Kemajuan kecerdasan buatan dan masa depan manusia bukan lagi hanya muncul di novel atau film. Berbagai kalangan telah menyadari bahwa era itu makin dekat.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Perusahaan mulai menggunakan bot atau akun yang mewakili sosok perusahaan untuk menjalankan komunikasi dengan konsumen. Sebelumnya layanan ini dikerjakan oleh orang. Sekarang oleh mesin. Kemampuan bot makin canggih. Lalu, peran manusia di mana? Apakah peran manusia masih dibutuhkan? Pertanyaan ini dan sejenisnya tengah marak ketika imajinasi dunia masa depan yang disebut sebagai pascamanusia (post human) muncul.
Kemajuan kecerdasan buatan dan masa depan manusia bukan lagi hanya muncul di novel atau film. Berbagai kalangan telah menyadari bahwa era itu makin dekat. Pada tahun 2018, Pew Research Institute telah menerbitkan sejumlah pandangan ahli tentang hal itu. Sejumlah ahli membuat forum bernama The Future of The Human dan telah menerbitkan tiga buku tentang dampak kemajuan kecerdasan buatan pada organisasi dan masyarakat. Penulis Yuval Noah Harari menerbitkan buku Homo Deus, A Brief History of Tomorrow.
Dunia pascamanusia diartikan sebuah dunia di mana manusia berdampingan dengan entitas ”mesin” yang berbasis pada kecerdasan buatan. Pendamping manusia ini bisa berupa robot, bot, perangkat lunak, dan produk yang lebih maju.
Sosiolog Andrea M Maccarini telah membuat imajinasi tentang relasi kelak yang bersifat hibrida, antara manusia dan entitas lain itu. Relasi ini menghasilkan kehidupan pascamanusia (post human sociality). Ia meneliti kehidupan hibrida ini yang disebut berbeda dengan kehidupan murni manusia saja.
Secara umum, kehidupan hibrida itu sebenarnya sudah bisa kita lihat di masyarakat. Saat makan malam di dalam keluarga, masing-masing juga didampingi oleh gawai. Saat orang bertemu dengan teman-temannya, mereka juga menggunakan gawai dan melakukan interaksi.
Kita tentu mempertanyakan berbagai kemungkinan dampak dunia pascamanusia itu pada dunia bisnis. Meski sesungguhnya pertanyaan itu tidak perlu muncul lagi karena di dunia bisnis entitas nonmanusia, seperti robot, bot, dan produk kecerdasan buatan, sudah banyak digunakan.
Di dunia industri jasa keuangan, penentuan peringkat kelayakan kredit seseorang telah menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Tenaga manusia sudah mulai dikurangi untuk menentukan peringkat itu.
Di dalam sistem kelistrikan dan alat-alat rumah tangga, kecerdasan buatan juga sudah digunakan untuk mengetahui semisal isi kulkas, penggunaan listrik di rumah, pemantauan penggunaan alat-alat rumah tangga, dan lain-lain. Sejumlah perusahaan telah menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk menyodorkan sejumlah paket wisata, produk keuangan, makanan, dan lain-lain kepada konsumen setiap kali membuka aplikasi. Layanan ini memang belum sempurna, namun selalu berkembang dan mendekati keinginan para konsumen. Mereka semakin pintar dan ”berlaku” seperti karyawan kita.
Dunia bisnis perlu mengantisipasi dalam arti kehadiran pendamping manusia itu mulai muncul. Apalagi ke depan layanan mereka akan makin banyak dan kemampuan mereka akan makin cerdas. Semisal ketika kita berbicara layanan konsumen yang mulai digantikan bot, maka peranan manusia diperkirakan tidak diperlukan lagi untuk menjalankan tugas itu.
Apakah demikian? Ada dua pendapat. Ada yang menyatakan akan tergantikan seluruhnya, namun ada yang menyebut teknologi itu memiliki kelemahan dan pasti layanan konsumen tetap akan membutuhkan manusia. Bagaimana dunia bisnis mengantisipasi perubahan ini?
Pebisnis perlu mengantisipasi karena kehadiran pendamping manusia itu juga membutuhkan perubahan organisasi, baik di internal perusahaan maupun eksternal. Korporasi membutuhkan orang-orang yang mampu mengkreasi produk kecerdasan buatan alias pendamping manusia itu, namun juga harus bisa membuat organisasi yang bisa dijalankan secara hibrida. Oleh karena itu, memahami kehidupan hibrida itu menjadi makin penting. Kehidupan hibrida itu sendiri masih terus didalami oleh para ahli.
Sebaiknya kita tidak hanya terpukau dengan perkembangan dan inovasi teknologi kecerdasan buatan saja, tetapi juga mengamati sejauh mana keberadaan dan peran manusia dalam kehidupan bisnis. Mereka yang mampu memahami perubahan-perubahan itu dan mengetahui peran manusia dan keberadaan pendamping manusia itu akan bisa mendayung di tengah perubahan yang sangat dahsyat. Teknologi bukanlah segalanya.
Oleh karena itu, Pew Research Institute membuat kajian sementara tentang hal-hal yang perlu mendapat perhatian di dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan, solusi untuk dampak negatif, dan harapan tentang kehidupan masa depan secara khusus pada 2030. Tahun itu adalah tahun di mana pascamanusia atau kehidupan hibrida semakin nyata, setidaknya bagi warga Amerika Serikat.
Mereka yang mampu memahami perubahan-perubahan itu dan mengetahui peran manusia dan keberadaan pendamping manusia itu akan bisa mendayung di tengah perubahan yang sangat dahsyat.
Sejumlah orang telah membuat imajinasi kehidupan hibrida. Ada yang menyebut akan muncul perbaikan pengalaman manusia. Populasi akan makin lebih aman dan sehat. Banyak pekerjaan yang selama ini tidak bisa dilakukan oleh manusia karena memiliki risiko akan dilakukan oleh teknologi kecerdasan buatan. Akan tetapi ada yang mengatakan, interaksi antara manusia dan pendamping manusia itu sendiri pada tahun 2030 masih ”bayi”. Pendamping itu masih butuh disekolahkan agar memiliki perilaku seperti manusia.
Etika juga menjadi hal yang diangkat oleh beberapa pihak. Kemungkinan muncul bias dalam algoritma diangkat karena di beberapa kasus kecerdasan mereka bisa bias warna kulit. Sebuah keputusan yang bagus dari proses berbasis kecerdasan buatan tetap membutuhkan pertimbangan etis. Tidak beda ketika anak kecil diajari hal yang baik dan buruk di dalam kehidupan mereka, pendamping manusia itu perlu dilatih juga. Kehadiran mereka bakal mengubah kebudayaan dan tatanan politik.