Pemulihan pasar properti yang diprediksi terjadi awal tahun 2022 bakal meleset. Tadinya, diskon Pajak Pertambahan Nilai menjadi angin segar yang menumbuhkan harapan. Sayangnya, lonjakan Covid-19 tidak terbendung lagi.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·6 menit baca
Pemulihan pasar properti yang diprediksi terjadi awal tahun 2022 bakal meleset. Ketidakstabilan yang berlangsung saat ini kemungkinan besar memperlambat gerak pasar properti. Harapan yang sebetulnya sempat tumbuh saat pemerintah mengeluarkan kebijakan diskon Pajak Pertambahan Nilai atau PPN pada kuartal I-2021 dihadang kembali begitu dahsyat oleh lonjakan panyebaran Covid-19.
Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto dalam Virtual Media Breafing Colliers di Jakarta, Rabu (7/7/2021), mengatakan, ”Proyeksi pasar properti harus direvisi kembali. Dari hasil yang kita up date, memang ada beberapa pengembang yang tidak terlalu percaya diri dengan kondisi seperti saat ini.”
Ketidakpercayaan diri itu diterjemahkan sebagai penundaan proyek, terutama proyek yang masih berlangsung proses konstruksi. Banyak proyek dijadwalkan ulang, seperti proyek perkantoran, hotel, pusat belanja, bahkan apartemen. Penundaan ini menyebabkan proyeksi suplai berubah secara keseluruhan.
Di saat suplai berkurang, kondisi pasar properti dapat mencapai keseimbangan karena saat ini masih kelebihan pasokan. Namun, apa mau dikata, saat suplai turun ternyata permintaan pun turun. Idealnya, apabila pertumbuhan suplai bisa diredam atau tidak terlalu agresif, permintaan akan meningkat sehingga bisa menandai pasar properti bergerak.
”Ternyata keduanya enggak terjadi. Di satu sisi, suplai tidak terlalu banyak bertambah. Di sisi lain, permintaannya pun tidak tumbuh,” ujar Ferry.
Ketidakpercayaan diri itu diterjemahkan sebagai penundaan proyek, terutama proyek yang masih berlangsung proses konstruksi. Banyak proyek dijadwalkan ulang, seperti proyek perkantoran, hotel, pusat belanja, bahkan apartemen.
Pertumbuhan suplai perkantoran di kawasan CBD Jakarta tahun 2020-2024 secara kumulatif hanya 1,9 persen per tahun, sedangkan di luar CBD mencapai 2,5 persen per tahun. Jumlah ini tidak terlalu agresif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Untuk pasar perkantoran, kondisi ini sebetulnya bagus. Artinya, dengan pasokan yang tidak terlalu tinggi, penyerapan pasar ikut membaik dari kondisi saat ini. Proyeksi Colliers mencatat, pertumbuhan perkantoran kawasan CBD di bawah 150.000 unit per tahun, sedangkan di luar CBD rata-rata hanya 100.000 unit per tahun. Pasokan perkantoran di Jakarta tahun 2021 akan mencapai 10,7 juta meter persegi, sekitar 65 persennya akan berada di wilayah CBD.
Menurut Ferry, pengembang mengamati perkembangan situasi ini dengan saksama. Mereka yang menjadwalkan pembangunannya pun sangat sulit memulai karena semua tergantung kondisi di lapangan.
Di Surabaya, pasokan akumulatif perkantoran tahun 2020 mencapai 492.925 unit dan diperkirakan pada semester II-2021 mencapai 609.325 unit. Hingga akhir tahun 2021, diperkirakan tambah dua gedung perkantoran dengan luas total tambahan sekitar 116.000 meter persegi.
”Jumlahnya lumayan signifikan. Namun, dibandingkan Jakarta memang skala penambahannya jauh lebih rendah. Tetapi, untuk ukuran Surabaya, angka ini lumayan tinggi karena daya serap antara Jakarta dan Surabaya tidak bisa dibandingkan. Di Surabaya, penyerapan hanya rata-rata 20.000 meter persegi, sedangkan di Jakarta, (penyerapan) bisa mencapai 200.000 meter persegi,” kata Ferry.
Direktur, Advisory Services, Colliers Colliers International Indonesia, Monica Koesnovagril menyoroti kebutuhan desain hunian atau ruko yang sehat menjadi pilihan konsumen. Selama pandemi, tren desain akan selalu berubah. Apa pun hasilnya, diperlukan kejelian pengembang dalam menangkap dinamika pasar properti karena kebutuhan desain ini berkaitan dengan psikologi massa.
”Begitu concern dengan kesehatan, mereka cenderung mencari desain hunian yang menunjang kesehatan,” kata Monica.
Selama pandemi, tren desain akan selalu berubah. Apa pun hasilnya, diperlukan kejelian pengembang dalam menangkap dinamika pasar properti karena kebutuhan desain ini berkaitan dengan psikologi massa.
Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya secara terpisah mengatakan, ”Tentunya, saat ini hal yang paling ditakutkan dalam jangka pendek adalah orang takut berkunjung ke lokasi properti, seperti rumah contoh atau kantor pemasaran. Berbeda halnya dengan produk konsumen lainnya yang bisa beli secara online. Membeli properti pasti harus melihat lokasi, melihat barulah percaya.”
Dalam jangka panjang, lanjut Bambang, PPKM darurat tentu amat berdampak pada situasi perekonomian. Jika berkelanjutan karena penularan Covid-19 tak kunjung terkendali, hal ini bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja, kebangkrutan bisnis, dan ujung-ujungnya pasar properti akan menciut. Bahkan, sebagian pengembang juga bisa ikut terbawa kolaps.
Situasi berat
Colliers melihat, sejak tahun 2019, tingkat hunian pemanfaatan perkantoran di CBD maupun non-CBD di Jakarta sudah melambat. Kuartal II-2021, pertama kalinya tingkat hunian di CBD tercatat 79,2 persen atau turun 1,1 dibandingkan kuartal sebelumnya, sedangkan di luar CBD tercatat 78,4 persen atau turun 1,2 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Selain penyerapan tidak terlalu tinggi, pasokan baru cukup agresif di tahun-tahun sebelumnya.
”Tahun 2020, sektor perkantoran memang berat karena adanya pandemi Covid-19. Proyeksi okupansi hingga akhir tahun 2021 masih akan melandai, terutama di CBD,” kata Ferry.
Okupansi perkantoran di Surabaya sulit untuk mencapai 80 persen. Tercatat, tingkat hunian perkantoran tahun 2019 sebesar 68,6 persen. Pandemi Covid-19 tahun 2020 menyebabkan tingkat hunian turun lagi mencapai 62,7 persen, dan kini pada semester I-2021 tercatat 60,4 persen.
Lagi-lagi, kata Ferry, jumlah suplai yang masuk dengan kemampuan penyerapan pasar ruang kantor belum seimbang. Suplai yang tumbuh lebih agresif tidak seimbang dengan penyerapannya. Apalagi, tahun 2020 dihadang pandemi. Hingga akhir 2021, banyaknya suplai perkantoran diperkirakan akan membuat penyerapan tinggal 55,1 persen.
”Rendahnya penyerapan ini sebetulnya sudah masuk fase alarm. Tidak sehat lagi. Tetapi, pasokan sudah telanjur masuk dan di lain sisi, penyerapan tidak terlalu tinggi. Tenant yang masuk ke Surabaya sebenarnya kebanyakan pemilik gedung yang memang membutuhkan ruang perkantoran. Dari sisa ruang mereka bangun, disewakan kepada pihak lain. Masalahnya, kebutuhan tidak terlalu besar dengan suplai,” ujar Ferry.
Soal prospek pemulihan sektor properti, Ferry berpendapat, sebetulnya sebelum penyebaran varian delta Covid-19 merebak seperti sekarang ini, pun Colliers sudah memprediksi pemulihan sektor properti tidak akan akan terjadi tahun 2021. Butuh waktu lebih untuk mencapai pemulihan.
Peluang pemulihan diperkirakan lebih dahulu terjadi pada sektor industri. Sebab, ada potensi penyerapan atau kebutuhan yang masih tertahan. Artinya, rencana ekspansi sudah ada, tinggal menunggu momentum eksekusinya. Permintaan lahan untuk Data Center cukup agresif karena perkembangan bisnis e-commerce dan bisnis yang terkait teknologi informasi juga sangat cepat.
Selain perkantoran, pasokan sektor apartemen, ritel, industri, ataupun hotel pun ikut terkena imbas dari pandemi Covid-19. Persoalan yang dihadapi dalam beberapa tahun ke depan masih berkutat pada ketidakseimbangan antara pasokan dan penyerapan kebutuhan.
Bagus Adikusumo, Senior Director, Officer Services, Colliers Colliers International Indonesia, menegaskan, sebelum terjadi pandemi Covid-19, pasar perkantoran sesungguhnya sudah kelebihan pasokan. Namun, saat itu masih bisa dilakukan tata kelola dan terkendali. Begitu Covid-19 merebak pada Maret 2020, kelebihan pasokan tidak dibarengi permintaan pasar.
”Permintaan pasar semakin menurun tahun 2020. Ditambah lagi, tahun 2021 nyatanya pandemi ini makin ada dan lebih ganas lagi sehingga pertumbuhan ekonomi tahun 2021 yang diharapkan tidak terjadi. Korelasi antara GDP dan pertumbuhan ekonomi tentu tinggi,” kata Bagus.
Menurut dia, permintaan melemah dan pasokan sudah telanjur ada, bahkan berlanjut sampai tahun 2022 dan 2023, menyebabkan ”perang” harga antar-pengembang makin tertekan lagi. Tidak bisa dihindari karena gedung-gedung yang tingkat hunian rendah di bawah 50 persen akan membuat harga jual paling menarik.