Nilai tambah yang dicari konsumen pasar premium terhadap produk-produk hortikultura, seperti buah dan sayur, antara lain, kesehatan dan dampaknya terhadap daya tahan tubuh, nilai gizi, hingga sertifikasi produk.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memperkuat permintaan terhadap produk hortikultura, khususnya di pasar premium. Agar dapat mengoptimalkan momentum tersebut, pemasok produk mesti memberikan nilai tambah berupa pencantuman kandungan gizi produk yang dijual, cara penanaman, dan pemanfaatan teknologi di kemasan produk.
Menurut Menteri Pertanian 2000-2004, Bungaran Saragih, pasar premium umumnya menuntut sejumlah kualitas, seperti aspek kesehatan, kesegaran, dan harga yang kompetitif. ”Setelah memahaminya, pelaku agrobisnis mesti menyusun strategi dari hulu, seperti produksi, sistem pertanian, pemanfaatan teknologi, dan penggunaan bibit unggul,” katanya dalam webinar berjudul ”Horticulture Business: Key to Penetrate Premium Market”, Rabu (14/7/2021).
Pasar premium, lanjut Bungaran, tidak hanya soal pasar ekspor. Di dalam negeri, ada sejumlah pasar premium yang berpotensi digarap, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, dan Medan.
Pada tiga bulan pertama pandemi Covid-19, Deputi General Manager Merchandising Division PT AEON Indonesia Feri Rahman Saputra menyebutkan, permintaan produk hortikultura meningkat dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan sebelum pandemi, khususnya sayur dan buah-buahan.
Di dalam negeri, ada sejumlah pasar premium yang berpotensi digarap, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, dan Medan.
Ia menuturkan, nilai tambah yang dicari konsumen pasar premium dari produk-produk tersebut, antara lain, adalah kesehatan dan dampaknya terhadap daya tahan tubuh, nilai gizi, serta sertifikasi produk.
Nilai tambah itu, imbuh Feri, mesti tertera di kemasan. Ia menggarisbawahi, pemasok produk hortikultura harus melengkapi kemasan dengan informasi jenama, foto produk, kandungan nutrisi, daftar sertifikasi yang diperoleh, dan kode batang.
Di sisi pemasok, Direktur PT Great Giant Foods Welly Soegiono mengatakan, perusahaan mengantongi 20 sertifikasi sebagai syarat menembus pasar premium, khususnya di mancanegara. Oleh sebab itu, kebijakan perusahaan serta tata cara produksi hortikultura mengacu pada tuntutan sertifikasi tersebut.
Karena keterbatasan lahan, Welly menyatakan, perusahaan bermitra dengan petani. ”Tidak hanya menjadi pembeli, kami juga menyediakan bibit serta wajib mendampingi dan membina petani dalam budidaya, panen, serta pengemasan. Dengan demikian, petani dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan standar sertifikasi perusahaan,” tuturnya.
Ia menggarisbawahi, pemasok produk hortikultura harus melengkapi kemasan dengan informasi jenama, foto produk, kandungan nutrisi, daftar sertifikasi yang diperoleh, dan kode batang.
Agar relevan dengan permintaan konsumen yang menyoroti kelestarian, Welly menambahkan, perusahaan telah menerapkan sistem nol limbah (zero waste) pada rantai produksi nanas kaleng. Kulit nanas dimanfaatkan untuk pakan sapi ternak dan bonggol nanas untuk membuat produk enzim.
Pemanfaatan teknologi juga dapat memperkuat nilai tambah produk hortikultura di pasar premium. Manuel Madani, perwakilan Priva SE Asia, mengatakan, perusahaan mengandalkan kecerdasan buatan sebagai salah satu landasan dalam membuat keputusan. Dia mencontohkan, dalam memproduksi tomat, perusahaan dapat memprediksi kebutuhan tanaman dari data siklus pertumbuhan sebelumnya.
Selain teknologi, bibit juga menjadi sumber keunggulan. Tak hanya memberikan bibit, Area Sales Manager Rijk Zwaan, Friso Klok, mengatakan, perusahaan juga turut mendampingi petani serta membagikan ilmu dan teknologi agar tanaman dapat tumbuh optimal. Bibit yang berdaya saing dapat menaikkan penghasilan petani.