Kenaikan harga minyak mentah dunia selaras dengan penanganan pandemi Covid-19. Membaiknya penanganan pandemi bisa mendongkrak harga minyak dunia.
Oleh
ARI KUNCORO
·5 menit baca
Perkembangan minyak dunia sangat menarik untuk diamati, terutama karena ada hubungan timbal balik antara permintaan dan lonjakan pandemi Covid-19. Pemintaan minyak dunia akan pulih jika lonjakan pandemi dapat dikendalikan sehigga terdapat ruang bagi perekonomian dunia untuk tumbuh.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), sebagai suatu kartel, memengaruhi harga pasar dengan melakukan koordinasi antaranggotanya dalam menentukan volume produksi yang akan digelontorkan ke pasar dunia. Peranan OPEC sebagai penentu pasar mulai dirasakan sejak awal tahun 70-an pada saat perang Arab-Israel. OPEC menggunakan senjata minyaknya untuk menekan AS sebagai sekutu utama Israel. Namun, OPEC kemudian menjadi korban dari kesuksesannya sendiri.
Tingginya harga minyak dunia memungkinkan negara-negara di Laut Utara dengan biaya produksi tinggi, seperti Norwegia, memasuki arena sehingga kekuatan OPEC sebagai suatu kartel tergerogoti. Belum lagi ketika Rusia dan beberapa pendatang baru yang lain juga menjadi pemain aktif.
Selain itu, koordinasi antarnegara anggota untuk menentukan tingkat produksi juga bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap negara mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri yang tidak selalu sejalan dengan OPEC, sehingga OPEC sering dikatakan semakin tidak relevan sebagai price maker.
Tingginya harga minyak dunia memungkinkan negara-negara di Laut Utara dengan biaya produksi tinggi, seperti Norwegia, memasuki arena sehingga kekuatan OPEC sebagai suatu kartel tergerogoti.
Pandemi Covid-19 tampaknya mengembalikan OPEC menjadi pemain utama dalam menentukan harga minyak dunia. Pandemi memaksa dunia melakukan langkah-langkah membatasi mobilitas manusia dalam berbagai bentuk, mulai dari karantina wilayah sampai ke format lain yang tidak terlalu restriktif. Sebagai akibatnya, sisi permintaan ekonomi dunia runtuh yang berdampak secara berantai pada rantai pasok yang tiba-tiba kehilangan pembeli.
Pada titik yang ekstrem, harga minyak internasional pernah mencapai zona negatif pada April 2020. Artinya, pemilik stok minyak mentah demi mengurangi persediaannya bersedia mengeluarkan uang agar ada orang lain yang mengambil kelebihan stok itu.
Harga negatif tidak kemudian membuat bahan bakar minyak (BBM) di pompa bensin menjadi gratis karena harga minyak mentah hanya merupakan fraksi tertentu dari biaya produksi. Masih ada biaya penyulingan, biaya transportasi dan lain-lain yang menentukan harga eceran BBM. Fenomena harga minyak mentah negatif hanya bertahan satu bulan karena pada bulan Mei berikutnya harga mulai pulih dengan kenaikan 90 persen.
Kenaikan harga
Sejak Mei 2020, harga minyak internasional mendapat dorongan untuk naik, terutama dengan prospek pemulihan dua raksasa dunia, yaitu China dan AS. Pemulihan ekonomi China setelah mengalami kontraksi di triwulan I-2020, berjalan bertahap selama tiga triwulan berikutnya dengan pertumbuhan positif masing-masing sebesar 3,2 persen; 4,9 persen; dan 6,5 persen sehingga tercapai pertumbuhan fenomenal 18,3 persen di triwulan I-2021. Akibat kebijakan stimulus, perekonomian AS juga melejit dengan 4,3 persen dan 6,4 persen di triwulan IV-2020 dan triwulan I-2021.
Harga minyak internasional pun terus merangkak naik. Pada Mei 2021, minyak mentah jenis Brent berusaha menguji pasar dengan harga 70 dollar AS per barel. Demikian juga untuk harga minyak WTI yang biasanya terdapat selisih dengan jenis Brent sekitar 4 dollar AS per barel sehingga harus bertengger di sekitar 64 dollar AS per barel.
OPEC tampaknya mempunyai gigi kembali karena banyak produsen di luar OPEC yang belum pulih. Pasokan pasar yang lebih kecil sebagai akibat pandemi menyebabkan OPEC kembali relevan sebagai kartel.
Pada titik yang ekstrem, harga minyak internasional pernah mencapai zona negatif pada April 2020. Artinya, pemilik stok minyak mentah demi mengurangi persediaannya bersedia mengeluarkan uang agar ada orang lain yang mengambil kelebihan stok itu.
Faktor lain yang sepintas merupakan sebuah anomali adalah tren pergeseran menuju energi terbarukan yang juga mendorong kenaikan harga minyak. Beberapa negara Eropa, seperti Inggris dan Italia, menyatakan penghentian produksi kendaraan berbahan bakar fosil pada 2030. Tren kendaraan listrik dengan baterai menggantikan bahan bakar fosil telah menyebabkan perusahaan-perusahan minyak memperlambat investasinya di hulu.
Konsekuensinya, terjadi ketidakseimbangan antara kenaikan permintaan sebagai akibat pemulihan ekonomi dan sisi pasokan yang relatif stagnan. Harga minyak WTI sekarang 72 dollar AS per barel. Bahkan, beberapa lembaga keuangan yang ikut dalam bursa komoditas berjangka (futures) sudah memprediksi harga minyak jenis ini bakal mencapai 100 dollar AS per barel.
Namun, ada beberapa faktor yang menahan harga minyak (Rizvi, 2021) untuk tetap dalam kisaran 70-80 dollar AS per barel. Pertama, China mulai menggunakan cadangannya sehingga permintaannya ke pasar tunai (spot) juga berkurang. Ini juga merupakan bagian dari usaha untuk meredam kenaikan harga komoditas dunia. Kedua, dengan naiknya harga minyak, produsen minyak serpih (shale oil) di AS dapat memasuki pasar kembali yang berarti menambah pasokan dunia.
Selain itu, OPEC juga masih menunda keputusannya tentang volume produksi minyak karena ada perbedaan pandangan antara beberapa negara anggotanya. Faktor yang barangkali paling penting adalah lonjakan pandemi dengan varian Delta secara global yang berpotensi menurunkan permintaan minyak dunia secara drastis seperti pada April 2020.
Dampak di dalam negeri
Bagaimana pasar minyak dunia akan berpengaruh pada perekonomian dalam negeri, terjadi melalui harga minyak internasional dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sisi positifnya, nilai tukar rupiah masih cukup stabil. Salah satu faktor penyangganya adalah neraca dagang yang mengalami surplus terbesar pada Mei selama tahun 2021, yakni 2,36 miliar dollar AS. Berarti, untuk sepanjang 2021 neraca dagang Indonesia selalu mengalami surplus. Secara kumulatif, surplus neraca dagang dari Januari sampai Mei mencapai 10,17 miliar dollar AS.
Salah satu risiko bagi nilai tukar rupiah adalah jika the FEDS mempercepat taper tantrum karena inflasi yang sangat tinggi di atas 5 persen seperti tahun 70-an di AS. Bagi Indonesia, premi risiko tampaknya bukan hanya berasal dari kekhawatiran terhadap taper tantrum atau peningkatan suku bunga di AS. Namun, lebih sebagai akibat dari lonjakan kasus positif Covid-19 harian yang terjadi secara eksponensial. Hal ini tecermin dari depresiasi rupiah yang relatif cepat dari Rp 14.320 per dollar AS ke Rp 14.460 per dollar AS dalam sehari.
Sebagai penyeimbang, negara-negara lain juga mengalami lonjakan yang sama sehingga nilai tukar kemudian masih relatif stabil pada kisaran Rp 14.500 per dollar AS. Kendati demikian, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk berpangku tangan. Pengendalian lonjakan pandemi tampaknya menjadi acuan penting bagi pemodal portepel.
Oleh karena itu, penting untuk menurunkan angka kasus positif harian secara bertahap sampai ke tingkat di bawah 10.000 kasus. Penurunan ini berarti untuk menjaga keseimbangan eksternal makroekonomi yang diperlukan sebagai ruang bagi pemulihan ekonomi pascapandemi.