Kisah Pelaku Wisata, Bertahan Hidup dengan Sisa Tabungan atau Berutang
Mengandalkan sisa tabungan atau berutang ke bank menjadi cara terakhir yang ditempuh pelaku jasa wisata di sejumlah destinasi utama Tanah Air agar bisa bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir 1,5 tahun memukul industri pariwisata. Kebijakan pembatasan sosial yang diambil pemerintah tanpa disertai solusi cepat semakin memperparah kondisi pelaku usaha, terutama mereka yang berskala kecil. Bertahan dengan sisa tabungan atau mencoba berutang ke bank menjadi pilihan terakhir agar tetap bisa hidup.
Dari Yogyakarta, Yoeli Astuti, pemilik Belfa Tour and Travel di Prawirotaman, sampai menutup bisnis penjualan tiket per 1 Mei 2021. Kemunculan agen perjalanan daring atau online travel agent (OTA) telah menurunkan penjualan tiket sampai 50 persen. Namun, pandemi Covid-19 yang disertai kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat semakin memperburuk keadaan.
”Tahun 2019, pendapatan dari penjualan lini bisnis Belfa Tour and Travel masih bisa mencapai Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per bulan. Saya masih diuntungkan karena berjualan tiket di Prawirotaman yang menjadi tujuan akomodasi wisatawan mancanegara dan mereka lebih nyaman bertransaksi dengan agen luring dibanding daring,” kata Yoeli saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/7/2021).
Akan tetapi, situasi amat berubah sejak pandemi Covid-19. Pembatasan sosial berskala besar sampai pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat menyebabkan kedatangan internasional terhenti, sementara penjualan ke turis domestik sudah sangat rendah.
Lini bisnis Yoeli lainnya, yaitu Omah Belfa Homestay dan Belfa Guesthouse, sempat tidak ada tamu selama Maret hingga November 2020. Tamu baru berdatangan pada Desember 2020. Namun, awal tahun 2021 hingga sekarang, penerapan PPKM mikro dan PPKM darurat yang kembali membuat kedua bisnis penginapannya kembali sepi. Turis domestik yang telanjur memesan meminta pembatalan.
Baca juga : Pemerintah Tunda Program Undang Turis
”Saya baru-baru ini terpaksa mengambil kredit ke bank agar tetap bisa bertahan hidup, walaupun saya tahu ini bukan keputusan tepat. Tabungan saya sudah terpakai tahun lalu untuk menutup operasional,” kata Yoeli.
Pemilik Wisma Ananda di Yogyakarta, Ananda Rasmi, menceritakan pengalaman senada. Sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 25 kamar di hotelnya selalu terisi. Sejak pandemi berlangsung dan pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial apa pun konsepnya, maksimal lima kamar terisi per bulan.
Wisma Ananda sebenarnya tergabung sebagai mitra perusahaan teknologi pengelola hotel dan agen perjalanan daring. Namun, menurut dia, hal itu malah membuatnya semakin merugi di tengah pandemi Covid-19.
”Potongan fee ke mereka (perusahaan teknologi) lumayan besar. Jadi, saya hanya dapat untung sedikit, apalagi saya sudah menurunkan harga agar menarik tamu,” ujarnya.
Ananda mengaku masih memakai sisa tabungan dan harus kredit untuk membiayai operasional hotel kecil peninggalan keluarganya sejak 1990 itu, serta biaya hidup keluarganya sendiri. Dia mengibaratkan, kehidupannya sekarang seperti gali lubang tutup lubang. ”Pinter-pinter memutar uang untuk membiayai ini-itu agar tetap bisa hidup. Karyawan juga tetap hidup,” kata Ananda.
Dia mengibaratkan, kehidupannya sekarang seperti gali lubang tutup lubang.
Baca juga : Hibah Pariwisata Diharapkan Segera Terealisasi
Pemilik Azzahra Transport, Antonius Sutrisno, mengingat, sebelum pandemi Covid-19, persewaan mobil selalu laris dicari wisatawan domestik dan mancanegara. Mulai Kamis sampai Minggu, delapan mobil yang dia miliki selalu disewa. Tidak jarang, dia harus mencari ke sesama rekan penyewaan mobil agar permintaan sewa yang datang tetap terlayani.
Memasuki awal pandemi Covid-19, Trisno begitu biasa disapa, masih mendapatkan order meskipun tidak semua mobil laku. Dia malah menerapkan protokol kesehatan ketat kepada setiap karyawan dan konsumen yang masuk dalam mobil. Dia pun masih bisa membayar tunggakan kredit mobil ke bank, meski harus memohon agar bank meringankan kewajiban utangnya.
”Kalau sekarang, penyekatan di mana-mana, para pemilik rental mobil seperti saya itu tiarap. Tidak bisa berbuat apa-apa. Cuma bisa promo di media sosial agar siapa tahu masih ada turis lokal sekitaran Yogyakarta mau menyewa mobil,” ujarnya.
Menurut Trisno, dia masih memiliki sisa-sisa tabungan untuk membiayai operasional usaha, seperti bayar gaji karyawan. Dia tidak tega jika harus memberhentikan pekerjanya di tengah situasi sulit pandemi Covid-19.
Alih bisnis
Di Bali, Dewa Gde Yogiswara, pemilik Kamandhani Cottage dan Ubud Horse Stables, berjibaku menghadapi krisis pandemi Covid-19. Bisnis Kamandhani Cottage berdiri delapan tahun lalu, sedangkan Ubud Horse Stables didirikan enam tahun lalu.
Untuk bisa bertahan, tahun lalu, Yogi, begitu dia dipanggil, mulanya berusaha menjual 14 ekor kuda di lini bisnis Ubud Horse Stables. Meski harga anjlok, dia bersyukur masih ada yang mau beli kuda-kudanya itu. Uangnya dipakai untuk membiayai operasional Kamandhani Cottage dan merintis usaha sambal botolan.
Baca juga : Bayang-bayang Industri Pariwisata yang Makin Tak Menentu
Akan tetapi, usaha sambal botolan Yogi hanya bertahan sampai sebelum Lebaran. Dia lantas beralih menjual aneka kue. Ini pun tersendat karena pemerintah memberlakukan PPKM darurat.
”Karyawan resepsionis, akunting, dan bagian dapur sudah dirumahkan. Saya hanya menyisakan dua petugas housekeeping dan seorang petugas satpam untuk tetap bekerja membersihkan hotel. Mereka juga membantuku berjualan kue,” ujarnya.
Yogi mengaku tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk bertahan hidup jika PPKM darurat terus dilanjutkan. Industri pariwisata di Bali bisa dikatakan paling terdampak pandemi Covid-19. Dia pun sudah mengupayakan meminta ke bank agar meringankan bunga atas utang yang dia pakai membiayai hidup.
Dari Jakarta, General Manager Amethys Holiday Handi Pratama menceritakan, bisnis tur dan perjalanan yang berdiri sejak 2008 ini biasa melayani konsumen, baik dari korporat, tamu VIP, perjalanan media, maupun individu dengan tujuan perjalanan domestik dan mancanegara.
Menurut dia, pemesanan paket perjalanan mengalami banyak penundaan. Pemesanan perjalanan ke luar negeri pun tidak ada karena mengikuti kebijakan penutupan oleh pemerintah. ”Kami masih memikirkan upaya untuk merintis lini usaha baru agar kami tetap membiayai karyawan dan operasional kantor,” kata Handi.
Kami masih memikirkan upaya untuk merintis lini usaha baru agar kami tetap membiayai karyawan dan operasional kantor.
Berhemat
Dari Sumatera Barat, pemilik Abdi Homestay di Harau, Lima Puluh Kota, M Iqbal mengatakan, perluasan PPKM darurat ke luar Jawa dan Bali juga berdampak ke bisnis penginapan yang dia rintis sejak 2009 itu. Tamu domestik yang jadi andalan selama pandemi Covid-19 pun hampir tidak ada. Sementara sejak awal pengumuman pandemi, turis mancanegara yang dulunya jadi penyokong utama sudah membatalkan kunjungan.
”Abdi Homestay, kan, terletak di antara Bukittinggi dan Padang. Kedua daerah itu mengalami penyekatan. Jadi, turis domestik yang mau pergi ke tempat kami susah,” tuturnya.
Baca juga : Membangun Wajah Baru Turisme
Iqbal menceritakan, untuk membiayai operasional penginapan dan menggaji enam karyawan, dia menggunakan tabungan. Itu pun dia keluarkan secara perlahan. ”Harus dihemat-hemat tabungannya. Karyawan cuma saya minta datang tidak rutin setiap hari juga,” kata Iqbal.
Baik Yoeli, Ananda, Trisno, Yogi, Handi, maupun Iqbal belum mendapat informasi pemerintah pusat dan daerah mau meringankan beban operasional jasa usaha pariwisata. Mereka sangat menantikan solusi cepat pemerintah agar mereka bisa tetap bertahan lebih lama.
Kalaupun ada bantuan insentif dan hibah, persyaratannya diharapkan tidak rumit. Bagi pelaku jasa usaha pariwisata yang tidak tergolong berskala besar, Yoeli sempat menceritakan pernah mencoba mengakses informasi bantuan dari salah satu kementerian. Namun, dia tidak bisa memenuhi semua persyaratan.
”Kami taat bayar pajak usaha ke negara. Kalau sudah patuh, itu kan berarti kami punya izin usaha. Namun, kami malah susah dapat bantuan dan malah pelaku berskala menengah atas yang mendapatkan insentif,” imbuh Yoeli.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang dipimpin Sandiaga S Uno menyampaikan, sejalan dengan PPKM darurat, pelaksanaan program bekerja dari destinasi pariwisata, wisata vaksin, ataupun pembukaan kembali kunjungan wisatawan mancanegara dengan skema travel corridor arrangement (TCA) ditunda. Ketiga program ini akan kembali dibahas bersamaan dengan evaluasi PPKM darurat.
Secara khusus, pembukaan kembali pariwisata Indonesia untuk kunjungan wisatawan mancanegara dengan skema TCA sempat ditargetkan dimulai Juli 2021. Salah satu negara sasaran TCA adalah Singapura.
”Kami mengupayakan, pada triwulan III-2021, bantuan insentif pemerintah dan hibah pariwisata bisa cair sehingga membantu mengurangi dampak pelaku industri,” kata Sandiaga.
Baca juga : Evaluasi Sepekan PPKM Darurat Jawa-Bali