Kriteria baru pasokan minyak kelapa sawit yang mencakup aspek kesejahteraan petani menjadi kabar baik bagi petani sawit. Sepantasnya petani menikmati keuntungan layak karena peran vitalnya dalam rantai pasok.
Oleh
Aris Prasetyo
·4 menit baca
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana dalam sebuah webinar mengatakan, pemerintah akan menyusun kriteria pasokan minyak kelapa sawit mentah atau CPO yang mesti dipenuhi produsen biodiesel. Kriteria itu juga akan mencakup aspek kesejahteraan petani sawit. Ini bisa menjadi kabar baik bagi petani sawit Indonesia.
CPO adalah bahan baku biodiesel yang menjadi bahan campuran solar B-30 yang nama pasarnya adalah biosolar. Solar B-30 merupakan campuran biodiesel 30 persen dan solar murni 70 persen. Mandatori B-30 secara resmi berlaku sejak 1 Januari 2020. Sejatinya, biosolar sudah dikenalkan ke publik di Indonesia sejak 2015 dengan kadar biodiesel 15 persen (B-15). Selanjutnya, kadar pencampuran naik menjadi 20 persen (B-20) pada 2016 hingga 2019.
Pemanfaatan biodiesel, selain untuk memproduksi bahan bakar yang lebih bersih, ditujukan untuk menekan impor bahan bakar minyak (BBM) yang berpotensi menghemat devisa 16,8 miliar dollar AS per tahun sepanjang 2021-2040. Pemerintah mengklaim kebijakan B-20 di 2018 mampu menghemat devisa 1,88 miliar dollar AS atau setara Rp 26 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS. Adapun B-30 diperkirakan bisa menghemat devisa sampai 4,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 67 triliun.
Nmaun, seperti apa dampak penghematan devisa terhadap petani sawit Indonesia? Padahal, mereka menjadi ujung tombak rantai pasok industri CPO di dalam negeri, baik yang diekspor maupun untuk pemanfaatan domestik.
Dalam catatan pemberitaan Kompas, mandatori pencampuran biodiesel ke dalam solar belum sepenuhnya berdampak positif bagi petani sawit Indonesia. Dana pungutan dari ekspor CPO lebih banyak digunakan untuk program biodiesel daripada pemberdayaan petani dan penanaman kembali tanaman sawit (www.kompas.id edisi 30 Juni 2019).
Menurut catatan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), pada 2018 sebanyak 85 persen dari total dana pungutan ekspor minyak sawit dan produk turunannya dialokasikan untuk program biodiesel.
Sejatinya, biosolar sudah dikenalkan ke publik di Indonesia sejak 2015 dengan kadar biodiesel 15 persen (B-15). Selanjutnya, kadar pencampuran naik menjadi 20 persen (B-20) pada 2016 hingga 2019.
Kinerja positif ekspor CPO juga belum berdampak signifikan bagi petani sawit, khususnya petani swadaya. Di saat harga CPO di atas 1.000 dollar AS, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani mandiri Rp 1.400-Rp 1.500 per kg. Ini berbeda dengan harga TBS di tingat petani plasma yang mencapai Rp 3.200-Rp 3.300 per kg. Kesenjangan harga ini terjadi lantaran petani mandiri masih menjual TBS ke pengepul atau tengkulak sehingga harga TBS di tingkat petani tertekan (Kompas, 17/6/2021).
Selain itu, salah satu keluhan pengusaha dan petani sawit adalah tingginya pungutan ekspor CPO dan produk turunannya, serta bea keluar ekspor. Pada Juni 2021, dengan harga referensi CPO sebesar 1.223,90 dollar AS per ton, bea keluar ekspor yang dikenakan sebesar 183 dollar AS per ton. Kemudian, dengan harga CPO yang di atas 1.000 dollar AS per ton, tarif pungutan ekspor yang dikenakan sebesar 255 dollar AS per ton. Dengan demikian, total pungutan dan bea keluar ekspor CPO sebesar 438 dollar AS per ton.
Sampai akhirnya, Kementerian Keuangan menerbitkan kebijakan untuk menurunkan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya pada 25 Juni 2021. Kebijakan tersebut menetapkan batas bawah harga referensi CPO dari 670 dollar AS per ton menjadi 750 dollar AS per ton. Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan 750 dollar AS per ton, tarif pungutan ekspor produk crude (mentah) sebesar 55 dollar AS per ton.
Selanjutnya, setiap kenaikan harga sebesar 50 dollar AS per ton, tarif pungutan ekspor meningkat 20 dollar AS per ton untuk produk crude dan 16 dollar AS per ton untuk produk turunan sampai harga mencapai 1.000 dollar AS per ton. Jika harga di atas 1.000 dollar AS per ton, pungutan ekspor tetap sesuai dengan tarif tertinggi setiap produk (www.kompas.id edisi 29 Juni 2021).
Sejumlah perubahan kebijakan terkait biodiesel dan CPO tersebut di atas, selain diharapkan menguntungkan negara, juga sebaiknya menyejahterakan petani sawit.
Sejumlah perubahan kebijakan terkait biodiesel dan CPO tersebut di atas, selain diharapkan menguntungkan negara, juga sebaiknya menyejahterakan petani sawit. Sudah sepantasnya mereka menikmati keuntungan yang layak karena peran vital mereka dalam rantai pasok biodiesel. Apalagi, biodiesel menjadi program andalan pemerintah untuk mengurangi impor BBM dan menjadi aspek strategis pada program transisi energi di sektor transportasi.
Apabila aspek kesejahteraan petani sawit benar-benar diterapkan dalam penyusunan kriteria pasokan CPO, tentu ini menjadi kabar gembira bagi para ”pahlawan devisa” tersebut. Sebaiknya, pemerintah benar-benar bersungguh-sungguh dengan rencana ini.