Sertifikasi Halal Perlu Diperbaiki agar Indonesia Tak Sekadar Jadi Pasar
Agar dapat menjadi pengekspor produk halal ke pasar global, Indonesia perlu memperbaiki sistem sertifikasi halal yang berstandar internasional, memperkuat intelijen pasar serta pendataan ekspor
JAKARTA, KOMPAS — Tren pertumbuhan konsumsi produk halal dunia menyimpan potensi besar untuk pelaku industri, khususnya dari sektor makanan minuman dan mode. Namun, Indonesia perlu gencar berbenah. Dibutuhkan perbaikan sertifikasi halal berstandar internasional, intelijen pasar, dan pendataan ekspor yang lebih baik untuk menembus pasar global.
Laporan State of Global Islamic Economy Report 2020-2021 memprediksi, pada tahun 2024, tingkat konsumsi pangan halal dunia akan naik dari 1,17 triliun dollar AS pada 2019 menjadi 1,38 triliun dollar AS. Konsumsi mode muslim juga akan meningkat dari 277 miliar dollar AS menjadi 311 miliar dollar AS. Tren konsumsi produk halal ini diprediksi meluas dan ikut menyasar negara-negara non muslim.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia Adhi S Lukman berujar, di masa mendatang, konsumsi produk halal tidak terikat pada status agama dan kepercayaan seseorang. Banyak negara non-muslim yang mulai giat mencari dan mempromosikan produk halal. Selain memiliki potensi ekonomi yang besar, produk halal juga identik dengan standar kebersihan dan keamanan yang prima.
Selain memiliki potensi ekonomi yang besar, produk halal juga identik dengan standar kebersihan dan keamanan yang prima.
“Sertifikasi halal itu pemeriksaannya sangat detail, semua proses dari hulu sampai hilir dipastikan aman, bersih, higienis, ramah lingkungan. Jadi, produk yang halal pasti aman, sehat, beretika. Ini akan menjadi fenomena global, yang berarti potensinya pun semakin besar,” kata Adhi saat dihubungi di Jakarta, pekan lalu.
Dalam hal ini, Indonesia justru perlu lebih gencar mengejar ketertinggalan. Sebab, meski menduduki lima besar negara konsumen terbesar produk halal, Indonesia belum termasuk negara pengekspor utama. Fenomena itu terjadi di berbagai sektor, dari makanan minuman (mamin), mode, kosmetik, sampai produk farmasi. Singkat kata, Indonesia masih menjadi pasar untuk barang halal dari negara lain.
Sebagai contoh, Indonesia menduduki peringkat pertama negara konsumen pangan halal terbesar dengan tingkat konsumsi 144 miliar dollar AS. Namun, Indonesia tidak masuk dalam lima besar negara pengekspor produk pangan halal ke negara-negara muslim (Organisasi Kerjasama Islam/OKI).
Padahal, kinerja ekspor produk makanan minuman terhitung tinggi. Selama tahun 2020, meski pandemi, ekspor mamin tercatat mencapai 31,17 miliar dollar AS atau 23,78 persen terhadap total nilai ekspor industri pengolahan non-migas. Dari tahun ke tahun, industri mamin juga tumbuh dengan rata-rata 8,16 persen.
Pendiri dan Direktur PT BeeMa Boga Arta, Fransisca Natalia Widowati menuturkan, salah satu kendala umum yang dihadapi pelaku industri mamin saat mau mengekspor produk ke pasar halal adalah sertifikasi halal Indonesia yang belum mendapat pengakuan internasional di sejumlah negara.
“Ketika mau menjual ke negara lain, sertifikat halal kita ternyata tidak berlaku, jadi harus apply ulang. Standar dari negara lain juga biasanya lebih berat,” ujar Fransisca yang telah menjual produk bercap halal, madu organik premium BeeMa Honey, ke pasar dalam negeri maupun global.
Perbedaan standar itu menyulitkan pelaku usaha menembus pasar global. Apalagi, kehalalan tidak hanya dinilai dari produk akhir, tetapi dari hulu sampai hilir, sejak penggunaan bahan baku sampai pengemasan barang jadi. Di Indonesia, konsep rantai nilai halal itu sudah mulai didorong, tetapi belum maksimal, karena minimnya sosialisasi ke sektor hulu, proses sertifikasi yang lama dan memakan biaya.
“Akhirnya sering ada masalah saat dilacak (traceability). Saya sendiri, belum semua peternak lebah saya disertifikasi halal,” tutur Fransisca.
Perbedaan standar itu menyulitkan pelaku usaha menembus pasar global. Apalagi, kehalalan tidak hanya dinilai dari produk akhir, tetapi dari hulu sampai hilir, sejak penggunaan bahan baku sampai pengemasan barang jadi
Data Ekspor
Pemerintah juga perlu memperbaiki pendataan ekspor produk halal yang selama ini masih karut-marut. Menurut Adhi, Indonesia seharusnya mengekspor banyak produk halal, tetapi tidak terdeteksi. “Saya yakin 80 persen ekspor pangan kita sebenarnya halal, tetapi karena pencatatannya buruk, kita tidak tahu berapa produk halal kita yang diekspor. Kita hanya punya data ekspor ke negara-negara OKI,” ujarnya.
Strategi intelijen pemasaran Indonesia juga selama ini lemah, sehingga pelaku industri tidak punya informasi kuat dan mutakhir mengenai jenis produk halal yang sedang dibutuhkan di negara lain.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih membenarkan, pendataan dan informasi intelijen perdagangan produk halal belum kuat. Ia mengakui pemerintah seharusnya berkoordinasi lebih gencar lintas kementerian. Hal itu kini sedang dibenahi. Pemerintah pun berkomitmen menjadikan sektor mamin dan mode muslim sebagai prioritas.
Mode muslim atau modest fashion memang seharusnya menjadi ekspor unggulan Indonesia. The State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 secara khusus menyebut industri modest fashion Indonesia berada di urutan ketiga setelah Uni Emirat Arab dan Turki.
Di tengah terpaan pandemi Covid-19 secara global, tahun lalu, nilai belanja produk modest fashion ikut terdampak dan turun 2,9 persen menjadi 268 miliar dollar AS. Nilai ini diprediksi bisa pulih kembali dan tumbuh hingga diprediksi mencapai 311 miliar dollar AS pada 2024.
"Modest fashion telah menjadi gaya hidup mengikuti perkembangan industri halal. Di kalangan kelas menengah dan atas, mengenakan modest fashion kini dianggap modis. Ini artinya modest fashion telah menjadi ekonomi baru," ujar Direktur Industri Produk Halal Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Afdhal Aliasar.
Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia berpotensi tak hanya menjadi pasar, tetapi juga menjadi pemain global dalam ekonomi keuangan syariah, selain ragam industri halal lainnya. Berbagai pengembangan produk industri halal harus terus dilakukan untuk bisa menembus pasar global.
“Indonesia punya potensi tak hanya menjadi pasar terbesar, tetapi juga menjadi global ekonomi keuangan syariah dunia,” ujar Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Iggi Haruman Achsien, pekan lalu.