Rp 32 Triliun Dialihkan untuk Penanganan Covid-19
Pemerintah kembali melakukan ”refocusing” anggaran untuk penanganan lonjakan kasus Covid-19. Belanja yang terkena ”refocusing”, antara lain, perjalanan dinas, paket pertemuan, pembangunan gedung, dan pengadaan kendaraan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan memfokuskan kembali atau refocusing anggaran belanja untuk mendanai penanganan Covid-19 dan dampaknya. Langkah tersebut dibutuhkan untuk membiayai berbagai tambahan belanja bidang kesehatan, perlindungan sosial, program-program prioritas, dan insentif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan keterangan pers terkait hasil sidang kabinet paripurna di Jakarta, Senin (5/7/2021), menuturkan, refocusing anggaran tersebut diperlukan agar pemerintah mampu membiayai seluruh kebutuhan bidang kesehatan yang meningkat sangat tinggi, bantuan sosial, maupun berbagai dukungan kepada masyarakat.
”Dalam sidang kabinet ini telah disepakati akan ada refocusing tahap selanjutnya untuk membiayai, (anggarannya) adalah Rp 26,2 triliun, plus Rp 6 triliun yang berasal dari transfer keuangan dana desa. Anggaran ini kemudian dipakai membiayai berbagai belanja di kementerian lembaga untuk penanganan Covid-19, baik itu untuk vaksinasi, testing, tracing, maupun untuk biaya perawatan pasien serta tenaga kesehatan,” kata Sri Mulyani.
Terkait refocusing tersebut, Sri Mulyani menuturkan pihaknya akan menyisir kembali. Refocusing tersebut tidak seharusnya mengganggu belanja kementerian/lembaga. Hal ini karena belanja kementerian lembaga sudah diamankan. Belanja pegawai, belanja operasional, belanja kontrak tahun jamak (multiyears contract), belanja untuk pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19, serta belanja penanganan bencana tidak akan terkena refocusing.
Belanja yang berpotensi terkena refocusing, antara lain, belanja honorarium, perjalanan dinas, paket pertemuan, belanja jasa, pembangunan gedung, pengadaan kendaraan, dan anggaran dari kegiatan yang belum dikontrakkan yang tidak mungkin selesai pada tahun ini.
”Ini yang tadi agar dilakukan prioritas kembali dan akan disalurkan untuk belanja penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
Baca juga: Pemerintah Terapkan PPKM Darurat Jawa Bali
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin menginstruksikan agar prioritas tersebut dipertajam. Hal ini agar pemerintah bisa tetap membantu sektor kesehatan dan masyarakat dalam menghadapi Covid-19 yang sedang melonjak, sehingga diperlukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat.
”Dari pelaksanaan APBN semester I-2021 ini, dengan berbagai pergerakan dan perubahan yang sekarang ini terjadi, terutama menyangkut peningkatan Covid-19 yang kemudian dilakukan kebijakan PPKM darurat, APBN perlu meningkatkan lagi dukungannya, terutama bagi program-program di bidang kesehatan dan perlindungan sosial,” katanya.
Menkeu menuturkan, terjadi kenaikan anggaran di bidang kesehatan, terutama untuk membiayai mulai diagnosis, testing, tracing, perawatan, insentif tenaga kesehatan, santunan kematian, dan pembelian berbagai obat serta alat pelindung diri. Anggaran juga dipakai untuk pengadaan vaksin dan bantuan untuk iuran jaminan kesehatan nasional.
Di dalam anggaran kesehatan ini termasuk insentif untuk perpajakan bagi sektor kesehatan. ”Kemudian (untuk) perlindungan sosial, ini tadi instruksi Bapak Presiden agar dilakukan akselerasi pembayarannya minggu ini,” kata Sri Mulyani.
Di dalam pelaksanaan program 2021, pemerintah melihat bahwa penambahan anggaran diperlukan untuk melaksanakan PPKM darurat tersebut, yaitu terutama perpanjangan diskon listrik. Selain itu, perpanjangan bantuan rekening minimum, biaya beban, atau abonemen. Berikutnya adalah penambahan penerima bantuan produktif usaha mikro (BPUM) serta perpanjangan bantuan sosial tunai.
Dukungan APBN juga akan diberikan untuk percepatan penyaluran Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa. Selanjutnya adalah dukungan untuk melanjutkan program prakerja dan insentif usaha untuk mendukung pelaku usaha.
Kinerja ekonomi
Sri Mulyani menuturkan, di dalam sidang kabinet disampaikan pula bahwa varian delta yang menular sangat cepat telah menyebabkan kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia. Kondisi sama terjadi di 96 negara lain di dunia, bahkan yang sudah mengalami vaksinasi cukup besar.
”Langkah-langkah pengetatan tentu akan berdampak pada outlook perekonomian kita, terutama di kuartal (triwulan) III dan IV tahun ini, yaitu semester II-2021,” katanya.
Kondisi perekonomian Indonesia semester I-2021 menunjukkan pemulihan cukup baik. Pertumbuhan ekonomi di triwulan I-2021 yang masih minus 0,7 persen diperkirakan akan terakselerasi di triwulan II-2021 di sekitar 7 persen. ”Oleh karena itu, (pertumbuhan ekonomi) keseluruhan semester I-2021 di 3,1 hingga 3,3 persen,” ujar Sri Mulyani.
Pertumbuhan ekonomi semester II-2021 akan sangat tergantung kepada kondisi Covid-19 yang sekarang ini dihadapi, terutama berapa lama kenaikan Covid-19 dan pengetatan yang harus dilakukan. Pada skenario cukup moderat, yaitu Juli 2021 sudah bisa dikendalikan dan Agustus 2021 sudah mulai ada aktivitas normal atau restriksinya dikurangi, maka ekonomi masih akan bisa tumbuh di atas 4 persen bahkan mendekati 5 persen.
Namun, apabila restriksinya cukup panjang karena Covid-19 masih sangat tinggi, pertumbuhan ekonomi untuk triwulan III-2021 bisa turun di sekitar 4 persen. Hal ini harus diwaspadai. ”Untuk itu, kecepatan imunitas yang bisa dimunculkan di masyarakat melalui vaksinasi menjadi syarat yang penting dan juga pelaksanaan protokol kesehatan sehingga kondisi Covid-19 tetap bisa dikendalikan, tetapi pemulihan ekonomi juga tetap bisa dipertahankan,” ujar Sri Mulyani.
Kecepatan imunitas yang bisa dimunculkan di masyarakat melalui vaksinasi menjadi syarat yang penting, demikian pula pelaksanaan protokol kesehatan, sehingga kondisi Covid-19 tetap bisa dikendalikan, tetapi pemulihan ekonomi juga tetap bisa dipertahankan.
Akselerasi vaksinasi, lanjut Menkeu, menjadi syarat penting. Oleh karena itu, jumlah yang divaksin mesti diupayakan bisa mencapai 2 juta per hari atau bahkan hingga 3 juta per hari pada periode Oktober-November 2021 kalau Indonesia ingin menyelesaikan sebelum akhir tahun ini.
”Ini sebuah target yang luar biasa tinggi dan Bapak Presiden tadi menyampaikan bahwa kerja bersama, kerja sama seluruh pihak harus dilakukan untuk meningkatkan target vaksinasi ini. Dan, bahkan diminta supaya vaksinasi bisa dijalankan pagi, siang, dan malam hari dengan menggunakan seluruh sumber daya baik yang ada di kementerian, lembaga, TNI, Polri, BKKBN, sampai seluruh dinas, dan pemerintah daerah,” ujar Menkeu.
Sri Mulyani menuturkan, pencapaian vaksinasi merupakan syarat penting untuk menjaga ketahanan masyarakat dari Covid-19 dan di sisi lain juga menjaga atau mempertahankan momentum pemulihan ekonomi. Terkait realisasi semester I-2021 terhadap asumsi APBN 2021, inflasi berada di 1,33 persen atau lebih rendah dari asumsi APBN yang 3 persen.
Tingkat suku bunga 6,59 persen atau lebih rendah dari asumsi 7,29 persen untuk SBN 10 tahun. Nilai tukar di Rp 14.299 per dollar AS atau lebih rendah dari nilai tukar asumsi Rp 16.600 per dollar AS. Harga minyak di 62 dollar AS per barel, lebih tinggi dari harga minyak asumsi 45 dollar AS. Lifting minyak 663.000 barel per hari, lebih rendah dari asumsi 705.000 barel per hari. Adapun realisasi lifting gas sama dengan asumsi dari APBN 2021, yakni di 1.007.000 ekuivalen barel per hari.
Defisit
Menkeu Sri Mulyani menuturkan, pada semester I-2021 terjadi defisit Rp 283,2 triliun atau 1,72 persen. Apabila dilihat dari sisi penerimaan negara, terjadi geliat pemulihan ekonomi yang terekam cukup kuat. Sampai dengan semester I-2021, pendapatan negara mencapai Rp 886,9 triliun atau terjadi pertumbuhan 9,1 persen.
Baca juga : Defisit APBN di Masa Pandemi
Angka pendapatan negara ini adalah 50,9 persen dari target APBN 2021 yaitu Rp 1.743,6 triliun. ”Pertumbuhan pendapatan negara 9,1 persen ini dibandingkan tahun lalu yang mengalami kontraksi 9,7 persen adalah suatu kenaikan yang sangat tinggi dan bagus,” kata Sri Mulyani.
Penerimaan pajak sebanyak Rp 557,8 triliun atau 45,4 persen dari target tahun 2021, yakni Rp 1.229,6 triliun. Penerimaan ini tumbuh mendekati 5 persen. ”Tahun lalu penerimaan pajak kita mengalami hantaman sangat kuat, yaitu kontraksinya (pertumbuhan minus) sampai 12 persen, atau hanya Rp 531,8 triliun,” kata Menkeu.
Untuk bea dan cukai terkumpul Rp 122,2 triliun atau 56,9 persen dari target sekitar Rp 215 triliun. Angka ini tumbuh 31,1 persen dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 8,8 persen. Pengumpulan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) Rp 206,9 triliun, naik 11,4 persen dibandingkan tahun lalu yang Rp 185,7 triliun.
”Ini juga suatu pemulihan yang luar biasa, karena tahun lalu PNBP kita mengalami kontraksi 11,2 persen,” ujarnya.
Terkait sisi belanja negara, Sri Mulyani menuturkan bahwa pada semester I-2021 telah direalisasi sebesar Rp 1.170,1 triliun atau 42,5 persen dari target belanja tahun ini. Belanja ini tumbuh 9,4 persen, naik dibandingkan tahun lalu yang hanya tumbuh 3,4 persen. Belanja yang naik sangat besar adalah belanja pemerintah pusat, terutama belanja kementerian dan lembaga. APBN menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi yang luar biasa, terutama pada semester I-2021.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, refocusing dan realokasi anggaran dinilai perlu karena program pemulihan ekonomi nasional 2021 tadinya dibangun dengan asumsi atau skenario grafik Covid-19 turun, tidak ada gelombang kedua.
”Jadi karena skenario itu, pemerintah tidak mengantisipasi bahwa dengan merujuk pengalaman negara-negara lain, sangat mungkin terjadi second wave. Negara lain malah ada yang sudah third wave. Kejadian (di Indonesia) setelah Lebaran, kan, ternyata second wave-nya justru tinggi sekali. Jadi, memang harus ada refocusing dan realokasi, perlu banyak perubahan dari desain PEN 2021 yang sudah ada,” ujar Faisal.
Berbeda dengan prediksi pemerintah, CORE Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di semester I-2021 sekitar 2,5 persen. ”Mentok-mentok banget itu 3 persen, tapi itu kecil kemungkinannya,” kata Faisal.
Indikator-indikator di triwulan II-2021, lanjut Faisal, memang terlihat bagus. Namun, faktor yang menentukan adalah konsumsi rumah tangga dengan salah satu indikator paling dekat adalah indeks penjualan riil.
Indeks penjualan riil secara year on year (tahunan) naik 15 persen di bulan April 2021 dan kemudian 12 persen pada Mei 2021. ”(Kenaikan) itu belum cukup untuk mengompensasi minus 17-18 persen yang terjadi di triwulan II tahun lalu. Jadi, kembalinya itu belum sampai ke kondisi prapandemi,” katanya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan III-2021 pun, menurut Faisal, diperkirakan tidak akan sampai menyentuh 4 persen. ”Optimisnya sih 0-2 persen, itu kalau dilihat dengan kacamata sekarang. Tapi kalau nanti ternyata full, tiga bulan, satu triwulan itu PPKM darurat, ya, bisa agak minus sedikit. Saya kira pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2021 masih positif, kemungkinan minusnya kecil, tetapi ya enggak sampai 4 persen,” ujar Faisal.