Petugas pengawas ketenagakerjaan setempat mesti rutin memeriksa kondisi di tiap perusahaan. Penegakan sanksi terhadap perusahaan yang mangkir akan mendukung efektivitas PPKM darurat dalam mengendalikan pandemi Covid-19.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM di lingkungan kerja memerlukan pengawasan dan sanksi yang tegas. Langkah tegas harus dilakukan di semua daerah yang memberlakukan PPKM darurat untuk melindungi pekerja sekaligus mengendalikan laju penularan Covid-19 yang terus meninggi.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat di Jawa dan Bali yang diteken pada Kamis (8/7/2021) memperjelas batasan rinci sektor berkategori esensial dan kritikal yang masih dapat melakukan kegiatan usaha dan menerapkan sistem bekerja dari kantor (work from office/WFO).
Aturan itu merevisi peraturan sebelumnya, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021, yang tidak merinci dengan jelas aturan pembatasan sektor esensial, kritikal, dan non-esensial.
Dalam peraturan baru itu, sektor esensial keuangan dan perbankan boleh beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen untuk lokasi usaha yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat. Sementara sektor esensial keuangan dan perbankan yang bertugas mendukung pelayanan administrasi/operasional perkantoran dibatasi maksimal 25 persen.
Sektor keuangan dan perbankan yang dianggap esensial hanya meliputi asuransi, bank, pegadaian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan yang berorientasi pada pelayanan fisik dengan pelanggan.
Untuk sektor esensial lain, seperti pasar modal, teknologi informasi dan komunikasi, serta perhotelan non-penanganan karantina, diperbolehkan beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen karyawan.
Sektor pasar modal yang dianggap esensial hanya yang berorientasi pada pelayanan dengan pelanggan dan yang mengatur berjalannya aktivitas operasional pasar modal. Sementara sektor teknologi informasi dan komunikasi yang termasuk esensial hanya meliputi operator seluler, pusat data (data center), internet, pos, dan media lain yang terkait dengan penyebaran informasi kepada masyarakat.
Khusus industri berorientasi ekspor, kapasitasnya dibatasi maksimal 50 persen untuk pegawai yang bekerja di fasilitas produksi/pabrik. Sementara kapasitas untuk pelayanan administrasi/operasional perkantoran dibatasi maksimal 10 persen.
Perusahaan terkait juga harus bisa menunjukkan bukti dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) selama 12 bulan terakhir, dokumen rencana ekspor, serta wajib memiliki izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI) dari Kementerian Perindustrian.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Kamis, mengatakan, meski batasan aturan di atas kertas sudah diperjelas, pada kenyataannya masih ada perusahaan non-esensial ataupun esensial yang mengabaikan aturan itu dan meminta karyawannya untuk bekerja dari luar.
”Kami berharap ada kesungguhan dari perusahaan. Namun, supaya ketentuan ini jangan hanya sebatas di atas kertas, perlu ada sanksi tegas yang bisa memberi efek jera,” kata Timboel.
Saat ini, beberapa daerah mulai menindak perusahaan yang melanggar aturan PPKM darurat. Per Kamis (8/7/2021), misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup 202 perusahaan dari total 276 perusahaan yang menjadi kluster penyebaran Covid-19 dan melanggar ketentuan PPKM darurat. Sanksi pidana juga disiapkan sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Akan tetapi, tindakan itu belum ditemukan di daerah lain yang memberlakukan PPKM darurat. ”Beberapa upaya sudah baik, tetapi ini harus dikampanyekan dan diumumkan terus, sebagaimana kita mengumumkan kasus Covid-19. Tidak bisa juga terbatas di satu wilayah saja agar publik tahu dan perusahaan lain berpikir ulang kalau mau melanggar,” ujarnya.
Petugas pengawas ketenagakerjaan di setiap dinas ketenagakerjaan diharapkan bisa turun ke lapangan dan tidak hanya bekerja dari belakang meja.
Petugas pengawas ketenagakerjaan di setiap dinas ketenagakerjaan diharapkan bisa turun ke lapangan dan tidak hanya bekerja dari belakang meja. Petugas bisa bekerja sama dengan satuan tugas Covid-19 setempat untuk lebih tangkas mengidentifikasi pelanggaran yang dilakukan di lingkungan kerja.
Pekerja juga membutuhkan jalur dan ruang aman untuk melaporkan perusahaannya yang melanggar PPKM darurat. Bentuk jalur pelaporan seperti aplikasi Jaki (Jakarta Kini) yang memungkinkan pekerja untuk melaporkan atasannya secara anonim bisa diikuti oleh daerah lain. ”Pekerja harus dilindungi, jangan sampai identitasnya terbuka dan yang bersangkutan di-PHK atau diintimidasi karena melapor,” katanya.
Mendukung
Senada dengan hal itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meminta pengusaha untuk mendukung keberhasilan PPKM darurat di tengah lonjakan kasus serta tingkat kematian akibat Covid-19 yang meninggi. Sebab, jika Covid-19 tidak terkendali, kondisi ekonomi tak akan kunjung pulih. Untuk mendorong kedisiplinan itu, sanksi tegas diperlukan.
”Kami mendukung pemberian sanksi tegas untuk pengusaha yang bandel, tetapi jangan sampai pengorbanan ekonomi kami sia-sia. Pemerintah harus menangani pandemi secara lebih serius. Arahkan semua sumber daya yang ada untuk satu tujuan mengontrol Covid-19,” kata Hariyadi.
Menurut dia, beberapa perusahaan masih memaksa karyawan untuk bekerja dari kantor karena ada pekerjaan yang sulit diselesaikan dari jarak jauh. Beberapa pengusaha juga memikirkan keberlanjutan dan daya tahan usaha agar tidak kolaps. ”Ada juga yang belum sempat bersiap menghadapi PPKM darurat ini karena prosesnya cukup cepat, jadi gelagapan,” ucapnya.
Hariyadi meminta pemerintah lebih gencar mengadakan vaksinasi dengan vaksin yang memiliki tingkat efikasi tinggi dan mampu menghadang keganasan varian baru Covid-19. ”PPKM darurat ini hanya pemadam kebakaran untuk mengendalikan lonjakan kasus. Namun, untuk jangka panjang, kunci menjinakkan pandemi ini adalah vaksinasi yang masif dan efektif,” ujarnya.
Dilematis
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, Jumat (9/7/2021) ini, pemerintah pusat akan berkoordinasi dengan dinas ketenagakerjaan di tiap daerah di Jawa-Bali. Hal itu dimaksudkan untuk menyeragamkan langkah menangani pelanggaran perusahaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan pekerja.
Ia mengakui, situasi saat ini dilematis karena ada kekhawatiran bahwa kegiatan bekerja dari rumah (WFH) akan menurunkan produktivitas, menghambat perputaran roda usaha, dan pada akhirnya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemotongan gaji pekerja. ”Kita harus berhati-hati dan carikan solusi agar jangan sampai malah pekerja di-PHK,” ujarnya.
Ada empat opsi sanksi yang bisa diberikan, mulai dari teguran, teguran tertulis, penghentian usaha sementara, sampai pembekuan usaha.
”Memang sekarang rem harus diinjak kencang-kencang. Tetapi, kami di pusat hanya bisa menjalankan fungsi regulasi dan pembinaan. Pada akhirnya dinas-dinas harus tunduk pada kebijakan pemerintah daerah,” katanya.