cash on delivery (COD). Z datang membawa dua paket colistin yang masing-masing seberat 1 kilogram. Keduanya berbungkus kemasan plastik yang ditempeli label kertas bertuliskan merek Colmix. Tiap kemasan yang dihargai Rp 75.000 ini tidak mencantumkan nama produsen ataupun nomor izin edar.
Memang kadang-kadang dilematik. TS dituntut memenuhi target penjualan, tetapi harus tetap mengedukasi peternak agar tidak pakai obat sembarangan. Ada saja mereka yang akhirnya terlalu berorientasi target.
Seusai transaksi, Z juga menawarkan jasa asistensi pengobatan. Dia bersedia dihubungi kapan pun dengan harapan bisa menjual lebih banyak antibiotik hewan. Z sempat menawarkan produk lain dengan kegunaan serupa, misalnya, bacitracin methylene disalicylate (BMD) yang disebutnya sebagai alternatif colistin yang mulai sulit dicari.
”Antibiotik ini kalau di Eropa sudah dilarang. Tapi kalau di Indonesia masih boleh sesuai dosis untuk preventif. Kalau untuk jor-joran udah enggak boleh. Makanya, BMD sama colistin itu rolling-an,” jelas Z.
Cara yang Z jalani adalah satu dari sekian siasat untuk menjual antibiotik hewan ke kalangan peternak. Dia yang mengenalkan diri sebagai TS saat itu dengan agresif menawarkan obat beserta sejumlah iming-iming untuk peternak. Salah satu penawarannya adalah jasa asistensi obat.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh menuturkan, keberadaan TS sebenarnya lumrah dalam dunia perunggasan. TS ini umumnya adalah dokter hewan. Mereka berkeliling ke lokasi kandang peternak sebagai dokter sekaligus bertugas menjual kebutuhan obat untuk hewan. Kebetulan salah satu produk yang dijual TS juga adalah antibiotik.
Dilematik
Posisi TS yang berafiliasi dengan perusahaan obat, namun juga bertugas sebagai dokter hewan kerap menjadi dilema. Munawaroh tak menampik adanya dualisme profesi TS. ”Memang kadang-kadang dilematik. TS dituntut memenuhi target penjualan, tetapi harus tetap mengedukasi peternak agar tidak pakai obat sembarangan. Ada saja mereka yang akhirnya terlalu berorientasi target,” kata Munawaroh.
Demi mengejar target omzet, TS bersiasat dengan berbagai cara agar produk mereka laris. Sebut saja LG, seorang TS dari perusahaan distributor obat hewan ternama. Setiap bulan LG mengaku dibebani target penjualan hingga lebih dari Rp 1 miliar. Nominal itu selalu bertambah setiap tahun.
LG nyaris tidak pernah lagi menawarkan produknya dari satu kandang ke kandang lain. Salah satu cara yang kerap LG pakai adalah mengadakan seminar-seminar untuk peternak di hotel. Seminar ini diadakan untuk membedah masalah penyakit tertentu atau sekadar peluncuran produk.
Siasat lainnya, LG juga mendekati perusahaan inti agar produknya bisa digunakan oleh peternakan plasma. Hubungan kemitraan inti-plasma antara peternak ayam broiler dan perusahaan peternakan berperan menyuburkan praktik pemberian antibiotik ini. RA, pemilik peternakan plasma ayam broiler di Subang, Jawa Barat, diwajibkan membeli antibiotik dengan harga selangit setiap siklus panen.
”Enggak (beli sendiri). Dari Pokphand semua. Baytril 1 liter itu harganya Rp 1 juta,” Kata RA.
Target penjualan yang ditetapkan perusahaan juga membuat TA, TS dari distributor obat lain berada dalam posisi yang dilematik. Di satu sisi, dia mesti memenuhi target penjualan hingga ratusan juta rupiah dari perusahaan. Sementara di sisi lain dia adalah dokter hewan yang memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan antibiotik secara bijak.
”Yang kita jual kan bukan cuma antibiotik, ada vitamin. Dan memang sekarang lebih baik kami itu support vitamin kayak imunomodulator yang meningkatkan sistem imun ayam daripada kami menggunakan antibiotik,” katanya.
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) Andi Wijanarko menyebutkan, target omzet yang pepat dari perusahaan sering membuat TS lupa dengan kewajiban sebagai dokter hewan. Padahal, TS, terutama yang berlatar pendidikan dokter hewan, pasti paham mengenai risiko bakteri resistansi antibiotik yang dipicu penggunaan tidak tepat dosis.
Sejauh ini, Asohi bersama PDHI berupaya mengumpulkan para TS agar kembali diedukasi tentang bahaya resistansi dari penggunaan antibiotik. ”Kami juga bersama PDHI terus mengingatkan kawan-kawan (TS) di lapangan, ada tanggung jawab sesuai dengan kaidah keprofesian. Dokter hewan harus memberi obat sesuai diagnosa,” ujar Andi.
Target omzet yang pepat dari perusahaan sering membuat TS lupa dengan kewajiban sebagai dokter hewan. Padahal, TS, terutama yang berlatar pendidikan dokter hewan, pasti paham mengenai risiko bakteri resistansi antibiotik yang dipicu penggunaan tidak tepat dosis.
Munawaroh menambahkan, upaya mengedukasi kembali TS juga berlangsung lewat regulasi terbaru Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Mikro. Dalam peraturan, TS yang tergolong sebagai penanggung jawab teknis obat hewan (PJOTH) harus memiliki surat izin praktik. Surat izin praktik bagi dokter hewan nantinya akan diterbitkan atas rekomendasi PDHI.
Munawaroh menilai, pengawasan mestinya akan berjalan lebih tegas dengan regulasi terbaru itu. Dia berharap TS yang terobsesi target omzet perusahaan juga menjadi sadar dengan peran sebagai dokter hewan.
”Dokter hewan itu disumpah, lho. Mereka punya kewajiban menyejahterakan masyarakat, salah satunya adalah dengan memberi nasihat kepada peternak agar menggunakan antibiotik secara rasional. Fungsi pengawasan risiko penyakit hewan itu kuncinya ada di mereka,” ucapnya.