Peringkat Indonesia Turun, Kesiapan Hadapi Pandemi Jadi Pertimbangan
Global Muslim Travel Index 2021 masih menempatkan Indonesia ke dalam daftar enam teratas destinasi pariwisata ramah Muslim. Namun, peringkat Indonesia turun dari peringkat pertama tahun 2019 menjadi ke-4 tahun 2021.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga pemeringkat Mastercard-Crescent menempatkan Indonesia di peringkat keempat, dari total 140 negara, sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia menurut standar Global Muslim Travel Index atau GMTI 2021. Posisi Indonesia turun dibandingkan tahun 2019 yang berada di peringkat pertama bersama Malaysia.
Faktor kesiapan industri pariwisata menghadapi pandemi Covid-19 menjadi salah satu pertimbangan pada pengukuran kali ini. Indikator ini antara lain mencakup pencegahan, deteksi, dan kontrol Covid-19.
Menurut laporan GMTI 2021 yang diluncurkan Rabu (14/7/2021), jumlah kedatangan wisatawan Muslim internasional mencapai 42 juta orang pada tahun 2020, sekitar 90 persen di antaranya datang pada triwulan I-2020. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan jumlah kedatangan pada 2013 yang mencapai 108 juta wisatawan atau tahun 2019 yang mencapai 160 juta wisatawan. Penutupan perbatasan lintas negara seiring merebaknya kasus Covid-19 menjadi penyebab penurunan itu.
Pendiri dan CEO Crescent Rating & Halal Trip Fazal Bahardeen, saat menghadiri Halal in Travel Global Summit 2021 secara virtual, Rabu, menjelaskan, karena keberlanjutan lingkungan dan kesehatan penting untuk pembukaan kembali perjalanan, pengukuran peringkat GMTI 2021 dikorelasikan dengan indikator kesiapan industri pariwisata, seperti indikator pencegahan, deteksi, dan kontrol Covid-19.
Skor total Indonesia di GMTI 2021 mencapai 73. Jika ditelaah per variabel dan sub-indikator, Indonesia memperoleh skor 100 pada aspek lingkungan keamanan, restriksi kepercayaan, pelayanan tempat ibadah, dan bandara.
Adapun untuk indikator akses dengan sub-indikator konektivitas, Indonesia mendapat skor 38. Skor yang sama juga diperoleh Indonesia pada sub-indikator pengelolaan iklim, sementara 46 untuk kejelasan informasi, dan skor 53 pada komunikasi pemasaran.
”Hasil pengukuran GMTI menunjukkan bahwa Indonesia selalu masuk enam teratas dari 20 negara yang dianggap sebagai destinasi pariwisata ramah Muslim. Ini terjadi enam tahun terakhir,” ujar Fazal.
Enam negara teratas hasil GMTI 2021 adalah Malaysia, diikuti Turki, Arab Saudi, Indonesia, Uni Emirat Arab, serta Qatar dan Singapura yang sama-sama di peringkat enam. Dilihat dari aspek kesiapan industri pariwisata menghadapi pandemi Covid-19, skor Indonesia 60, sementara Malaysia dan Turki mendekati skor 70, Uni Emirat Arab 80, dan Arab Saudi mendekati 90. ”Semua negara belajar dengan cara masing-masing beradaptasi pandemi. Mereka sebenarnya bisa saling belajar,” kata Fazal.
Kesiapan negara-negara non-anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OIC) dan menjadi tujuan wisatawan Muslim dalam menghadapi pandemi juga bisa jadi contoh. Dia mencontohkan skor Inggris, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura di atas 70.
Meski pandemi berimbas buruk terhadap kelangsungan industri pariwisata, pengelolaan fasilitas dan layanan di destinasi ramah Muslim tetap berlangsung. Sejumlah negara yang menjadi destinasi pariwisata ramah Muslim tetap mendorong kesadaran pemangku industri untuk terus mengembangkan kapasitas infrastruktur serta pemasaran, bahkan selama pandemi Covid-19.
GMTI pertama kali meluncur ke publik tahun 2015 dengan memeringkat 100 destinasi pariwisata ramah Muslim. Jumlah destinasi bertambah jadi 130 pada 2016 sampai 2019. Tahun 2021 total destinasi yang diukur naik jadi 140 negara. Beberapa tujuan telah dihapus dan ada yang baru ditambahkan. Jumlah tersebut menyumbang lebih dari 95 persen kedatangan wisatawan Muslim.
GMTI 2021 tetap mengukur variabel destinasi pariwisata ramah Muslim, yakni kemudahan akses ke destinasi, komunikasi, lingkungan, dan pelayanan. Perbedaan dengan GMTI tahun-tahun sebelumnya, variabel komunikasi terdiri dari subkategori kecakapan komunikasi, pemasaran tujuan, dan kesadaran pemangku kepentingan sehingga relevan terhadap dampak langsung pandemi Covid-19.
Digital
Vice President of Market Product Management MasterCard Aisha Islam berpendapat, kebersihan dan kesehatan bukan hanya menjadi pola pikir, melainkan juga menjadi standar perilaku wisatawan. Oleh karena itu, penting sekali destinasi pariwisata ramah Muslim untuk menyiapkannya.
”Sebelum pandemi Covid-19, wisatawan sebenarnya sudah akrab dengan layanan daring. Ketika pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 berlaku, layanan daring semakin menemukan momentumnya. Kami memperkirakan, sistem pembayaran nontunai untuk jual-beli kebutuhan pariwisata akan semakin diminati turis pada masa depan,” ujarnya.
Menurut Ketua Perhimpunan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) Riyanto Sofyan, untuk memperkuat suplai layanan, konsep serta sertifikasi kebersihan, kesehatan, keamanan, dan lingkungan berkelanjutan (CHSE) sejalan dengan wisata ramah Muslim.
Selain itu, Indonesia bisa mengembangkan produk pariwisata berbasis alam, kebugaran, dan budaya dengan tetap memaksimalkan infrastruktur protokol kesehatan. ”Masih banyak potensi Indonesia yang bisa digali, seperti pariwisata berbasis komunitas,” ujarnya.
Riyanto menambahkan, pelaku industri pariwisata memerlukan insentif dan dukungan agar tetap bisa mengeluarkan inisiatif dan inovasi. PPHI ikut melakukan hal itu. Pendampingan pun perlu diadakan dengan sesi berbagi, pelatihan, pengarahan penguatan destinasi, dan kolaborasi.