Kepastian dari pemerintah soal impor beras tahun ini menjadi kabar baik bagi petani yang tengah memulai panen musim gadu. Namun, ada problem krusial yang belum tertangani, soal instrumen stabilisasi yang kian loyo.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Ada kabar menggembirakan bagi petani padi di awal panen musim tanam kedua tahun 2021. Pemerintah memastikan tidak akan mengimpor beras tahun ini. Sebab, stok diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional setidaknya hingga 12 bulan ke depan.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan hal itu dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (5/7/2021). Menurut dia, berdasarkan perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras sepanjang 2021 diperkirakan mencapai 33 juta ton. Angka itu meningkat dibandingkan produksi tahun lalu yang 31,33 juta ton.
Dengan mempertimbangkan stok di Perum Bulog yang mencapai 1,39 juta ton, rata-rata penyaluran 80.000 ton per bulan, dan proyeksi produksi tersebut, stok beras nasional akan cukup untuk memenuhi kebutuhan setahun ke depan. “Saya pastikan tidak akan ada impor beras tahun ini karena stok mencukupi,” ujarnya (Kompas, 6/7/2021).
Kepastian itu menjadi kabar baik di awal musim panen gadu kali ini. Dengan jaminan tidak ada impor hingga akhir tahun, petani berharap hasil panen mereka bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Sebab tengkulak, pengusaha penggilingan, pedagang, dan Bulog akan lebih bergairah menyerap sehingga mendongkrak harga gabah di tingkat petani.
Situasi kali ini bertolak belakang dengan awal panen musim tanam pertama pada Maret 2021. Ketika itu, pemerintah menyampaikan rencana impor 1 juta ton beras tahun 2021 untuk memperkuat cadangan beras. Sebab, stok yang ada dinilai terlalu kecil dan dikhawatirkan tak cukup berdaya untuk mengintervensi pasar. Namun, rencana itu menuai protes karena sejumlah fakta tidak memperlihatkan ada masalah. Impor dianggap tidak urgen.
Pemerintah memang lantas menunda rencana impor. Setidaknya hingga Juni 2021 sambil menunggu data produksi. Namun, kabar impor kadung tersebar. Harga gabah di lapangan terjun bebas, meski hal itu bukan faktor penyebab tunggal. Hasil survei BPS di 2.523 titik transaksi di 27 provinsi April 2021 menunjukkan, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 4.275 per kilogram (kg), terendah dibandingkan harga rata-rata bulanan sejak Mei 2016.
Harga rendah
Harga jual rendah adalah petaka bagi petani. Petaka pula bagi masa depan pangan. Kini, ketika panen dimulai dan impor dipastikan tidak ada, apakah harga jual gabah di tingkat petani terangkat? Survei BPS selama Juni 2021 memang menunjukkan, harga rata-rata GKP di tingkat petani Rp 4.546 per kg, naik 3,36 persen dibandingkan sebulan sebelumnya. Namun, harga gabah di sejumlah lokasi anjlok di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp 4.200 per kg GKP di tingkat petani.
HPP sebesar itu sejatinya sudah tak layak mengingat ongkos produksi terus naik. Menurut hitungan petani, asosiasi petani, dan sejumlah lembaga, ongkos produksi padi setidaknya telah mencapai Rp 4.200 per kg. Namun, nyatanya harga di sejumlah lokasi panen jauh lebih rendah. Dalam sebulan terakhir, laporan harga gabah di bawah HPP menyeruak di banyak daerah, sebagaimana diberitakan media-media lokal, ketika pemerintah memastikan tidak akan mengimpor beras tahun ini.
Di sejumlah kecamatan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, misalnya, harga gabah berkisar Rp 3.500 per kg hingga Rp 4.000 per kg GKP pada akhir Juni 2021. Di Bringin, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, harga GKP di tingkat petani dilaporkan Rp 3.200 per kg hingga Rp 3.600 per kg. Sementara di di Cilacap, Jawa Tengah, harga gabah berkisar Rp 3.500 per kg hingga Rp 3.800 per kg GKP.
Di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, petani menjerit karena harga gabah turun hingga Rp 3.800 per kg. Suara ntb.com melaporkan bahwa DPRD setempat bersurat ke Presiden RI dan meminta agar pemerintah segera melakukan intervensi agar harga gabah tidak semakin anjlok pada panen kali ini.
Segenap situasi itu sejatinya menguatkan perkiraan bahwa stok beras cukup.
Proyeksi BPS bahwa produksi beras tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu bisa jadi terbukti. Namun, ada problem krusial yang tidak kunjung diselesaikan hingga kini, terutama soal stabilisasi harga dan jaminan penyerapan produksi dalam negeri.
Fungsi stabilisasi makin tidak kokoh seiring perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan dari natura ke transfer tunai. Bulog kehilangan 2,5-3,4 juta ton pasar (captive market) beras per tahun seiring perubahan itu. Segenap dampaknya berulang merugikan petani. Terutama terkait instrumen stabilisasi yang semakin loyo.
Kini, di tengah kabar baik penundaan impor, petani tidak benar-benar sedang baik.