Berharap Balai Latihan Kerja Menjadi Jawaban Tantangan Global
Pengembangan BLK selain untuk menjawab tantangan dan peluang pasar kerja internasional, juga meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia. Lulusan perguruan tinggi dan SMK membutuhkan reskilling untuk masuk dunia kerja.
Baca Juga: Program BLK Komunitas Dilanjutkan
Pelatihan kerja yang berorientasi pada pasar kerja merupakan suatu keharusan, sehingga akan menguntungkan berbagai pihak, baik itu pihak pencari kerja maupun pengguna tenaga kerja. (Mochamad Sulchan, tesis "Manajemen Pelatihan Kerja di Balai Latihan Kerja Industri Semarang", Universitas Negeri Semarang, 2007)
Dalam laporannya tahun 2020, Forum Ekonomi Dunia, memperkirakan akan ada 85 juta pekerjaan yang hilang tahun 2025, tetapi akan muncul 97 juta jenis pekerjaan baru. Saat itu akan terjadi keseimbangan antara human skill, keterampilan manusia dan mesin.
Di Indonesia, menurut riset McKinsey & Company, hingga tahun 2030, akan ada 23 juta pekerjaan yang hilang, dan digantikan robot, digital, mesin, atau artificial intelligence (AI/kecerdasan buatan). Namun, akan muncul sekitar 46 pekerjaan yang membutuhkan keterampilan khusus, antara lain kemampuan dalam analisa, kreatif, mandiri, serta terkait digital, kecerdasan buatan, atau komputasi awan (cloud computing).
Dengan penduduk tak kurang dari 270 juta, Indonesia tak hanya pasar bagi produk nasional dan dunia, tetapi juga sumber bagi penyediaan tenaga kerja di berbagai sektor. Apalagi, diperkirakan pada periode 2030-2040 negeri ini akan menikmati bonus demografi. Jumlah penduduk berusia produktif akan lebih banyak dibandingkan penduduk usia tidak produktif.
Diperkirakan penduduk usia produktif kita ada 205 juta orang. Setiap tahun kita juga harus menghadapi sekurang-kurangnya dua juta penduduk usia produktif yang akan masuk pasar kerja. Kondisi ini tidak gampang
"Diperkirakan penduduk usia produktif kita ada 205 juta orang. Setiap tahun kita juga harus menghadapi sekurang-kurangnya dua juta penduduk usia produktif yang akan masuk pasar kerja. Kondisi ini tidak gampang," ungkap Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah di Jakarta, pekan lalu. Bonus demografi menjadi keuntungan di satu sisi, tetapi juga menjadi tantangan di sisi yang lain. Pandemi memangkas jumlah pekerja di negeri ini, termasuk pekerja migran Indonesia di manca negara.
Menurut Ida, sebenarnya pada bulan awal tahun 2021 Kementerian Tenaga Kerja sudah senang, sebab pengangguran bisa ditekan. Pekerja migran mulai kembali diterima. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2021 menunjukkan, seluruh program mitigasi pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan menunjukan hasilnya yang lebih baik dibandingkan survei Agustus 2020.
Menurut data BPS Mei 2021, tingkat pengangguran terbuka di negeri ini pada Agustus 2020 sebesar 7,07 persen, turun menjadi 6,26 persen pada Februari 2021. Angkatan kerja pada Februari 2021 sebanyak 139,81 juta orang, naik 1,59 juta orang dibandingkan Agustus 2020. Penduduk yang bekerja sebanyak 131,06 juta orang, meningkat 2,61 juta orang dibandingkan Agustus 2020. Lapangan pekerjaan baru pun terbuka kembali.
BPS juga mencatat terdapat 19,10 juta orang, sekitar 9,30 persen penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19 pada Mei 2021. Berbagai langkah pembenahan bidang ketenagakerjaan terhenti kembali, saat pandemi Covid mengganas kembali pada akhir Juni 2021. Pemerintah pun menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat, sehingga sejumlah dunia usaha nonesensial dan nonkritikal terpaksa menghentikan kegiatannya. Pekerja pun menganggur kembali. Pekerja yang terdampak pandemi covid secara langsung sekitar 2,9 juta orang.
Baca Juga: Jadikan PHK Opsi Terakhir
Namun, karena ada pandemi, dampak digitalisasi dan otomatisasi, serta bonus demografi pengangguran bertambah, dan mendorong Kemenaker pun mencari peluang bagi tenaga kerja Indonesia ke manca negara. Berkompetisi dengan pekerja dari negara lain. Tentu tak mudah, sebab dari negara lain juga pasti mempersiapkan tenaga kerjanya untuk memasuki pasar global dan era industri 4.0. Indonesia juga perlu menyiapkan tenaga kerjanya untuk kebutuhan dalam negeri yang kian beragam jenis pekerjaannya.
Kualitas manusia Indonesia, menurut Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 2018, memang tinggi, dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia 0,707. Namun, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 189 negara yang diukur. Namun, Bank Dunia mengingatkan Indonesia untuk meningkatkan kualitas modal manusia di tengah prospek perekonomian yang lesu. Indeks daya saing global (GCI) 4.0 Indonesia tahun 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada Oktober 2019 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-50 dari 141 negara. Tahun 2018, Indonesia di peringkat ke-45. Singapura di peringkat pertama. Nilai Indonesia pada 2019 adalah 64,6, tu- run dari 2018 sebesar 64,9.
Tiga tantangan
Menaker mengakui, ada tiga tantangan besar yang dihadapi dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Pertama, profil tenaga kerja di negeri ini, sekitar 56 persen, masih didominasi yang tingkat pendidikannya SMP ke bawah. Dalam tantangan memasuki industri 4.0, dan lapangan kerja global, bonus demografi dengan kondisi pendidikan pekerja yang masih rendah, tentu saja menjadi masalah. "Kita bisa bayangkan kompetensi mereka. Ini pasti akan berpengaruh pada produktivitas kita," jelasnya.
Di sisi lain, yang menganggur justru didominasi mereka yang pendidikannya lebih baik, seperti lulusan SMK dan perguruan tinggi. Mereka yang bekerja itu berpendidikan rendah dengan keterampilan terbatas. Hal ini berarti pendidikan vokasi tidak bisa menyiapkan pasar kerja. Tak bisa memenuhi permintaan dunia usaha, sehingga ada ketidak-cocokkan (mismatch). Tidak terjadi link and match.
Ketiga, kondisi itu diperparah dengan adanya pandemi.
Baca Juga: Produktivitas SDM Indonesia Masih Tertinggal
"Kita sedang mengupayakan bagaimana tenaga kerja kita bisa bersaing, memanfaatkan bonus demografi, dan menyiapkan tenaga kerja menghadapi era industri 4.0, tiba-tiba ada pandemi. Padahal, sebenarnya lima tahun terakhir angka pengangguran kita itu sudah sangat turun," imbuh Ida lagi. Pengangguran di negeri ini sekitar lima juta orang, tetapi saat pandemi melonjak menjadi sembilan juta orang.
Kemenaker mau tak mau harus membuat kebijakan yang adaptif, inovatif, dan berusaha bisa memenuhi pasar kerja. Presiden Joko Widodo menegaskan, pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menjadi prioritas. Dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2019, Presiden menekankan pentingnya pembangunan SDM unggul yang berdaya saing global. Dengan mengembangkan kualitas SDM memakai cara-cara baru, bonus demografi yang akan dinikmati negeri ini diyakini menjadi bonus lompatan kemajuan Indonesia.
Dengan mengembangkan kualitas SDM memakai cara-cara baru, bonus demografi yang akan dinikmati negeri ini diyakini menjadi bonus lompatan kemajuan Indonesia.
Salah satu terobosannya, lanjut Ida, adalah dengan melahirkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Reformasi struktural yang dilakukan pemerintah untuk menjawab persoalan ketenagakerjaan. UU Cipta Kerja sebagian merevisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang tidak bisa lagi mengikuti perkembangan dinamika ketenagakerjaan. Kluster ketenagakerjaan ini yang paling memperoleh atensi publik, meskipun pembahasannya sudah melibatkan banyak kalangan, terutama pekerja dan pengusaha, serta dibuka dialog publik.
Kemenaker menerjemahkan UU Cipta Kerja dengan membuat sembilan lompatan, yang berintikan inovasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, produktivitas SDM, dan kesejahteraan masyarakat yang terkait ketenagakerjaan. Kebijakan itu antara lain terkait reformasi birokrasi, pembangun ekosistem digital siap kerja, dan transformasi balai latihan kerja (BLK) sebagai upaya membangun link and match ketenagakerjaan.
Pengembangan BLK selain untuk menjawab tantangan dan peluang pasar kerja internasional, juga untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah. "Kami ingin perluasan kesempatan kerja itu tidak hanya fokus ke pekerja informal," ujar Menaker lagi.
Saat serah terima jabatan Menaker, pada 23 Oktober 2019, Ida menyatakan, dia akan melanjutkan program kerja yang sudah dirintis menteri sebelumnya, M Hanif Dhakiri. Dia juga akan mengelola organisasi kementerian dengan lebih baik.
Dapat dipertimbangkan revitalisasi BLK dan penguatan sistem technical and further education. BLK dapat menyegarkan keterampilan pekerja yang sudah tak relevan dengan kebutuhan industri.
Paradigma BLK
Salah satu program Hanif yang populer adalah ”3R BLK” yang berarti reorientasi, revitalisasi, dan rebranding BLK. Lewat program itu, dia menginginkan perubahan paradigma pengelolaan BLK agar lebih relevan dengan kebutuhan industri. (Kompas, 25/10/2019)
Baca Juga: Membangun SDM Unggul...
Direktur Utama PT Lippo Karawaci, John Riady mengingatkan, lulusan pendidikan vokasi harus mampu beradaptasi dengan perubahan industri. Mereka harus siap untuk senantiasa belajar dan mengasah kemampuan diri. Untuk itu, dapat dipertimbangkan revitalisasi BLK dan penguatan sistem technical and further education. BLK dapat menyegarkan keterampilan pekerja yang sudah tak relevan dengan kebutuhan industri. Sistem technical and further education akan menjadi pusat standardisasi kompetensi yang dibutuhkan di era gig economy. (Kompas, 6/12/2019)
Ida mengakui, pekerjaan baru lebih banyak sebenarnya daripada yang hilang. Tinggal angkatan kerja kita, lulusan perguruan tinggi dan SMK sesuai dengan kebutuhan pekerjaan baru itu. Atau mereka yang sudah bekerja beralih. Ini butuh reskilling. Hal itu mudah dilakukan melalui pelatihan vokasi, termasuk di BLK. Saat ini sejumlah BLK melatih tenaga yang keterampilannya dibutuhkan di pasar internasional, seperti tenaga ahli las bawah air, tenaga ahli madya mode dan tekstil, selain yang terkait digital. Peserta didik di BLK pun sebagian bergelar sarjana.
Calon pekerja migran boleh berkerja di luar negeri jika punya kompetensi. Kompetensi itu disiapkan melalui BLK. Saat ini baru ada 15 BLK yang dikelola pemerintah pusat, dan hingga tahun 2024 ditargetkan setiap provinsi akan mempunyai BLK, selain BLK yang dikelola pemerintah daerah dan komunitas, yang jumlahnya hingga tahun 2020 sebanyak 2.127 unit. Tahun 2021 akan dibangun lagi sekitar 1.000 BLK komunitas. BLK itu harus mengikuti perkembangan dunia usaha dan industri.
Konten ini adalah hasil kerja sama Harian Kompas dengan Kementerian Tenaga Kerja.